Rabu, 03 Februari 2016

Menguatkan Karakter Guru agar Mempertajam Cara Mendidik Karakter Siswa

Masalah karakter yang kuat berbasis kebangsaan dan kecakapan bagi bangsa Indonesia tidak akan pernah pudar dibicarakan karena itulah titik sentral pembangunan manusia Indonesia. Indonesia akan bertahan lama sebagai negara bangsa yang bersatu-padu dari ujung barat sampai timur dan dari utara sampai selatan apabila pembangunan pendidikan yang berbasis karakter dan kebangsaan dijalankan secara taat asas. Melalui pendidikan tersebutlah akan tumbuh generasi yang lebih cinta Indonesia dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Anak-anak Indonesia haruslah memunyai persepsi dan perilaku sebagai anak yang plural, multisuku, dan bertoleransi tinggi. Perbedaan yang ada dipakai sebagai potensi yang saling melengkapi sehingga membentuk sebuah kekuatan tunggal yang bercinta dengan Indonesia. Itulah kehendak pendidikan di Indonesia sehingga masalah karakter harus terus dibicarakan.

Lalu, dari sudut mana mengefektifkan pendidikan karakter itu? Salah satu jalan adalah dari sisi guru karena dialah yang bergerak sebagai subjek manajer kelas, pendidik, dan pengajar yang berdekatan dengan siswa secara fisik dan nonfisik. Guru hebat dapat dipastikan akan dapat melahirkan siswa yang hebat. Sebaliknya, guru yang lemah akan membuat siswa bertambah lemah. Guru hebat itu tentu tidak datang dari langit melainkan datang dari pembinaan yang intensif dan sesuai dengan iklim pribadi guru. Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat dimulai dari sisi penguatan guru.

Perlu diketahui bahwa dari sisi budaya, seseorang dikatakan memunyai kekuatan budaya kerja yang bagus jika memunyai konsepsi, perilaku, dan artefak. Begitu pula, guru hebat yang berbudaya tentu haruslah memunyai konsepsi tentang karakter, perilaku unggul yang menunjukkan karakter, dan memunyai artefak sebagai hasil dari kinerjanya. Dari sisi nilai karakter, menurut Lichona, terdapat dimensi knowing, feeling, dan actuiting. Dimensi pengetahuan harus dipunyai guru terkait dengan karakter yang baik bagi siswa. Dimensi keinginan untuk menerapkan karakter harus dipahami benar petanya oleh guru. Kemudian, dimensi perilaku berkarakter harus benar-benar dilakukan dalam tindakan nyata oleh guru.

Berkaitan dengan hal tersebut, pelatihan karakter bagi guru haruslah dijalankan dengan pola keterlibatan penuh atau pastisipasi penuh dari guru yang akan dikembangkan kekuatan berkarakternya. Program peningkatan karakter bukan melalui ceramah atau worksohop melainkan melalui pola simulatif penuh dengan gaya partisipasi. Guru sejak di hari pertama sudah merasakan keterlibatan diri karena beranggapan dirinya harus terlibat penuh. Penanaman konsep karakter tidak berasal dari pemandu melainkan berasal dari guru itu sendiri. Narasumber menjadi sosok hebat dalam memfasilitasi.

Memang kemampuan mendidik karakter siswa harus diawali oleh kekuatan guru dalam berkarakter. Untuk itu, guru harus dihadapkan oleh problematika karakter sehingga dapat memecahkan dengan jitu. Guru melakukan tindakan berkarakter akibat situasi yang diciptakan menghendaki guru harus berkarakter. Kemudian, guru dapat menyusun program penguatan karakter bagi siswa. Pelatihan untuk guru harus dihadapkan pada situasi senyatanya dalam berkarakter.

Tahun 2015 yang lalu, direktorat PSMA melaksanakan pendidikan karakter bagi guru SMA melalui pola berkemah selama 4 hari. Ternyata, hasilnya sangat baik bagi pembiasaan berkarakter guru. Guru secara tidak langsung melakukan tindak berkarakter akibat jadwal yang disusun memang mengharuskan guru berkarakter bagus. Karena pola berkarakter itu dilakukan terus-menerus dengan model pembiasaan, secara tidak sadar guru melakukan tindak yang bagus. Sehabis mengikuti program itu, salah satu guru berkomentar bahwa dirinya sekarang ini sangat paham atas tindak berkarakter sehingga dapat mendidik anak agar berkarakter.

Pola kegiatan seperti itu dilaksanakan berkerja sama dengan Gerakan Pramuka Kwartir Daerah di tiap provinsi. Fasilitator yang ditunjuk adalah para pelatih pembina pramuka yang berlisensi melatih tingkat lanjut. Mereka mendampingi, memfasilitasi, menguatkan, merefleksikan, dan mengevaluasi selama kegiatan berlangsung. Narasumber berada di lokasi sejak peserta datang sampai pulang agar mampu mendampingi secara utuh dan tuntas. Jadi, narasumber tidak hit and run atau datang lalu pergi setelah materinya selesai diberikan. Pola tersebut memberikan nilai tambah yang kuat dan berbobot bagi guru. Guru sangat senang dalam mengikuti melalui poal keterlibatn diri yang utuh. Dari pagi sampai larut malam semua yang menangani peserta sendiri. Kemudian, amteri karakter dilaksanakan melalui learning by doing yang dilekatkan ke peserta berdasarkan pemantauan narasumber.

Agaknya, pola tersebut sangat tepat dfilaksanakan untuk peningkatan kompetensi karakter bagi guru jenjang lainnya. Pola dikembangkan dengan cara berkemah, penuh tantangan, langsung, dan di alam terbuka. Bukankah melalui tantangan, karakter sebenarnya dari seseorang akan dikeluarkan dengan maksimal agar dapat mengatasi tantangan tersebut. Tantangan yang baik adalah hambatan yang bersifat N+1, maksudnya kondisi peserta ditambah tingkat kesulitan satu digit. Kesulitan itulah yang akan membentuk karakter peserta.

Jika penguatan kompetensi dilakukan di kelas, tentu, peserta tidak memunyai tantangan sepadan sehingga tidak meningkatkan daya kekuatan karakter peserta. Tantangan pendidikan yang bagus adalah hambatan yang mampu menyentuh pikiran, sikap, dan perilaku senyatanya tanpa simulatif. Guru yang hebat tentu bermula dari keberhasilannya dalam mengatasi tantangan itu.

Selasa, 02 Februari 2016

Kapan Guru Dianggap Mampu?

Rasanya, tiada henti-hentinya guru dirundung ucapan negatif, seperti tidak mampu, skor rendah, jalan di tempat, susah maju, dan seterusnya. Bahkan, ucapan negatif yang datang dari segala sudut (pemerintah, masyarakat, kepala sekolah, dinas pendidikan) itu menurunkan martabat guru di mata siswa dan orang tua. Bisa jadi, orang tua sering mencerca guru ketika anaknya ditangani dengan omelan atau sentuhan lainnya yang niatnya untuk memperbaiki sikap anak gara-gara martabat guru yang diturunkan oleh isu yang selalu populer, yakni ucapan negatif itu.

Kita tidak sadar bahwa ucapan negatif yang terus-menerus disampaikan akan membentuk antipati yang mendalam dalam diri seseorang. Begitu pula dengan ucapan negatif yang ditujukan kepada guru akan membentuk sikap dan pikiran antipati terhadap guru. Ucapan itu menjadi sebuah pembenaran bagi masyarakat yang ujung-ujungnya menurunkan kredibilitas guru. Dampaknya, guru saat ini seakan menjadi pesakitan bagi semua orang.

Padahal, guru sudah berbuat banyak untuk tumbuh kembang siswanya. Semua siswa yang melewati SD hampir semua dapat membaca dan berhitung. Tentu, itu semua wujud keberhasilan guru. Siswa dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dengan skor lumayan, tentu juga hasil kinerja guru. Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para lulusan tentu berkat sentuhan guru. Jadi, guru sebenarnya sudah berbuat. Namun, hasil kinerja guru tersebut masih saja dianggap belum memadai sehingga ucapan negatif bertubi-tubi datang ke guru.

Kalau guru harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kinerja memang itulah yang diharapkan. Guru hebat adalah guru yang terus-menerus belajar sampai titik akhir hidupnya. Dia merupakan sosok yang sadar atas segala kekurangan. Oleh karena itu, tiada hari tanpa belajar bagi guru.

Hanya saja, kewibawaan guru harus dijaga agar kredibilitasnya juga meningkat. Untuk itu, marilah mulai memuliakan tugas guru agar masyarakat juga turut mengangkat kewibawaan tersebut. Jika akan mengerjakan sebuah projek dalam rangka memperbaiki guru janganlah berangkat dari keburukan guru. Keburukan guru hanya akan menguatkan antipati kepadanya.