Rabu, 30 September 2009

Cara Mudah Bercakap-Cakap bagi Guru

Mungkin terlihat sepele, tetapi pembicaraan bisa jadi hal yang menyeramkan untuk orang yang pemalu. Karena memulai pembicaraan dengan orang yang sama sekali asing bagi sebagian orang adalah hal yang mendebarkan. Berikut adalah tips untuk memulai percakapan, ketika suasana sudah mulai garing dan Anda bisa mendengar helaan napas seseorang di sebelah Anda itu.

Mulai dari yang kecil
Ada saat ketika Anda tak punya pilihan untuk memulai percakapan dengan orang yang ada di sebelah Anda. Misal, saat makan siang, yang sudah tiba di ruang makan baru Anda dan salah satu pegawai yang sudah lebih lama bekerja di sana. Hal semacam ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi Anda untuk menambah kenalan. Yang perlu ditanamkan dalam pikiran Anda adalah untuk tidak menilai bicara dengan rekan kerja sebagai tugas yang berat. Hal ini akan membuat tekanan di pikiran Anda teralihkan. Jadilah diri Anda sendiri.

Sue Thompson, pelatih etiket dari Set Free Life Seminars menyarankan Anda untuk menggunakan aturan 3 bulanan. Dalam arti, mulailah dengan sesuatu yang pernah Anda kerjakan dalam waktu 3 bulan terakhir atau perencanaan yang ingin Anda lakukan dalam 3 bulan ke depan. Akan lebih baik jika dalam kegiatan tersebut orang yang diajak bicara juga terlibat. Namun, jika tidak, pembicaraan mengenai sesuatu mengenai Anda pun sudah cukup. Misal, rencana untuk mengecat ulang rumah, rencana untuk berlibur, atau rencana lainnya. Selain akan membuat Anda merasa nyaman untuk membicarakan topik ini, orang yang diajak bicara pun bisa menyampaikan pendapat atau pengalamannya mengenai hal tersebut.

Lynne Eisaguirre, penulis We Need to Talk: Tough Conversations With Your Boss, menyarankan untuk mengajukan pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan siapa, apa, di mana, dan kapan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan mengalirkan pembicaraan ketimbang pertanyaan yang bisa dijawab hanya dengan "ya" atau "tidak".

Percakapan adalah jembatan untuk hubungan yang lebih erat antara dua orang. Usir godaan untuk duduk diam seribu bahasa padahal ada orang di dekat Anda. Selalu usahakan untuk menciptakan pembicaraan. Hubungan kerja Anda adalah kesejahteraan Anda di tempat kerja.

Dengarkan
Percakapan berisi dari dialog. Ketika satu orang sedang bicara, yang lainnya mendengarkan. Jika tidak, yang ada hanyalah dua orang yang menunggu giliran berbicara, dan tak ada pertukaran ide. Mendengarkan dalam sebuah percakapan, sama pentingnya dengan bicara, terang Lynne Sarikas, direktur MBA Career Center di Northeastern University's College of Business Administration.

Ada ujar-ujar yang menyatakan, “Ada alasan mengapa manusia memiliki 2 telinga dan 1 mulut; yakni agar kita bisa mendengarkan lebih sering ketimbang bicara”. Tunjukkan rasa hormat kepada lawan bicara Anda dengan mendengarkan seksama apa yang mereka katakan. Caranya, dengan mengerti ucapan mereka, baik dengan ucapan mengulang kata terakhir mereka, atau dengan anggukan sudah cukup sopan. Lontarkan pertanyaan untuk membuat mereka menyadari, bahwa Anda menyimak omongannya. Sebut namanya. Jangan menginterupsi ketika mereka bicara.

Hanya karena seseorang memiliki jabatan lebih tinggi dari Anda, tak berarti Anda harus belajar segalanya lagi dari awal. Hanya diperlukan sedikit kepercayaan diri untuk mau berusaha bicara dengan orang lain.

Berikut tips untuk mengingatnya:
* Bicarakan tentang sesuatu yang Anda ketahui
Untuk memulai pembicaraan, Anda bisa menggunakan topik pekerjaan, keluarga, hobi, atau peristiwa terbaru (asal tak terlalu kontroversial). Biarkan pembicaraan mengalir dari sana.

* Dengarkan
Pastikan Anda mengijinkan orang lain untuk bicara. Jangan lupa untuk memerhatikan arah pembicaraan. Jika mereka terlihat atau terdengar tak tertarik untuk membicarakan topik seputar pekerjaan, tapi terlihat tertarik saat Anda menyebut akan mengadopsi anak anjing, ikuti arahnya.

* Personal
Dalam pekerjaan, tak jarang Anda harus berhadapan dengan orang yang sama berulang-ulang. Hal ini memang bisa mempererat hubungan. Tetapi sayangnya, hal ini juga membatasi Anda untuk mengenal kolega yang lain. Jika Anda kebetulan memiliki kesempatan berada dalam lokasi yang sama dengan seseorang yang belum Anda kenal di kantor, gunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya. Berkenalanlah dengan orang tersebut untuk memperluas kontak Anda.

* Memulai percakapan
Jangan malu untuk membuka percakapan dengan teman sekantor. Tak pernah ada salahnya, asal Anda tak mengatakan hal-hal yang mengganggunya. Siapa tahu dengan percakapan kecil beberapa menit tersebut, Anda bisa bekerja sama dan saling membantu di masa depan.

Dari Konferensi Pemuda Internasional, "Pendidikan Tanamkan Nilai Perdamaian"

Pendidikan memiliki peran penting untuk menanamkan pemahaman dan nilai perdamaian bagi generasi muda. Langkah ini penting untuk menciptakan kehidupan bersama yang jauh dari kekerasan.

Demikian antara lain disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia di UNESCO Arief Rahman seusai pembukaan Konferensi Pemuda Internasional bertajuk ”The Role of Youth to Establish Peace, Toward a Future World without Violent Radicalization,” di Provinsi Banten, Selasa (29/9).

Konferensi pemuda yang dihadiri 150 pemuda dari 20 negara di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, itu untuk berbagi informasi serta pengalaman di negaranya masing-masing dalam menghadapi tindak kekerasan. Konferensi ini dibuka Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault di Banten, Selasa (29/9).

Konferensi yang digagas UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga serta Pemerintah Provinsi Banten ini merupakan wujud keprihatinan terhadap pemuda dan anak-anak yang sering menjadi korban kekerasan.

Pemuda dari lima benua tersebut mendiskusikan rekomendasi yang akan dibawa dalam Sidang Tahunan UNESCO di Paris pada Jumat (2/10) mendatang. Rekomendasi yang disebut sebagai Deklarasi Banten ini diharapkan bisa menjadi masukan pada sidang tahunan tersebut.

”Indonesia dipilih sebagai tempat konferensi karena dianggap sebagai laboratorium kehidupan manusia di dunia karena memiliki kebhinekaan kultur, agama, dan keragaman lainnya,” ujar Arief Rahman.

Indonesia juga dinilai memiliki prestasi karena memiliki Undang-Undang (UU) Kepemudaan yang akan dijadikan masukan bagi negara-negara di dunia yang belum memiliki UU serupa.

Arief mengatakan bahwa ada empat tema yang melandasi rekomendasi Deklarasi Banten, yakni peranan pendidikan, peranan pemuda dan olahraga, peranan media, dan peranan masyarakat.

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Banten Iin Mansyur mengatakan, Deklarasi Banten merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan peserta konferensi, yang ingin mencegah kekerasan dan radikalisme di dunia. Serta keinginan agar pemuda dapat berperan dalam menjaga dan meningkatkan perdamaian dunia. ”Itulah yang akan dirumuskan dalam konferensi pemuda ini,” katanya.

Konferensi ini juga diikuti wakil dari Komite Nasional Pemuda Indonesia, organisasi pemuda, perwakilan dari beberapa provinsi di Indonesia, unsur perguruan tinggi, dan individu yang peduli masalah kepemudaan dan internasional.

Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengapresiasi penyelenggaraan konferensi yang bertujuan mendorong kehidupan damai di seluruh dunia. Dipilihnya Banten sebagai tempat konferensi diharapkan dapat memperkenalkan Banten dan ragam potensinya kepada dunia internasional. (Sumber: Kompas Cetak, Rabu, 30 September 2009/CAS)

Belajar dari Gandhi

Oleh Indra Gunawan M

Tanggal 2 Oktober ini merupakan peringatan ulang tahun ke-140 kelahiran Mahatma Gandhi. Kebanyakan orang mengakuinya sebagai salah seorang tokoh terbesar sejarah.

Bahkan, Einstein pernah memujinya, ”Mungkin generasi berikutnya akan sulit percaya kalau ada orang seperti itu pernah hidup di dunia ini.” Pertanyaannya adalah adakah ajarannya masih relevan untuk masa kini?

Selama ini, kita mengenal Gandhi sebagai tokoh penggerak ahimsa dan satyagraha.

Kedua istilah itu kerap dibaurkan meski sebenarnya ada nuansa perbedaan. Ahimsa lebih merupakan perilaku untuk tak menjalankan atau menghindari tindak kekerasan, terutama terhadap makhluk hidup. Dan, Gandhi menerapkannya, khususnya dalam perjuangan politik

Sementara satyagraha lebih merupakan falsafah dan praktik untuk menjalankan prinsip-prinsip kebenaran. Bukan kebenaran tafsir manusia, melainkan lebih merupakan berserah terhadap kehendak Ilahi. Dalam satyagraha, tujuan dan cara itu adalah satu, keduanya tak boleh berlawanan. Tujuan mulia untuk memuliakan Allah tak boleh menghalalkan segala cara. Dan, salah satu prinsip satyagraha adalah ahimsa.

Pertanyaan lanjut, apakah ahimsa ataupun satyagraha tidak terlampau idealistis? Sebenarnya, jika menukik ke ajaran Gandhi, tidaklah demikian. Dalam keadaan nyawa terancam, kita berhak melakukan pembelaan diri, termasuk dengan menggunakan kekerasan.

Jika pilihannya terbatas antara kepengecutan dan kekerasan, Gandhi lebih memilih yang kedua untuk mempertahankan martabat bangsa. Namun, dalam banyak hal tersedia sejumlah pilihan dan tidak hanya terbatas pada dua hal itu.

Alhasil, Gandhi teguh berpendirian, pantang kekerasan itu jauh lebih unggul dibandingkan kekerasan; untuk sejumlah hal pengampunan lebih ksatria daripada penghukuman, sementara kekuatan sejati lahir terutama dari kemauan keras dan bukan dari kapasitas fisik.

Menempa diri

Jika dikaji riwayat hidupnya, sebenarnya Gandhi pada awal mula bukan orang istimewa. Ia canggung, pemalu, dan tidak menonjol dalam pelajaran di sekolah. Sepertinya tak ada bakat khusus yang melekat pada dirinya. Mula pertama menjadi pengacara di India, ia juga tak begitu berhasil.

Setelah menetap di Afrika Selatan, memperjuangkan hak-hak warga India di sana, ia berhasil menempa diri menjadi pribadi tangguh—sekuat granit—yang berkomitmen penuh pada nilai-nilai kebenaran dan pantang kekerasan. Dengan tekun belajar, rajin introspeksi disertai disiplin tinggi, ia mampu mengangkat diri sebagai pemimpin bermartabat yang berusaha menyatukan pikiran dengan perbuatan.

Agaknya, Gandhi adalah manusia paradoksal. Di satu pihak ia lemah lembut secara fisik dan pantang kekerasan, tetapi di pihak lain ia pribadi pantang menyerah, berani masuk keluar penjara. Ia suka merenung, menuangkan pikirannya dalam tulisan, yang jika dikumpulkan dapat mencapai 80 jilid, tetapi serentak dengan itu dia adalah manusia tindakan. Ia idealis, tetapi pada saat bersamaan memperhitungkan realitas medan untuk mencapai tujuan

Tujuh dosa sosial

Gandhi banyak melahirkan idiom-idiom yang membuat orang tercenung, seperti ”Anda mesti menjadi perubahan yang Anda ingin saksikan”. Atau, ”Ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pada betapa pedulinya dia pada penduduknya yang paling rentan/lemah”.

Gandhi tak hanya bicara yang bagus-bagus, tetapi berdiri di garda depan membela kaum paria, kelompok paling rendah, untuk memperoleh status persamaan hak.

Namun, ungkapannya yang paling menggigit adalah: ”Kekayaan tanpa kerja”, ”Kenikmatan tanpa nurani”, ”Ilmu tanpa kemanusiaan”, ”Pengetahuan tanpa karakter”, ”Politik tanpa prinsip”, ”Bisnis tanpa moralitas”, dan ”Ibadah tanpa pengorbanan”. Ia menyebutnya sebagai tujuh dosa sosial yang mematikan.

Kalau kita melihat ke sekeliling, mencermati berbagai kejadian yang ditampilkan media atau menelisik ucapan atau gerak-gerik tokoh-tokoh (birokrasi, politik, bisnis, akademi), bandingkan perilaku mereka dengan ungkapan Gandhi. Sebagian tidak sama, tetapi sebagian lagi sepertinya punya kemiripan.

Dunia sepertinya sudah terbelah. Sebagian cukup besar masih mempunyai nurani, kemanusiaan, karakter, prinsip, moralitas, mau berkorban dan berkarya. Sebagian lainnya karena berbagai faktor, seperti kemudahan kesempatan, rayuan kedudukan, pengaruh uang, bujukan sekeliling, atau tuntutan dari atasan, menjadi bergeser posisinya.

Mula-mula bergerak ke wilayah abu-abu untuk kemudian beringsut mendekati zona bebas nilai. Yang penting adalah menjadi pemenang, satu-satunya parameter yang dikedepankan untuk menentramkan hati.

Gandhi sendiri seperti ditulis Richard Granier, Commentary, 1983, bukanlah orang suci, sempurna, tanpa punya kelemahan pribadi. Ia misalnya mempunyai hubungan kurang harmonis dengan istri dan anak-anaknya

Gandhi juga lebih sering dan lebih banyak dikelilingi sejumlah besar pengikut dan kurang mempunyai rekan sederajat. Namun, terlepas dari berbagai kekurangan, ia orang yang terus berusaha, dan ini yang membuat kita kagum kepadanya.

Agaknya, pada zaman kelabu ini, relevansi ajaran Gandhi menjadi bertambah kuat. Di tengah kebimbangan, dia dapat menjadi bintang petunjuk yang memberi arah yang tepat.(Sumber: Kompas Cetak, Rabu, 30 September 2009)

Indra Gunawan M Pemerhati Budaya Kepemimpinan

Senin, 28 September 2009

Kebudayaan dan Pendidikan, Akar Masalah yang Berlarut

Untuk mengatasi persoalan kebangsaan yang berlarut-larut dan tantangan ke depan, pemerintah baru diharapkan menjadikan pendidikan dan kebudayaan sebagai agenda utama pemerintahan, sebab akar tunggang persoalan bangsa yang sekarang berlarut- larut terletak pada kedua bidang tersebut.

Demikian, antara lain, ditegaskan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo di Jakarta, Kamis (24/9). Pihak PGRI meminta supaya bidang kebudayaan dan pendidikan disatukan kembali dalam satu departemen.

Hal senada disampaikan Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suwandi Hamid. ”Pembangunan kebudayaan yang mampu membentuk karakter bangsa seharusnya diintegrasikan dalam pembangunan pendidikan nasional. Oleh karena itu, urusan kebudayaan perlu dimasukkan kembali dalam ranah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.”

Menurut Sulistiyo, perhatian yang serius perlu difokuskan pada pendidikan supaya kebijakan pendidikan nasional mampu menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi bangsa secara tepat. Untuk itu perlu ada staf khusus bidang pendidikan.

Dia menambahkan, jika pendidikan merupakan agenda terpenting dengan anggaran terbesar, PGRI meminta supaya dalam dewan pertimbangan presiden, lembaga kepresidenan, dan wakil presiden ada staf khusus bidang pendidikan.

Saat ini pendidikan nasional sangat tidak tepat sasaran yang mengakibatkan berbagai persoalan bangsa dan masyarakat tidak kunjung teratasi dan bahkan menimbulkan berbagai ironi.

Gejala umum kondisi tidak tepat sasaran itu tampak dari kapabilitas lulusan yang tidak sesuai dengan kualifikasi dalam konteks perekonomian, juga ketidaksiapan mental. Selain itu, nalar, etos kerja, keterampilan, jiwa wirausaha, dan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk mengatasi keberlangsungan sebuah negara modern yang beradab juga amat lemah.

Berbagai ironi

Menurut Sulistiyo, kondisi tidak tepat sasaran dalam pendidikan nasional telah menimbulkan berbagai ironi. Indonesia yang negara agraris justru pertaniannya terpuruk dan beberapa komoditas penting justru mengandalkan impor.

”Saat ini bidang pertanian dan kehutanan di perguruan tinggi jadi program jenuh yang tidak diminati calon mahasiswa. Begitu juga bidang kelautan. Padahal, di situlah letak potensi bangsa ini. Kenyataan itu mesti diperbaiki dalam kebijakan pendidikan dan politik bangsa ini ke depan,” kata Sulistiyo.

”Untuk kemajuan pendidikan, kita memerlukan tenaga pemikir yang dapat mengarahkan politik pendidikan yang tepat. Jangan lagi keluar berbagai kebijakan kontroversial yang tidak relevan dengan kebutuhan bangsa dan pendidikan, seperti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dan Ujian Nasional,” kata Sulistiyo. (Sumber: Kompas Cetak 25 September 2009/ELN)

Tamparlah Anakmu, Dia akan Ber-IQ Rendah

Menampar atau memukul kadang dilakukan orangtua untuk membuat anak patuh dan disiplin dalam sekejap. Tapi, tahukah Anda pola asuh yang keras bisa menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan otak anak?

Studi terkini menyebutkan, orangtua yang bereaksi terlalu keras untuk mengoreksi kesalahan anak, misalnya dengan cara menampar atau memukul, tidak hanya menyebabkan anak stres tapi juga membuat tingkat kecerdasan (IQ) anak lebih rendah.

Studi yang dilakukan peneliti terhadap ribuan anak di Amerika Serikat menunjukkan, anak yang kerap ditampar orangtuanya memiliki nilai IQ (intelligence quotients) yang lebih rendah dibanding anak yang tidak pernah ditampar.

"Setiap orangtua ingin punya anak yang pintar. Dengan menghindari kekerasan pada anak dan melakukan cara lain untuk mengoreksi kesalahan anak, hal itu bisa dicapai," kata Murray Straus, sosiolog dari Universitas New Hampshire, AS.

Dalam risetnya, Strauss dan timnya melakukan studi nasional terhadap dua kelompok sampel anak, yakni 806 anak berusia 2-4 tahun, dan 704 anak berusia 5-9 tahun. Pada saat dimulainya studi anak-anak tersebut mengikuti tes IQ dan tes berikutnya di akhir studi, empat tahun kemudian.

Anak-anak dari dua kelompok itu menunjukkan tingkat kecerdasan yang meningkat setelah empat tahun. Tetapi dari kelompok anak berusia 2-4 tahun yang kerap ditampar orangtunya, menunjukkan skor IQ 5 poin lebih rendah dibanding anak yang tidak pernah ditampar. Untuk anak 5-9 tahun yang pernah ditampar, skor IQ-nya rata-rata lebih rendah 2,8 poin dibanding rekannya yang tidak ditampar.

"Pemukulan atau tindakan kekerasan yang dilakukan orangtua merupakan pengalaman yang traumatik bagi anak. Berbagai penelitian telah menunjukkan kejadian yang traumatik berakibat buruk bagi otak. Selain itu, trauma juga membuat anak memiliki respon stres pada kejadian sulit yang dihadapi. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan kognitifnya," papar Straus.

Tak sedikit orangtua yang menjadikan pukulan, tamparan, atau jeweran sebagai senjata untuk mendidik anak. Anak pun memilih untuk menurut daripada mendapat hukuman. "Akibatnya anak tidak bisa berpikir secara independen," kata Elizabeth Gershoff pakar dibidang perkembangan anak dari Universitas Texas, Austin, AS.

Setiap anak memang perlu diajarkan disiplin. Selain agar patuh pada aturan, disiplin juga akan membuat anak belajar menghargai orang lain dan mengontrol dorongan dalam dirinya. Namun, orangtua hendaknya juga perlu membuat batasan-batasan yang dilandasi cinta agar anak merasa aman.

Alih-alih menghukum anak dengan pukulan, beri tekanan lebih pada sisi positif anak, misalnya dengan memberi hadiah atau pujian bila anak berlaku positif. Bila terpaksa memberi hukuman, sesuaikan dengan usia si kecil dan situasi yang berlaku. (Sumber: Kompas.com, 28 Septem,ber 2009)

Kemudahan untuk Guru dalam Mengajar 24 Jam

Sekarang, guru sangat mudah untuk memenuhi jumlah mengajar 24 jam. Kompas.com, Minggu, melaporkan bahwa ketentuan beban kerja guru yang ditetapkan minimal 24 jam tatap muka yang sempat dipersoalkan guru kini dipermudah. Guru dapat memenuhi kekurangan jam mengajar dengan berbagai kegiatan tambahan di luar kelas maupun sekolah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

Iwan hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), secara terpisah di Jakarta, Minggu (27/9) mengatakan Permediknas tersebut memang menjadi solusi di tengah kebingungan guru yang harus memenuhi ketentuan jam mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu.

Pasalnya, ada sebagian guru dalam kenyataannya sulit memenuhi ketentuan itu, terutama untuk guru bidang pelajaran yang jam mengajarnya hanya dua jam per minggu seperti guru Agama, Olahraga, Sejarah, atau Pendidikan Kewarganegaraan, terutama di jenjang SMP-SMA/SMK, serta guru yang berada di sekolah yang jumlah murid dan kelasnya sedikit.

Di dalam Permendiknas soal Pemenuhan Beban Kerja guru dan Pengawas Satuan Pendidikan yang disahkan Juli lalu, disebutkan beban kerja guru harus memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar tatap muka, dan maksimal 40 jam tatap muka. Untuk membantu guru-guru yang tidak dapat menentuhi ketentuan jam kerja minimal, ada berbagai alternatif kegiatan tambahan yang bisa dipilih sebagai solusi yang dilaksanakan dalam jangka paling lama dua tahun setelah berlakunya Permendiknas tersebut.

Guru yang belum memenuhi beban jam mengajar bisa menjadi guru mengajar mata pelajaran lain di sekolahnya atau di sekolah lain. Selain itu bisa jadi tutor di pendidikan nonformal sebagai tutor paket A, B, C atau keaksaraan, guru pamong di sekolah terbuka, guru inti/isntruktur/tutor di kegiatan kelompok kerja guru atau musyawarah guru mata pelajaran, pembina kegiatan ekstrakurikuler, membina pengembangan diri peserta didik, melakukan pembelajaran bertim, atau melakukan pembelajaran perbaikan.

Kemudahan juga diberikan bagi guru yang mengajar di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat atau terpencil, mengalami bencana lam, sosial, serta tidak mampu dari segi ekonomi. Pemenuhan ketentuan 24 jam mengajar bisa dimintakan ekuvalensi atau penyetaraan. Demikian juga bagi guru yang berkeahlian khusus dan guru yang dibutuhkan atas dasar kepentingan nasional.

Sulistiyo menjelaskan mestinya beban kerja guru sudah melekat secara komprehensif dan tidak dipahami sebagai tatap muka saja. "Tetapi, apa yang dilakukan pemerintah sudah baik. Kami mendukung. Jangan guru dipersulit dalam memperoleh hak untuk peningkatan kualitas dan perbaikan kesejahteraan. Semuan itu kan demi kualitas pendidikan kita yang bisa berimbas pada kemajuan bangsa di masa depan," ujar Sulistiyo.

Kamis, 10 September 2009

Buku Sastra Anak Sudah Terbit



Oleh Suyatno

Inilah buku yang layak dibaca oleh orang tua dan guru yang ingin menguatkan pribadi anak dalam dunia menulis. Ternyata, anak mampu menulis sejak kecil jika dibimbing dengan sempurna. Buku ini memberikan tips mengembangkan anak. Buku ini telah beredar di toko buku.