Kamis, 12 Juni 2014

Guru Berprestasi bukan untuk Gengsi

Memang, predikat berprestasi akan menguatkan percaya diri bagi seseorang yang meraih predikat itu. Namun, percaya diri tersebut bukan untuk memperkukuh gengsi sehingga berlabelkan kesombongan dan kearoganan diri. Percaya diri akibat prdikat berprestasi justru lebih memperkuat sikap rendah hati, empati, dan berkarya lebih lanjut demi perkembangan masyarakat.

Salah satu peserta seleksi guru berprestasi dan berdedikasi tingkat Jawa Timur yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, 9--11 Juni di Hotel Purnama, Kota Batu, mengatakan bahwa dirinya bukan untuk meraih gengsi tetapi untuk menguatkan diri dalam menyebarluaskan pengalaman ke masyarakat sekolah dan secara umum. Pernyataan itu sangat menyentuh kalbu. Pernyataan itulah yang diinginkan oleh khalayak agar terjadi perubahan pendidikan ke arah kualitas.

Secara serentak, seleksi dilaksanakan dengan sistem portofolio, tes, wawancara, dan presentase dengan juri berbeda-beda sehingga validitas dan akuntabilitas dapat dipercaya. Guru, pengawas, kepala sekolah dari jenjang TK, SD, SMP, SMA, dan SMK mengikuti seleksi sesuai dengan jenjangnya. Kemudian, pemenang I berdasarkan hasil seleksi akan mewakili Jawa Timur ke tingkat nasional. Wakil itu adalah sosok yang telah teruji dalam aspek pengalaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku.

Peserta seleksi yang ikut di tingkat provinsi adalah pemenang di tingkat kabupaten/kota. Mereka berpredikat berprestasi di wilayahnya dengan seleksi tersendiri yang diadakan oleh dinas pendidikan setempat. Hasil seleksi itu dibawa ke tingkat provinsi untuk diadu lagi sehingga diperoleh prestasi yang mampu bersaing di tingkat nasional.

Gengsi bukanlah cara yang tepat untuk membawakan diri di tengah masyarakat karena akan menghambat pola komunikasi antara biasa dan berpredikat. Memang seseorang memerlukan gensi bagi dirinya untuk menempatkan diri. Tetapi, gengsi itu bukan untuk dipertunjukkan ke orang lain. Gengsi yang ditunjukkan ke orang lain hanyalah sebuah wujud kesombongan.

Wisuda dan Modal Menjadi Sosok yang Bermartabat


Oleh Suyatno
Sesungguhnya, modal yang teramat indah untuk menjadi bermartabat adalah diwisuda. Diwisuda berarti diberikan kepercayaan legal untuk menjalankan kemampuan diri secara bermartabat di tengah masyarakat. Jika kelak di masyarakat ternyata sang sosok yang telah diwisuda berbuat cela dan ingkar dari komitmennya, dia akan menemukan identitas negatif yang berlawanan dari predikat bermartabat. Sebaliknya, sosok yang pernah diwisuda akan memperoleh cap bermartabat apabila melaksanakan perbuatan yang diterima oleh masyarakat karena berpikir positif, empati, berprestasi, dan memberikan arti bagi kehidupan. Identitas positif dan negatif adalah pilihan dari sang sosok yang telah diwisuda. Karena identitas diri di masyarakat adalah sebuah pilihan, tentu, wisudawan Unesa akan memilih identitas positif dalam kondisi dan keadaan apapun.

Wisuda adalah petanda dari sebuah babak dalam perjalanan hidup sang sosok yang kelak akan beridentitas positif sehingga berpredikat bermartabat. Petanda tersebut dibalut dalam sebuah momen Wisuda Unesa yang diatur secara apik, prosedural, dan khidmat agar sang sosok menitikkesankan pada petanda sehingga kelak akan melahirkan momentum bermanfaat. Untuk itu, wisudawan kali ini, perlu mengabadikan momen ini dengan penuh kegembiraan, kekhidmatan, dan keyakinan.
Kegembiraan merupakan dasar bagi keberlangsungan perjalanan sang sosok dalam menapaki babak baru di masyarakat. Dengan kegembiraan, inspirasi, kreasi, dan inovasi akan muncul dengan sempurna tanpa kegalauan meski dalam kondisi serba susah sekalipun. Wisudawan Unesa, pasti, mampu menempatkan kegembiraan sebagai dasar berkiprah dalam dunia sehingga menjadi sosok yang bermartabat.

Kekhidmatan merupakan perwujudan dari proses berkonsentrasi yang terfokus, ikhlas, dan bertanggung jawab. Dengan kehidmatan, sang sosok akan mampu melahirkan karya dan kinerja dengan jernih, berbobot, dan disukai oleh masyarakat. Meskipun berada dalam kegembiraan namun tidak khidmat, hasil yang diperoleh akan tidak maksimal, kacau, dan terbagi-bagi sehingga menutup tingkat keterfokusan diri. Modal bermartabat adalah kekhidmatan dalam setiap kesempatan sekecil apapun.

Keyakinan merupakan perwujudan berpikir positif atas karya dan kinerja yang telah, saat, dan akan dilaksanakan dalam diri sang sosok dalam menghadapi kiprah diri di masyarakat. Keyakinan biasanya didasari oleh mimpi, cita-cita, dan kehendak yang berdasarkan pengalaman dan kemampuan diri. Wisudawan Unesa akan dapat bermartabat jika mempunyai keyakinan yang teramat kuat atas kesuksesan diri dalam menjangkau sosok yang bermartabat di masyarakat.



Senin, 09 Juni 2014

Kepemimpinan Panjat Pinang atau Panjat Tebing?

Ada dua hal yang perlu direnungkan dalam kepemimpinan, yakni kepemimpinan panjat pinang atau panjat tebing. Kedua-duanya sama-sama ke puncak dan mendapatkan hasil menjadi pemenang di ujung tertinggi. Namun, tipikal keduanya sangat berbeda jauh.
Kepemimpinan panjat pinang dicirikan oleh kerja keras dengan cara menginjak teman di bawahnya untuk dapat meraih hadiah di ujung tiang. Dia tidak peduli di bawahnya menahan sakit atau tidak yang penting dapat menginjak bahu untuk berada di posisi yang lebih tinggi. Penonton hanya tahu yang paling atas. penonton tidak pernah mengerti betapa susahnya yang di bawah.
Kepemimpinan panjat tebing ditandai oleh usaha sendiri atas inisiatif menaklukkan tebing dengan alat dan potensi energi. Kawan lain akan membantu agar tidak terjadi kecelakaan yang menumbangkan langkahnya. Tapak demi tapak dilalui untuk menaikkan derajat ketinggiannya. Dia tidak akan pernah lelah sebelum berada di puncak. Kawan lainnya selalu diperhatikan karena kebersamaan yang dipentingkannya.

Panjat pinang lebih banyak menebar kesedihan bagi lainnya. Sedangkan, panjat tebing lebih memperhatikan keselamatan diri dan timnya. Keduanya berbentuk usaha menguatkan energi agar sampai pada puncaknya. Segala upaya dilakukan dengan cara yang khas antara pinang dan tebing.
Kepemimpinan sejati merupakan kepemimpinan yang mampu membahagiakan yang dipimpinnya. Itu berarti pola panjat tebing menjadi teramat penting. Seorang pemimpin tidak perlu mencederai orang lain hanya untuk keberhasilannya. Dia akan membantu orang lain dengan cara yang khas agar dapat ke puncak tebing bersama-sama.

Dalam konteks pilpres, kepemimpinan panjat tebing perlu ditekankan daripada kepemimpinan panjat pinang. Untuk itu, perlilaku menghujat lawan, menghitamkan orang lain, mencederai rasa kedamaian, dan membatasi persaudaraan harus dijauhi. Jangan sampai pilpres menunjukkan pembelajaran permusuhan.

Kita tentunya tidak menginginkan Pilpres ini memberikan pelajaran bagi generasi muda sesuatu yang buruk. Pembelajaran yang buruk itu adalah jika ingin menjadi pemimpin lakukan kampanye hitam. Jika ingin memimpin hujat saja lawanmu. Presiden hebat itu adalah orang yang mampu mempecundangi lawan dengan agitasi kesombongan.  Pembelajaran buruk itu harus sama-sama dihindari dengan pemikiran yang negarawan.

Semua orang, termasuk calon presiden, mempunyai rasa damai dalam dirinya. Bahkan, keinginan dasarnya adalah membahagiakan rakyatnya. Untuk itu, kesantunan berbahasa, kejernihan berpikir, dan kenegarawanan yang hebat perlu diimplementasikan secara nyata. Kepemimpinan panjat tebing perlu dikembangkan lebih jauh. Indonesia adalah negara bangsa yang multietnis. Di situlah kesantunan menjadi jatidirinya.

Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman di Kepramukaan

Oleh Suyatno

Kepramukaan sangat jelas menggunakan metode pembelajaran berbasis pengalaman. Menurut WOSM dan Gerakan Pramuka Indonesia, metode kepramukaan dirinci menjadi alam bebas, belajar sambil melakukan, kiasan dasar, berkelompok, progresif (menarik dan menantang), sistem tanda penghargaan, berdasarkan kode kehormatan, keterlibatan orang dewasa, dan satuan terpisah. Dari rincian tersebut, terlihat bahwa pengalaman menjadi tumpuan pelaksanaannya. 
 
Teori John Dewey, dalam pembelajaran berbasis pengalaman menyatakan bahwa belajar merupakan proses merekonstruksi pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Pembelajar akan mengaitkan pengalaman  dengan berpikir. Seseorang akan belajar jauh lebih baik lewat keterlibatannya secara aktif dalam proses belajar. Baden Powell menyebutkan bahwa kepramukaan bukanlah ilmu yang harus diajarkan dalam ruang yang kosong melainkan melalui pengalaman bersama antara anak dengan orang dewasa dalam suasana menyehatkan, menyenangkan, menghasilkan karya, dan menolong orang lain. Antara teori John Dewey dan Baden Powell mempunyai garis yang sama dalam membelajarkan sesuatu melalui pengalaman. Anak akan tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman belajar secara nyata.
 
Pembelajaran berbasis pengalaman menawarkan proses belajar berdasarkan epistemologi empiris. Kebutuhan lingkungan belajar diharuskan untuk mengembangkan dan membangun pengetahuan melalui pengalamannya. Pengalaman tersebut  menjadi modal melakukan refleksi dan observasi, mengkonseptualisasi dan menganalisis pengetahuan dalam pikiran anak.

Pembelajaran berbasis pengalaman merupakan kombinasi memperoleh pengalaman dengan mentransformasi pengalaman. Pengalaman terjadi akibat proses langsung dan tidak langsung. Proses langsung terjadi melalui indera manusia. Proses tidak langsung terjadi melalui bentuk simbol (konsep, gambar, dan seterusnya). Pengalaman tersebut selanjutnya menjadi bekal untuk mentransformasikan pengalaman ke dalam pemikiran melalui refleksi, observasi, kiasan, asosiasi, abstraksi, cerita, dan sebagainya. 
 
Meskipun menggunakan praktik nyata, pembelajaran berbasis pengalaman berbeda dengan pembelajaran berbasis struktural. Ciri belajar terstruktur adalah pemahaman konsep, praktik, dan penyimpulan. Sedangkan belajar berbasis pengalaman dicirikan oleh praktik nyata, refleksi, simbolisasi, dan penerapan untuk bentuk lain. Jadi, jika pembelajaran diawali oleh pencerahan awal bagi anak melalui ceramah singkat kemudian praktik, bukanlah belajar berbasis pengalaman. 
 
Ada seorang pelatih kepramukaan dalam sebuah KMD (kursus menjadi pembina pramuka tingkat dasar) di Cibubur memprotes kawan sesama pelatih kepada saya. Sebut saja, dia itu Kak Js. Kak Js menyampaikan kalau kawannya memberikan gambar menara bambu tiga kaki lalu meminta peserta membuat seperti gambar dengan alat yang telah tersedia tanpa menjelaskan terlebih dahulu pengertian menara. Menurut Kak Js, yang benar itu dijelaskan terlebih dahulu cara membuat menara kemudian dipraktikkan.  Saya menjelaskan dengan sederhana. Saya mengatakan bahwa kedua cara itu membelajarkan, yakni cara kawan Kak Js dengan cara Kak Js sendiri. Cara yang dilakukan kawan Js itu benar menurut pembelajaran berbasis pengalaman. Peserta tidak diberikan norma terlebih dahulu agar tidak terikat dengan norma tersebut. Inovasi dan kreativitas akan muncul dari kemampuan dalam trial and eror (uji coba). Selanjutnya, peserta akan dengan cepat belajar karena kesalahan yang diperbuat. Mereka akan menjadi rkeatif tanpa terikat dengan norma. Norma yang diterapkan adalah norma dari pikiran dan masa lalu mereka. Itulah pembelajaran berbasis pengalaman. 
Kemudian, saran Kak Js juga benar tetapi menurut pembelajaran struktural. Pembelajaran itu biasanya ditandai oleh pengarahan (ceramah, penjelasan, atau istilah lain), praktik, dan penyimpulan. Itu juga langkah benar tetapi bukan langkah menurut pembelajaran berbasis pengalaman. Bagus mana? Menurut saya, pembelajaran kepramukaan lebih berbasis pengalaman karena dituntut oleh metode kepramukaan yang menyatakan belajar sambil melakukan. Perkembangan peserta akan lebih cepat meningkat jika dilaksanakan dengan pembelajaran berbasis pengalaman.
 
KMD untuk guru SMP se-Indonesia 2014 yang diselenggarakan oleh direktorat PSMP Kemendikbud di Cibubur selama dua gelombang membuktikan bahwa pola pembelajaran berbasis pengalaman sangat memberikan percepatan belajar. Peserta merasakan tidak pernah belajar namun sebenarnya belajar dengan intensif. Hal itu dibuktikan dengan skor pretes dengan rata-rata 45 meningkat menjadi rata-rata 75 saat postes. Peserta merasakan banyak pengalaman yang diperoleh dan membekas dalam pikiran dan hatinya. Mereka mampu melaksanakan kegiatan pionering, orientering, dan mountenering tanpa harus membaca buku-buku tentang itu. Sosialisasi sesama kawan cepat terjadi karena mereka berkemah. Keterampilan berkemah dijalani secara nyata sehingga menguatkan pemahamannya tentang berkemah. 
 
KMD dirancang dengan siklus Concrete Experience (CE),, Refective Observation (RO), Abstract Conceptualization (AC), dan  Active Experimentation (AE). Pada CE, peserta melakukan tindakan nyata yang dipandu oleh jadwal dan pelatih. Mereka melakukan pengalaman konkret bersama kelompoknya di alam (bumi perkemahan Cibubur) sambil berkemah. Mereka menghasilkan karya sebagai wujud keberhasilan belajar berupa berdirinya tenda, tempat sepatu, tempat memasak, gapura, menara, jembatan bambu, ikatan tongkat, gerakan berbaris, pengiriman pesan sandi, dan sebagainya. Atas hasil itu peserta mendapatkan penghargaan setiap malam secara berkelompok. Kemudian, kiasan dasar diberikan (konseptualisasi abstrak) setiap malam melalui kegiatan reflektif atas pengalaman yang telah mereka lakukan. Keesokan harinya, peserta melakukan AE untuk menguatkan dasar belajar mereka.

Metode kepramukaan memang harus didudukkan sebagai metode berbasis pengalaman. Dalam setiap pelatihan, pola pengalaman harus diterapkan sampai mendapatkan hasil yang maksimal. Itulah tantangan bagi pengelola Gerakan pramuka Indonesia.