UGM menyatakan draf RUU Perguruan
Tinggi (RUUPT) cacat akademis, ideologi dan tidak berpihak pada
kepentingan bangsa. Draf itu dinilai mengandung banyak permasalahan.
Kesimpulan
ini diperoleh setelah Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM melakukan kajian
terhadap RUU yang akan disahkan pada bulan Maret 2012 ini. Staf peneliti
Pusat Studi Pancasila dan salah satu tim kajian RUUPT, Hastangka,
menjelaskan ada sejumlah pasal-pasal dalam RUUPT tidak memperlihatkan
cara logika berpikir yang benar.
Salah satunya pada Pasal 11
ayat (1) yang menyebutkan rumpun ilmu pengetahuan merupakan kumpulan
sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang
secara ilmiah dan disusun secara sistematis. Pengertian semacam ini
terlihat tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas dan terkesan
tergesa-gesa dalam merumuskan pengertian tentang rumpun ilmu itu.
Hal
itu tentu berdampak pada ayat (2) yang menyebut rumpun ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari: a) ilmu agama; b) Ilmu-ilmu
humaniora; c) Ilmu-ilmu sosial; d) Ilmu-ilmu alam; e) Ilmu-ilmu formal;
dan f) ilmu-ilmu terapan. "Bagaimana logika berpikir yang dibangun
tiba-tiba dalam poin e muncul ilmu-ilmu formal? Apa yang dimaksud dengan
ilmu formal itu?" kata Hastangka dalam siaran pers, Kamis 15 Maret
2012. "Kategori ini jelas tidak logis dan tidak sistematis sebagaimana
yang dimaksud ayat 1 yang menginginkan sistematis."
Pasal-pasal
lain mengalami hal sama, cacat akademik dan ideologis, seperti
pendidikan vokasi disetarakan dengan sarjana dan pendidikan vokasi dapat
dikembangkan sederajat dengan magister dan program doktor terapan.
"Tentu saja jika RUUPT ini tetap dipaksakan untuk disahkan bisa
dipastikan pendidikan di negeri ini mengalami chaos," kata Hastangka.
Staf
peneliti PSP lain, Diasma, memiliki pandangan yang sama. Ia menilai
RUUPT masih terkesan terburu-buru dan sekadar mengejar target dengan
tidak mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul. RUUPT dinilainya
belum mengakomodasi kepentingan bangsa.
Pasal 70 ayat (3) yang
berbunyi PTS didirikan masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara
yang berbadan hukum bersifat nirlaba, dinilainya berpotensi terjadi
benturan antara yayasan yang semula mengelola Perguruan Tinggi Swasta
dengan PTS yang akan membuat badan hukum baru. Lantas pasal 106 ayat (4)
yang berbunyi biaya yang ditanggung oleh seluruh mahasiswa paling
banyak sepertiga dari biaya operasional perguruan tinggi.
"Hal
ini jelas memperlihatkan pengalihan tanggung jawab negara dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal pendidikan menjadi tanggung jawab
negara harusnya tidak boleh ada pengalihan anggaran kepada masyarakat
atau mahasiswa," katanya.
Diasma mengamati Draft RUUPT terlalu
banyak pengaturan melalui peraturan menteri (permen). Sementara dalam
sistem hukum Indonesia, tata urutan perundang-undangan tidak mungkin
langsung melalui permen. Prosedur dari UU, Peraturan Pemerintah (PP)
baru permen. "Karenanya RUUPT ini lebih cocok disebut Peraturan
Pemerintah (PP) daripada disebut undang-undang," kata Diasma. (Sumber: Vivanews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar