Selasa, 22 Februari 2011

Dicari Sponsor Penerbitan "Guru di Mata Mbok Siti"

Maunya sih, serial "Guru di Mata Mbok Siti" segera diterbitkan karena sudah menjelang seri ke-100 agar segera dapat dinimkati oleh khalayak guru di segala lini. Namun, penerbitan buku inspiratif bagi guru bijak itu tentunya menunggu sponsor agar lebih lancar dan cepat dibaca. Nah, siapa ya, yang ingin menjadi sponsornya?

Cara gampangnya menjadi sponsor, tentu tidak harus menanggung semua penerbitan (kalau bisa sebenarnya ya tidak jadi mengapa), tetapi mungkin dengan cara memesan sekian buku (contohnya, 50 buku, 100 buku, atau berapalah). Dengan begitu, penerbitan dapat terbantu dengan cepat.

Garduguru yakin, di antara pembaca tentu ada yang berkeinginan untuk menyeponsori penerbitan buku inspiratif itu. Kalau tidak ada aral melintang, sebaiknya, ya nyatakan langsung untuk menjadi sponsor dengan mengontak garduguru di kolom komentar. Imbalannya pasti deh, surga, karena bermanfaat bagi guru dalam membangun generasi muda bangsa ini. Siapa yang ingin menjadi sponsor?

Kamis, 03 Februari 2011

Guru di Mata Mbok Siti 97

Matanya masih setajam elang. Kakinya sekuat akar jati. Pendengarannya sedetail batik Jogja. Hatinya selembut embun. Pikirannya menjangkau langit. Hanya tangannya sedikit bergetar. Itulah Mbok Siti di mataku. Aku mencuri pandang gerak jari yang gemetar saat memegangi gelas. Suara gemeretak gelas di atas piring penyangga tidak dapat menipu saat diangkat tangan Mbok Siti. Aku terharu.

“Tangan ini sudah tidak sempurna, anakku”, ucapnya kilat.

Aku kaget setengah mati. “Kok Mbok Siti tahu apa yang ada dalam pikiranku”, gumamku.

“Mbok sakit ya”, kataku.

“Tidak sakit, anakku”, ujarnya pelan sambil menyilakan tangan pertanda aku segera meminumnya.

“Tanganku gemetar kira-kira lima tahun belakangan ini sejalan dengan usia tuaku”, kata Mbok yang kelihatan tegar itu.

“Tapi, aku tidak akan pernah berhenti berpikir dan bekerja anakku”, jelasnya lebih lanjut. Manusia itu tidak boleh berhenti bertindak selama napas masih melekat dalam tubuh. Guru hebat juga harus berani sampai titik darah terakhir. Napasnya adalah energi kehidupan. Jangan hanya masalah ringan, guru menghentikan langkahnya sebagai guru. Jiwanya harus sekuat cengkeraman kaki elang. Pikirannya harus seluas lautan. Gagasannya harus menjangkau perut bumi. Kegembiraannya harus seceriah matahari. Bergeraklah selama masih mampu bergerak.

“Guru jangan sampai pernah berhenti melaju karena jiwa siswa tidak akan pernah berhenti”, katanya. Jiwa siswa melaju seperkasa harimau dalam mengayunkan kilatan terkaman kukunya. Itulah dunianya.

Guru di Mata Mbok Siti 96

Aku masih tergiur untuk menumpahkan mata ini ke sekelompok ayam yang sedang bercengkerama di halaman belakang rumah Mbok Siti. Suara riuh bersahutan ramai. Ada induk ayam bergerak ke kanan dan anak-anak ayam turut bergerak ke kanan. Anak ayam yang agak besar saling bergelutan dengan mengangkat kaki sambil melompat. Pertarungan terjadi namun hanya sekejap setelah ayam jago mendekatinya. Dunia ayam sangat ceriah dan menyenangkan.

Aku lontarkan sedikit jagung yang ada di wakul depan dapur Mbok Siti. Tanpa menunggu detik, ayam-ayam berlari mendekat. Mereka riuh berebut jagung. Wah, pokoknya menyenangkan suasana dunia ayam itu.

“Mbok”, panggilku.

“Ada apa anakku?” tanya Mbok Siti sambil mendekatiku.

“Mengapa ayam-ayam itu begitu ceriah?” tanyaku.

“Ya, karena ayam-ayam itu tidak ada yang menganggu, di tempat yang lapang, dan hanya ada sesama jenis hewan, anakku”, jawabnya sambil mengambil jagung untuk ditaburkan di kalangan ayam itu.

“Siswamu juga dapat seceriah itu, anakku”, tambahnya. Siswa dapat ceriah kalau diberikan kesempatan untuk ceriah. Sebaliknya, siswa akan selalu murung kalau suasananya penuh kesedihan dan muram. Siswa yang ceriah akan memberikan perkembangan jiwa, fisik, dan pertemanan yang baik baginya. Kelak, siswa ceriah itu akan menjadi orang yang menggembirakan dunia. Berilah kesempatan bagi siswa, jangan diganggu saat mereka ceriah, beri tempat yang lapang bukan menyesakkan, dan tempatkan mereka dalam suasana seusianya. Jika ada guru yang ingin terlibat dalam dunia anak, dia harus mau dan mampu menjadi anak dalam pikiran, hati, dan jiwanya.

Guru di Mata Mbok Siti 95

Aku sangat enggan untuk segera meninggalkan rumah Mbok Siti meski malam mulai menantang datang. Waktu teramat berharga. Sedetik pun, aku larang untuk terlewatkan. Betapa tidak. Setiap kali berbicara dengan Mbok Siti, tersirat siraman dahaga bagiku yang menjalankan tugas sebagai guru ini.

Aku duduk santai di temani ubi rebus dan teh manis. Mbok Siti juga asyik di sebelahku sambil memilih benih kedelai untuk ditanam di ladangnya. Putaran tampah (anyaman bambu dalam bentuk lingkaran dengan sulam padat) bergerak seirama memancing mataku juga mengikuti irama putarannya. Itulah cara termudah untuk memilih benih yang bagus selain harus diapilih satu-satu. Dengan cara itu, Mbok Siti akan segera mendapatkan benih kedelai yang besar-besar, mentes (padat), dan utuh. Benih pilihan itu diletakkan di wadah besek (sejenis wakul kecil) kemudian biji kecil ditempatkan ke wadah lain, panci penyok karena sudah lama.

“Praktis ya Mbok cara begini”, tanyaku sambil memperagakan tangan seperti memutar tampah.

“Iya, Nak. Inilah proses turun-temurun dari nenek moyang untuk memilih benih yang bagus”, ujarnya sambil terus memutar tampah itu. Ada konsentrasi, ada proses, ada tindakan, dan ada cara sehingga mampu menentukan biji yang benar-benar bagus.

“Nah, guru juga harus menggunakan proses yang bagus untuk menentukan siswa yang bagus”, ujarnya. Tahapan untuk menentukan siswa yang bagus harus dilakukan dengan benar. Guru tidak boleh asal-asalan menentukan siswa pilihan hanya dengan melihat fisik siswa semata. Lihatlah lebih dalam kekuatan dan kehebatan sejati diri siswa. Lalu, jangan sampai siswa yang tidak terpilih dibuang tetapi harus juga bermanfaat meski untuk kesempatan yang berbeda.

“Anakku, memang semua anak mempunyai potensi yang sama namun juga mempunyai ukuran potensi yang berbeda”, simpulnya.

Guru di Mata Mbok Siti 94

Halaman belakang rumah mBok Siti tampak lapang dan menyenangkan. Ayam berkeliaran menyemangati datangnya siang. Terlihat dua ayam jago berkejaran sambil mengeluarkan kokok yang mendayu. Di kanan terlihat bebek memainkan paruhnya yang juga berkejaran. Hewan-hewan itu berlari-lari menikmati ruang halaman. Aku terpaku melihat kegembiraan hewan peliharaan itu. Lama dan terdiam menjadi kesukaanku pagi itu.

“Kalau mau, pegang saja satu ayam itu. Nanti, kita potong dan dimasak santan, anakku”, sergah Mbok Siti yang muncul dari pintu dapur lurus dengan halaman belakang. Aku tersenyum membalas tawaran Mbok Siti.
“Sudah, Mbok. Aku hanya mengamati hewan-hewan itu berlari-lari. Tampak lucu”, jawabku singkat sekali.
“Oh itu. Hewan-hewan itu berlari karena yakin akan kekuatan kakinya, tidak menabrak karena menggunakan sorot mata kecilnya, dan meliuk-liuk karena mampu mengolah gerak tubuhnya, anakku”, jawabnya dengan suara pelan khas Mbok Siti.

“Guru tentu dapat mengajari murid-muridnya untuk berlari karena lari merupakan hak murid-murid”, tambahnya. Murid punya kaki maka ajarilah mereka menentukan langkahnya. Murid mempunyai mata maka ajarilah murid untuk menajamkan penglihatannya. Murid mempunyai tubuh maka ajarilah menempatkan tubuhnya. Murid mempunyai otak maka ajarilah mereka berpikir. Murid punya hati maka ajarilah mereka menempatkan sikap dirinya. Dengan begitu, murid-murid akan dapat berlari menggapai keinginannya karena lari merupakan hak murid sebagai manusia. Tugas guru adalah memberikan kesempatan yang luas kepada murid untuk berlari. Jangan hentikan langkah murid hanya karena guru susah untuk melangkah.

“Lihatlah, induk ayam itu. Induk itu tidak pernah sekalipun melarang anak-anaknya untuk berlari”, tegas Mbok yang sangat sabar dan rendah hati itu.

Rabu, 02 Februari 2011

SMAN 1 Kongbeng Bagai Bunga Merekah

Ketika saya sebut SMAN 1 Kongbeng, tentu, pembaca akan bertanya-tanya tentang tempatnya. Ya. SMAN 1 Kongbeng berada di Kecamatan Kongbeng, Kabupaten Kutai Timur, yang berjarak kira-kira 180 km dari ibukota Kabupaten Kutai Timur, Sangatta, arah barat laut. Sekolah yang baru berdiri pada 2005 itu saat ini mulai merekah dengan ditandai oleh semakin bertambahnya siswa, gedung baru, dan fasilitas lainnya. Tanda-tanda bekas hutan terlihat di sepanjang luas tanah di SMA. Datar, tanpa pagar, masih gersang, dan sedikit panas menjadi penanda bahwa sekolah itu masih baru. Tapi, jangan dikira masih baru lalu prestasi tidak ada. Prestasi yang ditoreh adalah juara bolavoli tingkat kecamatan, tari, sepakbola, dan festival budaya dayak menjadi kebanggaan sekolah itu.

Sebagian besar siswa berasal dari Kampung Miau yang berada kira-kira 1 km dari sekolah. Kampung Miau berada di bibir Sungai Bahau. Kampungnya tertata rapi, bersih, jalan cor, rumah panggung, dan suasana ceriah. Penduduknya amat ramah. Ukiran dayak tertoreh di dinding aula warga dan lumbung. Lalu, di bawah panggung aula terdapat sampan naga yang panjang tersimpan. Sampan itu digunakan untuk lomba perahu naga setiap akhir tahun. Anak-anak kampung Miau itulah yang mendiami kelas-kelas SMAN 1 Kongbeng.

Keceriaan anak-anak Miau selalu tampak setiap hari di SMAN 1 Kongbeng. Mereka tidak sedikit pun menunjukkan ketertinggalan belajar meski lokasinya teramat jauh dari kota ramai di Indonesia. Pakaian seragamnya juga modis seperti seragam siswa SMA di kota besar. Model rambut anak laki-laki dan perempuan juga sama dengan anak-anak SMA di kota lainnya.

Hanya saja, sekolah itu masih baru merekah. Agar rekahannya menjadi bunga yang sedap dipandang dan digunakan sebagai penghias bangsa, SMAN 1 Kongbeng masih perlu sentuhan semua pihak. Pagar sekolah sebagai penanda komunitas belajar dan memfokuskan persepsi belajar perlu segera diwujudkan. Perpustakaan dengan buku-buku terbaru tampak diperlukan. Guru yang handal sesuai dengan bidang studi menjadi permintaan yang teramat segera.

Ke depan, jika dikelola dengan semangat tinggi, SMAN 1 Kongbeng dapat menjadi sekolah berbudaya. Sekolah yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kearifan lokal dan melaju dengan suasana adat dayak Miau.