Senin, 30 Maret 2009

Guru di Mata Mbok Siti (48)

Pagi itu, aku sudah merapat ke rumah MBok Siti dengan sepeda motor butut. Ketika di sungai dekat rumah MBok Siti, aku berhenti sejenak dan tiba-tiba aku melihat beberapa penduduk mandi di sungai. Mereka tampak akrab, damai, dan menikmati. Tentu, itu sebuah tradisi yang masih ada sampai saat ini.

"Ada apa anakku, kok kamu terus tersenyum?", tanya Mbok ketika aku berada di teras rumahnya. "Eh. Eh. Aku tersenyum karena masih ingat orang-orang mandi di sungai tidak jauh dari sini, Mbok", jawabku ringan. "Oh, itu. Mereka memang berada di alam yang masih mereka agungkan untuk kedamaian hidup, anakku", timpal Mbok Siti dengan rendah hati. Sungai itu telah memberikan berkah bagi kami untuk melangsungkan kehidupan. Salah satu berkah adalah air sungai itu memberikan media bagi kami untuk membersihkan badan, pakaian, ternak, dan apa saja yang dapat dibersihkan.

"Anakku, begitu pula dengan guru", katanya. Guru harus mampu mengalir seperti air sungai yang membawa kekuatan untuk dimanfaatkan para siswanya secara alamiah. Siswa dapat memanfaatkan kesejukan air sungai keguruan. "Guru juga harus mampu membersihkan riak kebodohan siswa dengan kesejukannya", tambah Mbok Siti. Jadi, guru harus selalu mengalir dengan membawa kesejukan dan fungsi melarutkan itu.

Rabu, 25 Maret 2009

Guru SD di Gresik Belajar Berbahasa Indonesia

Oleh Suyatno

Sungguh di luar dugaan, guru SD mempunyai kualitas penggunaan bahasa Indonesia dengan baik. Hal itu terlihat saat guru SD, sejumlah 50 orang, berlatih bersama di SDN Sidokumpul 2 Gresik, Selasa--Rabu, 24--25 Maret 2009. Pelatihan diadakan oleh Balai Bahasa Surabaya bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Gresik. Saat dites awal, skor mereka rata-rata 54 namun ketika dilatih tentang penggunaan ejaan, pilihan kata, kalimat, paragraf, dan karya tulis, skor akhir mereka meningkat menjadi rata-rata 85. Peningkatan itu sangat mencengangkan.

Mereka asyik berlatih karena menyadari bahwa bahasa mereka penuh dengan kesalahan. Menurutnya, ternyata berbahasa Indonesia itu sangat mudah asalkan kita mengetahui ciri-ciri dan penandanya. "baru kali ini, saya mengerti bahwa di sebagai kata depan berbeda dengan di sebagai imbuhan", kata Eny, peserta pelatihan itu.

Guru memang sudah seharusnya dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar agar dapat menyampaikan gagasan secara logis ke siswa. gagasan yang logis, lugas, runtut, dan efektif akan mudah dipahami siswa dibandingkan dengan gagasan yang disampaikan secara melompat-lompat. Untuk itu, mengajar sebaiknya juga didukung oleh penggunaan bahasa dengan baik dan benar.

Guru di Mata Mbok Siti (47)

Di sekitar rumah Mbok Sitilah, burung dapat dilihat terbang dengan bebasnya tanpa dikurung dan dijinakkan seperti perilaku orang kota. Aku dapat dengan lama mendongakkan kepala dan memandangi alur kibasan kepak burung berwarna-warni, dan beraneka bentuk. Burung-burung itu sangat lincah menguasai langit seperti raja menguasai kerajaannya. Aku lihat, MBok Siti pun ikut mendongakkan kepala sambil memandangi ayunan sayap hidup itu.

Tiba-tiba, aku mendengar suara lantang dari seorang Mbok yang tampak tersenyum melihat burung-burung berterbangan itu. "Lihat anakku! Burung itu menari penuh gembira dengan warna memesona", katanya lantang sambil menunjuk burung elang yang melintas. Burung itu dapat dengan anggun melayang-layang di udara karena keseimbangan gerakan antara sayap kiri dan kanan. "Keseimbangan itu dipadukan dengan gerakkan ekor dan parunya", jelas Mbok Siti.

Agar dapat bergerak menikmati suasana kelas, guru juga perlu keseimbangan antara berpikir otak kanan dan kirinya. "Guru itu manusia. Pastilah dia mempunyai otak kiri dan kanan", jelas Mbok Siti. Untuk itu, alangkah sayangnya jika kedua fungsi otak milik guru tidak digunakan dengan penuh keseimbangan. Begitu pula, ketika menghadapi siswanya, guru perlu mengiramakan kepaduan otak kiri dan kanan siswa-siswanya. Dengan begitu akan terjadi pesona imbang yang terlahir dari kelas dinamis.

Mengajar dengan Berbasis Otak Kiri dan Otak Kanan

Oleh Suyatno

Mengajar haruslah melibatkan otak kiri dan kanan siswanya. Jika tidak melibatkan kedua fungsi otak itu, ketidakseimbangan akan terjadi bagi diri siswa. Potensi salah satu otak itu akan lemah dan semakin lemah. Untuk itu, semua guru ketika mengajar haruslah menggunakan strategi pelibatan otak kiri dan kanan siswanya.

Otak manusia dibagi menjadi dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri dengan fungsi yang berbeda. Otak kanan diidentikkan tentang kreativitas, persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna, berpikir lateral, tidak terstruktur, dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Sedangkan otak kiri biasa diidentikkan dengan rapi, perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, logika, terstruktur, analitis, matematis, sistematis, linear, dan tahap demi tahap.

Seorang peneliti bernama Roger Sperry (1960) menemukan bahwa otak manusia terdiri dari 2 hemisfer (bagian), yaitu otak kanan dan otak kiri yang mempunyai fungsi yang berbeda. Atas jasanya ini beliau mendapat hadiah Nobel pada tahun 1981. Selain itu dia juga menemukan bahwa pada saat otak kanan sedang bekerja maka otak kiri cenderung lebih tenang, demikian pula sebaliknya. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi misalnya. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri,akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa, dan matematika.

Berdasarkan kekuatan fungsi masing-masing, berarti, kedua fungsi otak manusia itu sangat diperlukan dalam menghadapi hidup. Begitu pula, bagi siswa, pembiasaan penggunaan kedua fungsi otak itu sangat bermanfaat dalam perjalanan dirinya menuju kedewasaan. Dengan begitu, guru dalam mengajar di kelas, metode apapun yang digunakan, sebaiknya berbasis otak kanan dan kiri.

Berikut ilustrasi guru yang mengajar selalu berbasis otak kiri saja. Ilustrasi berikut diambil dari blog Heriyono. Seorang guru yang mengajar berhitung untuk kelas 3 SD, Masuk kelas dengan malas. ”Anak-anak, sekarang kita belajar berhitung,” kata guru. ”Jumlahkan bilangan : 1+2+3+4+5+6+7+…. dan seterusnya sampai terakhir tambah 2000 !” perintah guru. Guru tersebut berfikir bahwa anak-anak tidak akan mempu menyelesaikan tugas tersebut, yaitu menjumlahkan bilangan dari 1 sampai 2000 dalam waktu 2 jam – bahkan jika pakai kalkulator sekalipun. Sehingga guru tersebut dapat duduk-duduk santai saja.

Tetapi tidak. Hanya dalam waktu sekitar 1 menit, seorang murid mengacungkan tangan dan berkata ”Saya bisa, saya sudah selesai”. Guru tersebut kaget, ”Mana mungkin,” pikirnya. Tetapi murid tersebut memang bisa, dan benar. Ia mengatakan jawaban dari soal itu adalah 2.001.000. Bagaimana caranya?

Murid itu mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dan cepat karena menggunakan otak kanan dan otak kiri secara harmonis. Otak kiri berpikir dengan cara urut, bagian perbagian, dan logis. Sementara otak kanan melengkapinya dengan cara berpikir acak, holistik, dan kreatif.

Jika kondisi di atas dijaga dan dibimbing oleh guru yang paham dengan fungsi otak kiri dan kanan, anak tersebut pasti akan lebih diperkuat dan dimotivasi untuk terus melakukan kreativitas lagi. Bahkan, anak-anak lain diajak untuk semakin berpikir kreatif. Sebaliknya, jika siswa itu dihadapi oleh guru yang juga hanya berpikir otak kiri, siswa itu pastilah akan mendapatkan cercaan, makian, bahkan mungkin pukulan.

Saat kita belajar di sekolah misalnya, kita biasa dituntut untuk berpikir urut dan logis saja. Tetapi, seperti telah kita lihat dalam contoh anak kelas 3 SD di atas, kita perlu menggunakan setengah kemampuan yang lainnya yaitu otak kanan. Kita memang perlu keberanian untuk mencoba menggunakan otak kanan yang berpikir secara acak, menyeluruh dan kreatif itu. Sebagimana seekor burung dapat terbang bebas menggunakan dua sayapnya, sayap kiri dan kanan. Demikian juga kita, manusia dapat menerbangkan kecerdasan otak, kecerdasan berpikir setinggi langit dengan sayap-sayapnya, otak kiri dan otak kanan.

Senin, 23 Maret 2009

Guru di Mata Mbok Siti (46)

Setangkup pisang tersedia di meja dapur Mbok Siti. Aku terdiam sambil menelan ludah untuk merasakan dan mencicipinya saat Mbok Siti ada di dalam rumah. "Kenakalanku muncul namun hanya sebatas keinginan dan tidak sampai mengambilnya", gumamku lirih sekali. Pisang segar dan tua itu tetap saja di meja. Aku bertahan pada norma kesantunan. Pisang tidak aku sentuh sama sekali karena bukan milikku. Mbok Siti masuk ke dapur sambil membawa beras di dalam periuk. "Pisang itu tidak untuk dilihat anakku, tapi untuk dimakan", kata Mbok Siti. Aku kaget. "Lho, Mbok Siti kok tahu bahwa aku tertarik dengan pisang", batinku. "Ayo, ambillah barang sebiji. Pisang itu hasil dari kebun Mbok", ajaknya. Akupun mengambil pisang itu dan memakannya. Pisang itu sangat masak sehingga lezat kalau dimakan. "Pisang itu dapat masak karena usaha akar, batang, daun, dan tangkai pisang secara terus-menerus sampai pisang itu dinikmati, anakku", jelas Mbok Siti sambil mencuci beras untuk masak. "Iya, Mbok", jawabku sambil merasakan kelezatan pisang manis itu.

Guru sejati sebaiknya juga seperti akar, batang, daun, dan tangkai pisang yang bahu-membahu menyukseskan kematangan siswanya. "Guru sejati itu tidak akan pernah berhenti memproses tingkat kematangan siswanya sampai siswa itu benar-benar menunjukkan prestasinya sebagai wujud kematangan diri", jelas Mbok Siti. Akar tidak akan dapat mematangkan buah pisang jika tidak dibantu oleh batang. Begitu pula, batang tidak akan mampu mematangkan buah pisang jika tanpa dibantu oleh daun dan tangkai. Jadi, tidak ada guru yang berhasil hanya karena dirinnya sendiri melainkan guru akan berhasil jika dibantu oleh guru lain sesuai dengan bidangnya.

Ketika Guru Mendidik Siswa sesuai Potensinya

Oleh Suyatno

Dari 40 siswa di satu kelas, paling-paling guru hanya mampu menyentuh titik potensi anak 10%-nya, potensi siswa lainnya tidak tersentuh melalui guru. Siswa yang tidak tersentuh itu akan mendapatkan titik sentuh dari orang di luar guru, misalnya, teman, orangtua, komunitas tertentu, dan bahkan penjahat. U&ntuk itu, guru perlu terus meningkatkan kemampuan menyentuh titik potensi siswa dengan mendalami aneka ragam metode, media, kejiwaan, dan situasional pembelajaran.

Padahal, jika siswa tersentuh titik potensinya, ia akan menjadi manusia hebat yang berprestasi membanggakan. Banyak anak-anak cerdas yang kelihatan kecerdasannya setelah melalui titik potensi dengan ditandai oleh beragam aktivitas. Sebaliknya, banyak anak cerdas yang belum mampu menampakkan kecerdasannya karena tidak ada media yang dapat menyalurkannya ke dunia relitas kecerdasan.

Kompas. com, 17 Maret 2009 melaporkan bahwa potensi anak akan membelalakkan mata orang dewasa jika disentuh secata tepat.

Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran. Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas. Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.

SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya. Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.

”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.

Tetap konsisten

Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.

Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus. Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.

Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa. Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.

Lima bidang pelajaran

Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler. Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.

Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar. Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.

Anak berbakat

Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya. Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.

Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas. Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.

Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.

Siapkah Anda mengajar siswa yang mempunyai kecerdasan istimewa itu?

Guru Berbasis Masa Depan

Oleh Suyatno

Guru sebenarnya merupakan sosok yang berada di masa depan. Proses pembelajaran yang dilakukan sekarang merupakan bentuk masa depan yang dibawa siswa ketika dewasa. Sosok guru saat ini adalah sosok siswa masa depan. Untuk itu, guru perlu dengan kekuatan batinnya mengajar dengan nuansa masa depan agar siswa benar-benar siap menghadapi masa depannya.

Katakanlah, guru bernama Tugiman, saat ini, ia mengajar di SD kelas 4. Tentu, 20 tahun ke depan, siswa yang diajar Tugiman menjadi sosok dewasa yang bisa jadi alam dan pikiran siswa itu adalah alam pikiran guru Tugiman. Meskipun, bisa jadi, 20 tahun ke depan Tugiman telah tiada, pikiran-pikirannya tetap ada dalam diri siswa itu. Oleh karena itu, Guru Tugiman dalam mengajar sekarang haruslah berdimensi masa depan.

Agar Guru Tugiman nyaman dalam mengajar saat ini, dia harus mampu membaca posisi masa depan dengan baik melalui gejala-gejala yang ada saat ini. Guru Tugiman harus juga mampu menangkap momen lalu mengkristalkan menjadi buah orientasi dalam membawa siswa agar siap di masa depan.

Masa depan tidaklah terpisah dengan masa sekarang karena masa depan sebenarnya merupakan bentuk keberlangsungan dari masa sekarang. Berikut momen sebagai tanda mengenali masa depan. Pertama, jika masa sekarang informasi teknologi begitu cepat, banyak, padat, dan menjangkau, masa depan informasi teknologi itu akan semakin cepat dan lumrah. Ke depan, informasi teknologi menjadi kebiasaan hidup yang permanen dan primer. Kedua, saat ini, nilai kemanusiawian begitu penting setelah ditemukannya banyak varian obat, varian kepedulian diri, varian penghancur manusia, dan varian yang lainnya. Masa depan berarti, nilai kemanusiawian menjadi prasyarat utama dalam menjalani kehidupan. Ketiga, kepraktisan saat ini menjadi idola bagi manusia yang ditandai oleh kebiasaan instan, cepat, mudah, murah, baik, dan lancar. Untuk itu, masa depan dunia akan diwarnai budaya serba cepat dan manusia ingin lebih praktis lagi.

Berkaitan dengan hal di atas, Guru Tugiman perlu pemahaman tentang informasi teknologi, nilai kemanusiawian, dan kepraktisan. Siswa yang diajar Guru Tugiman perlu dibawa ke alam informasi teknologi, manusiawi, dan praktis. Sudahkah seperti itu Guru Tugiman?

Rabu, 11 Maret 2009

Guru di Mata Mbok Siti (45)

"Mengapa Mbok, mata, pendengaran, tangan, dan daya tanggap Mbok masih prima?", tanyaku di sela-sela menata jajaran karung di teras agar tidak kehujanan. 'Oh, pancaindra ini", jawab Mbok Siti yang mengenakan kain jarit motif hitam namun kusam itu. Pancaindra ini hanyalah alat semata. "Karena alat yang mampu menjadikan sarana pikiran terwujud, pancaindra perlu dirawat, anakku", jawabnya tegas. Sifat pancaindra mengalami perubahan dari yang kuat hingga menjadi lemah dan bahkan hancur lebur sehingga pancaindra tidak dapat digunakan sebagai pedoman hidup.Namun, dalam penggunaannya, pancaindra harus dituntun oleh budi yang benar. Budi, pikiran, angan-angan, dan kesadaran merupakan tunggal wujud dengan akal. "Jadi,pancaindra saja tidak cukup untuk mengetahui kebenaran.

Begitu pula, guru tidaklah cukup jika mengandalkan kemampuan pancaindra semata dalam mengajar. Pancaindra guru harus dibungkus dengan ketulusan, kesejatian, kebenaran, dan kekuatan mendidik. "Pancaindra tidak bisa menilai, memilah dan memilih suatu objek namun hanyalah mengirimkan pesan tanpa memberi tahu benar-salahnya, dan tanpa menyeleksi manfaat dan mudaratnya", ujar Mbok. Diri gurulah yang memandu pancaindra dan memberikan penilaian terhadap fenomena yang ditangkapnya. Guru perlu menggunakan pikiran yang tulus untuk dapat memilah dan memilih, menimbang yang baik dan yang buruk, mengetahui apa yang salah dan apa yang benar, dan dapat membedakan antara fakta dan realita dan ekspresi lain-lainnya. Keterpaduan fungsi pancaindra dengan niat keguruan seorang guru akan membungkus inti pembelajaran sehingga membentuk siswa menjadi manusia yang manusiawi.

Guru di Mata Mbok Siti (44)

Mbok Siti masih saja di pelataran rumah sambil memindahkan jagung gelondongan ke dalam karung goni. Padahal, senja sudah terlalu memerah pertanda malam segera menjemput perannya. Aku segera memarkir sepeda motor untuk segera membantu Mbok Siti. "Aku bantu Mbok", kataku dengan cepat. Mbok Siti menganggukkan kepala menyetujui. Kami dengan cepat memasukkan jagung yang kering, keras, dan berwarna kilap. "Ini ciri jagung baik ya Mbok?", tanyaku sambil menunjukkan satu tongkol ke Mbok Siti. "Tepat sekali, anakku. Itulah jagung baik", jawab Mbok Siti sambil terus memasukkan ke karung jagung-jagung itu. Jagung baik pastilah berbeda dengan jagung yang tidak baik. Perbedaan itu berdasarkan bentuk yang disepakati, yakni lebih besar, padat isi, warna cerah, kering, dan sehat atau tanpa ulat.

Guru baik juga berbeda dengan guru tidak baik. "Guru baik pasti lebih besar kepeduliannya, padat isi pikirannya, cerah dan bergembira, tidak terpengaruh hal yang buruk, dan sehat", terang Mbok Siti. Berarti, tidak semua guru menjadi guru baik meskipun semua guru berpotensi menjadi guru baik. Banyak pikiran guru sangat baik tetapi buruk di pelaksanaan nyata. Guru baik itu seperti jagung pilihan yang siap menjadi benih dengan menurunkan jagung yang lebih baik lagi.

Guru Sekarang Masih Gagap Internet

Saat ini, banyak guru yang belum paham tentang internet. Mereka hanya paham dengan menuliskan sesuatu di papan baik dengan kapur atau spidoal. Padahal, siswa-siswanya banyak yang justru dekat dan akarab dengan internet. Jadinya, kesenjangan pembelajaran terjadi yang ditandai oleh kemarahan guru bertubi-tubi. Wartawan Kompas (Selasa, 10 Maret 2009 | 20:24 WIB,wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono) melaporkan bahwa pesatnya lobalisasi serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)saat ini menuntut perubahan sikap dan pola pikir guru. Sebab, peran guru saat ini makin tersaingi dengan keberadaan internet dan televisi. Sekolah melalui gurunya harus bisa menjadi lembaga yang tidak sekadar transfer ilmu, tetapi juga nilai-nilai luhur.

Demikian benang merah imbauan yang disampaikan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf saat menjadi pembicara keynote dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Majalah Guruku, Selasa (10/3) di Sabuga. Kegiatan yang diadakan cuma-cuma ini diikuti sekitar 1.500 guru se-Bandung Raya.

Menurutnya, internet dan televisi sebetulnya merupakan alternatif sumber belajar. Namun, pada kenyataannya, tidak jarang ini menggeser peran guru sebagai penyampai ilmu. "Saya terkejut anak saya yang baru berumur 8 tahun sudah pandai buka-buka website. Ditanya dia ikut les atau tidak, ternyata dia jawab tidak," tuturnya.

Dari pengalaman ini muncul pesan, internet dalam wadah TIK merupakan sumber yang luas untuk belajar. Jika guru tidak memutakhirkan dirinya terhadap perkembangan TIK, ucapnya, maka daya saing bangsa akan kian tertinggal. "Ke depan kan bakal banyak guru-guru asing mengajar di Indonesia, khususnya Jabar. Yang saya khawatirkan, justru mereka berasal dari Negara Jiran. Ini adalah tantangan."

Fenomena situs jaringan pencari kawan macam Friendster dan Facebook, ucapnya makin menegaskan fenomena masyarakat digital. Dalam konsep ini, masyarakat bagaikan sebuah keluarga besar yang melintasi batas wilayah dan saling aktif bertukar informasi. Sekolah, ucapnya, merupakan benteng untuk menyaring budaya global yang tidak sesuai budaya lokal. Di sinilah sekolah berperan sebagai lembaga transfer nilai.

Dalam kuliah umum, Kepala Subbidang Penghargaan dan Perlindungan Guru Direktorat Jenderal Depdiknas RI Dian Mahsnah mengatakan, guru sejatinya tetap kunci dalam proses pembelajaran. Namun, sebagai agen perubahan, guru dituntut harus mampu melakukan validasi-memperbaharui kemampuannya, sesuai dengan tuntutan zaman agar tidak tertinggal.

Krisis guru idola

Menyinggung soal masih banyaknya guru yang gagap teknologi, menurutnya, hal ini lebih disebabkan karena faktor individu, enggan memperbaiki diri. Dengan adanya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), guru sebetulnya dituntut lebih memberdayakan TIK untuk proses pembelajaran bermutu. Demikian diucapkannya.

Hal yang tidak kalah penting adalah membiasakan mengajar dengan menyenangkan. Dengan demikian, pembelajaran menjadi semakin menarik bagi siswa. Berdasarkan survei yang disampaikannya, saat ini tengah terjadi krisis guru idola di Indonesia. Tingkat kepanutan guru di mata siswa hanya 58 persen. Kalah jauh dibandingkan tingkat panutan orangtua (90 persen), bahkan sesama teman sebaya (88 persen).

Menurut Pemimpin Redaksi Majalah Guruku Ismed Hasan Putro, guru merupakan penentu peradaban suatu bangsa, ujung tombak pendidikan. Selayaknya, anggaran 20 persen untuk pendidikan, 40 persennya diarahkan untuk perbaikan kesejahteraan guru. Demikian dikatakan Ketua Masyarakat Profesional Madani ini.

Jumat, 06 Maret 2009

Cara Mengatasi Murid Bandel, Malas, dan Manja

Oleh Suyatno

Ada satu pertanyaan dari seorang bernama Mahlan. Pertanyaan itu adalah Pak, tempat saya mengajar itu terkenal dengan bandel, malas, dan manja. Bagaimana cara menyikapi terhadap semua siswa yang rata-rata dari rumah sudah dikondisikan seperti itu?. Itu pertanyaan yang sangat baik dan mendasar. Pertanyaan baik karena yang ditanyakan berlaku di semua tempat pendidikan. Pertanyaan mendasar karena bandel, malas, dan manja merupakan tengara bahwa kondisi seperti itu merupakan tipikal anak-anak.

Dalam proses penyesuaian, tentu akan terdapat ketidaksesuaian karena perbedaan persepsi, perilaku, dan harapan. Namun, ketidaksesuaian itu akan menjadi bentuk kesesuaian setelah terjadi persamaan persepsi, kehendak, perilaku, dan seterusnya. Dengan begitu, dapat dikatakan kalau siswa bandel, malas, dan manja merupakan warna asali anak-anak yang belum menemukan titik kesesuaian seperti yang diharapkan oleh guru. Adalah hal yang wajar jika siswa itu bandel, malas, dan manja. Kewajaran itu ditentukan oleh diri anak yang belum matang, belum dewasa, dan belum menemukan jatidirinya.

Tugas gurulah untuk mengajak siswa bandel, malas, dan manja berubah menjadi siswa yang sepadan dengan aturan. Caranya:
1. Anggaplah bahwa bandel, malas, dan manja hal yang terjadi dalam diri siswa.
2. Identifikasikanlah tingkat kebandelan, kemalasan, dan kemanjaannya siswa tersebut.
3. Golongkan tingkat kebandelan, kemalasan, dan kemanjaan berdasarkan kesamaan dari siswa.
4. Carilah penyebab kebandelan, kemalasan, dan kemanjaan siswa secara detail.
5. Berikanlah perhatian yang sesuai dengan tingkat kebandelan, kemalasan, dan kemanjaan.
6. Terus-meneruslah memberikan perhatian kepada siswa-siswa tersebut seperti kita mengajari anak menggunakan tangan kanan.
7. Ciptakan kondisi tertentu sampai pada taraf siswa tersebut mempunyai kedekatan dengan Anda.
8. Cari aneka metode untuk menguabh anak dari belum bisa menjadi bisa.

Guru di Mata Mbok Siti (43)

"Lihatlah gelas itu anakku", ajak Mbok Siti kepadaku. Aku melihat gelas itu lama sekali. Tiba-tiba, Mbok Siti melanjutkan, "gelas itu menemukan fungsinya setelah diisi air yang cukup". "Maksudnya Mbok?", tanyaku lebih lanjut. "Maksudnya, gelas itu dibuat untuk memberikan fungsi dan manfaat" jawab Mbok Siti yang masih tajam penglihatannya. Jika tidak ada manfaatnya, pembuatan gelas akan sia-sia meskipun tetap dinamakan gelas. Gelas yang tidak ada itu pastilah dinamakan gelas kosong. Lama-kelamaan, karena kosong terus-menerus, gelas itu akan tidak dinamakan gelas lagi melainkan benda yang tidak berguna. Ujung-ujungnya, gelas itu akan dibuang.

"Guru haruslah seperti gelas yang bermanfaat", jelas Mbok yang suka makan dengan nasi yang sangat sedikit itu. Jangan mau dinamakan guru jika guru tidak ada isinya. Isi gelas guru tentunya air yang mampu menyegarkan siapapun yang menyeruputnya. Air dalam gelas guru harus selalu tergantikan agar dinikmati sepanjang masa ketika siswa kehausan.

Guru di Mata Mbok Siti (42)

Sudah dua jam, aku berbincang dengan Mbok Siti di halaman belakang di bawah pohon sawo di atas kursi papan panjang yang gak reyot. Gila. Mbok Siti sangat kuat berbicara lama dan isinya sangat luar biasa bagi pencerahan diriku. "Mbok, ternyata,mendalam apa yang dibicarakan hari ini", komentarku saat berakhir perbincangan itu. "Apa sih resepnya?", tanyaku menyelidik. "Tidak ada resepnya, anakku", jawabnya enteng. "Kalau pembicaraan terarah, mendalam, dan lengkap, tentu, pembicaraan akan menemukan waktunya", katanya.

Begitu pula, guru di hadapan siswanya haruslah mampu berbicara secara mendalam, lengkap, dan terarah. "Ketika pembicaraan guru lengkap dan terarah tetapi tidak mendalam, siswa tidak akan mendapatkan materi secara kuat. Begitu pula, sebaliknya", terang Mbok Siti yang pakai jarit itu. Banyak guru yang hanya mampu berbicara di permukaan saja, bahkan tidak terarah.