Rabu, 31 Desember 2008

Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Oleh Suyatno

Setelah Metode Kolaboratif dimunculkan garduguru di beberapa hari yang lalu, berikut ini dipaparkan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning dengan harapan dapat memperkaya guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan metode pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Seperti halnya CL, metode ini juga berfokus pada keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik tidak lagi diberikan materi belajar secara satu arah seperti pada metode pembelajaran konvensional. Dengan metode ini, diharapkan peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan mereka secara mandiri. PBL juga memberi kesempatan peserta didik untuk mempelajari teori melalui praktek. Peserta didik bukan hanya perlu mencari konklusi tetapi juga perlu menganalisis data.

Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa “Problem Based Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”. H.S. Barrows (1982) menyatakan bahwa PBM adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.

PBM adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL.

Tidak selamanya proses belajar dengan metode PBM berjalan dengan lancar. Ada beberapa hambatan yang dapat muncul. Yang paling sering terjadi adalah kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode konvensional, pemberian materi terjadi secara satu arah. Faktor penghambat lain adalah kurangnya waktu. Proses PBM terkadang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara, waktu pelaksanaan PBM harus disesuaikan dengan beban kurikulum.

Dengan menggunakan pendekatan PBM ini, siswa akan bekerja secara kooperatif dalam kumpulan untuk menyelesaikan masalah sebenarnya dan yang paling penting membina kemahiran untuk menjadi siswa yang belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Siswa akan membina kemampuan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan dengan ide yang dihasilkan serta yang akan dilakukan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran PBM ini, Bridges (1992) dan Charlin (1998) telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama seperti berikut.
1.Pembelajaran berpusat dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan dihadapi oleh siswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa saat proses pembelajaran disusun berdasarkan masalah.
4.Para siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Siswa aktif dengan proses bersama.
6.Pengetahuan menyokong pengetahuan yang baru.
7.Pengetahuan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Siswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.

Berikut langkah-langkah PBM. Guru memulai sesi awal PBM dengan presentasi permasalahan yang akan dihadapi oleh siswa. Siswa terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan di lapangan. Siswa mengorganisasikan apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba mengidentifikasi hal-hal terkait. Siswa berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka pahami. Guru mendampingi siswa untuk fokus terhadap pertanyaan yang dianggap penting. Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini siswa diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh. Siswa menguji validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Siswa berlatih mentransfer pengetahuan dalam konteks nyata melalui pelaporan di kelas.

PBM berbeda dengan metode konvensional. Metode konvensional berupa ceramah yang memusatkan perhatian siswa sepenuhnya kepada guru sehingga yang aktif di sini hanya guru, sedangkan siswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan. Partisipasi siswa rendah karena hanya diberi kebebasan untuk bertanya mengenai materi yang telah dijelaskan oleh guru sehingga metode konvensional masih kurang menggugah daya pemikiran siswa. Sedangkan, metode PBM adalah metode pembelajaran yang berbasis kepada partisipasi para siswa. Pada jam pertama pembelajaran, metode yang diterapkan adalah diskusi. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa yang ditunjuk secara acak. Pertanyaan yang diajukan bersifat menggali pendapat dan mengembangkan kemampuan analisis siswa. Kemudian, pada satu jam terakhir, guru memberikan rangkuman dan inti dari diskusi pada hari itu disertai dengan inti dari konteks materi dihubungkan dengan implementasi di lapangan.

Perlu diingat, PBM bukanlah satu-satunya metode yang baik. Masih banyak metode pembelajaran yang baik pula. Untuk itu, guru perlu berpikir divergen dalam menggunakan metode pembelajaran sehingga tidak selalu mengagungkan sebuah metode pembelajaran karena metode pembelajaran adakalanya buruk jika tidak dapat mencapai tujuan.

Guru di Mata Mbok Siti (35)

Ada empat burung kecil bergelantung di ranting kecil bambu pojok kanan depan rumah Mbok Siti dengan santainya. Paruhnya menelisik buluh bawah sayap untuk mencari biang kotoran pada kulitnya. Aku terpesona tanpa terpejam dalam waktu lama. Tiba-tiba, sorot mata terhenti saat Mbok Siti menyapaku. "Lihat apa, anakku?", katanya pelan.
"Eh, Eh, aku lihat burung yang sedang asyik bergelantungan di ranting itu, Mbok", jawabku cepat sambil langsung melirik kopi yang dibawanya.

"Burung itu tampak asyik karena sangat cocok dengan tempatnya", ujarnya. Di ranting itu terjadi keseimbangan antara besar ranting, suasana, cuaca, dan besar burung sehingga burung-burung itu nyaman. Kenyamanan yang diperoleh burung itu dapat memberikan keberlangsungan hidup burung secara damai sehingga dapat tumbuh dan berkembang biak mewarnai alam ini.

Begitu pula, andai siswa berada dalam keseimbangan di kelas, yakni suasana pembelajaran, materi, media, perlakuan, dan layanan guru sangat cocok dengan perkembangan diri siswa, tentu pembelajaran akan menemukan keberhasilan. "Siswa akan asyik dengan tanggungjawabnya dalam belajar", jelas Mbok Siti yang pagi ini tampak segar. Siswa menjadi bagian dari kelas bukan tamu yang berada di kelas.

Selasa, 30 Desember 2008

Wahai Kawan Guru, Yuk Membuat Resolusi 2009

Oleh Suyatno

Pergantian tahun menganut prinsip kepastian. Tanpa dipikir, tahun pasti berganti meskipun kita tidak berbuat apa-apa. Sebaliknya, tahun juga berganti meskipun kita telah berbuat apa-apa. Nah, mumpung saat ini di penghujung tahun dan sebentar lagi, kita ditandai dengan tahun yang baru, yakni 2009, tidak ada salahnya kita membuat resolusi.

Resolusi sangat penting sebagai acuan untuk berbuat di tahun 2009. Tentunya, bagi guru, resolusi itu berisi tentang rancangan yang akan dilakukan secara konkret demi tugas mulia sebagai guru. Resolusi itu pada akhirnya akan membimbing pikiran bawah sadar kita untuk mencapainya.

Pasanglah target nyata di tahun 2009 dengan merenung, menuliskan, dan merealisasikan proses aktivitas diri. Caranya, refleksikan tindakan yang telah kita lakukan di tahun 2008. Tindakan yang berdampak positif bagi kinerja guru dicatat secara khusus untuk kemudian dikembangkan lebih jauh agar lebih berdampak. Tindakan yang berdampak negatif dievaluasi untuk diperbaiki di tahun 2009.

Buatlah daftar keinginan atau sesuatu yang ingin diraih di tahun mendatang dan jangan lupa daftar itu senantiasa menjadi pedoman. Niatkan dalam hati bahwa resolusi yang dibuat perlu dijalankan meskipun pahit. Ingatlah pengalaman adalah guru terbaik.

Lalu, bagaimana agar kita sukses mencapai resolusi yang diinginkan? Anda bisa mencoba menjalankan metode SMART yang direkomendasikan oleh ahli manajemen Peter Drucker (dalam kompasonline).

S, berarti spesifik. Buatlah resolusi Anda secara detail agar lebih fokus.

M, untuk measurable (terukur). Setelah Anda membuat tujuan yang spesifik, pastikan Anda bisa mengukurnya. Misalnya, berapa kali Anda menghubungi keluarga atau teman lama, dalam rangka mendekatkan diri dengan mereka.

A, untuk achievable (bisa dicapai).

R, untuk realistik. Sebelum membuat tujuan, lihat juga kemampuan diri.

T, time atau waktu. Buatlah deadline dalam jangka pendek. Jangan biarkan tujuan Anda tidak memiliki tengat atau Anda hanya akan mengulangi resolusi tahun lalu yang belum juga tercapai.

Metode Kolaboratif untuk Pembelajaran di Kelas

Oleh Suyatno

Metode kolaboratif dalam pembelajaran lebih menekankan pada pembangunan makna oleh siswa dari proses sosial yang bertumpu pada konteks belajar. Metode kolaboratif ini lebih jauh dan mendalam dibandingkan hanya sekadar kooperatif. Dasar dari metode kolaboratif adalah teori interaksional yang memandang belajar sebagai suatu proses membangun makna melalui interaksi sosial.

Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran(technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu: (1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata; (2) menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.

Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep
belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education”. Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin
masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah: (1) siswa
hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.

Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992):
a. Belajar itu aktif dan konstruktif:
Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan bahan itu. Siswa perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan pelajaran.
b. Belajar itu bergantung konteks:
Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.
c. Siswa itu beraneka latar belakang:
Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latarbelakang, gaya belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.
d. Belajar itu bersifat sosial:
Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun makna yang diterima bersama.

Menurut teori interaksional dari Vygotsky, proses interaksi itu berlangsung dalam dua tahap, yaitu interaksi sosial dan internalisasi (Voigt, 1996). Kemudian, teori interaksional dengan pendekatan interaksionisme simbolik menjelaskan proses membangun makna dengan menekankan proses pemaknaan dalam diri pelaku. Masing-masing pelaku interaksi sosial mengalami proses pemaknaan pribadi, dan dalam interaksi sosial terjadi saling-pengaruh di antara proses-proses pribadi itu, sehingga terbentuk makna yang diterima bersama. Yackel & Cobb (1996) menyebut proses ini sebagai pembentukan makna secara interaktif (interactive constitution of meaning).

Proses pembentukan makna yang diterima bersama melibatkan negosiasi. Negosiasi adalah proses saling penyesuaian diri di antara individu-individu yang berinteraksi sosial. Negosiasi diperlukan karena setiap objek atau kejadian dalam interaksi antar manusia bersifat jamak-makna (plurisemantic). Agar dapat memahami objek atau kejadian, tiap-tiap orang menggunakan pengetahuan latar-belakang masing-masing dan membentuk konteks makna guna menafsirkan objek atau kejadian itu (Voigt, 1996).

Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna dalam diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan (scaffolding). Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development) siswa (Wood et al., dalam Confrey, 1995). Topangan diberikan berdasarkan apa yang sudah bermakna bagi siswa, sehingga apa yang sebelumnya belum dapat dimaknai sendiri oleh siswa sekarang dapat bermakna berkat topangan itu. Dengan demikian, topangan diberikan kepada siswa dalam situasi yang interaktif, dalam arti guru memberikan topangan berdasarkan interpretasi akan apa yang sudah bermakna bagi siswa, dan siswa mengalami perkembangan dalam proses pembentukan makna berkat topangan itu.

Proses negosiasi antar siswa dan pemberian topangan jauh lebih banyak terwujud dalam pembelajaran kolaboratif daripada dalam pembelajaran yang berpusat pada penyajian dan penjelasan bahan pelajaran oleh guru. Lingkungan pembelajaran kolaboratif berintikan usaha bersama, baik antar siswa maupun antara siswa dan guru, dalam membangun pemahaman, pemecahan masalah, atau makna, atau dalam menciptakan suatu produk.

Nelson (1999) merinci nilai-nilai pendidikan (pedagogical values) yang menjadi panekanan dalam pembelajaran kolaboratif. Nilai-nilai meliputi:
a. Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung secara alamiah di antara para siswa.
b. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
c. Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan pengalaman siswa dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses belajar.
d. Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif dalam proses belajar.
e. Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah.
f. Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan bermacam-macam sudut pandang.
g. Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses belajar.
h. Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
i. Membangun semangat belajar sepanjang hayat.

Lebih jauh, Nelson (1999) mengusulkan lingkungan pembelajaran kolaboratif dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Melibatkan siswa dalam ajang pertukaran gagasan dan informasi.
b. Memungkinkan siswa mengeksplorasi gagasan dan mencobakan berbagai pendekatan dalam pengerjaan tugas.
c. Menata-ulang kurikulum serta menyesuaikan keadaan sekitar dan suasana kelas untuk mendukung kerja kelompok.
d. Menyediakan cukup waktu, ruang, dan sumber untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan belajar bersama.
e. Menyediakan sebanyak mungkin proses belajar yang bertolak dari kegiatan pemecahan masalah atau penyelesaian proyek

Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif.
(1) Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri
(2) Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
(3) Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
(4) Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masingmasing
siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
(5) Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar
semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi
kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegitan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
(6) Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
(7) Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun
perkelompok kolaboratif.
(8) Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.

Guru Lain Saja Tidak Melakukan, Mengapa Saya Harus?

Oleh Suyatno

"Guru lain saja tidak melakukan pembaharuan mengajar, mengapa saya diharuskan melakukan pembaharuan?", begitulah kata banyak guru yang saya jumpai di sela-sela pelatihan pembelajaran inovatif. Menurutnya, pembelajaran inovatif harus dijalankan oleh semua guru, tidak terkecuali. "Jangan hanya kita yang disuruh-suruh berubah tetapi guru lain tidak", bantahnya kemudian.

Menjadi yang terbaik tentunya tidak harus menunggu orang lain berbuat terlebih dahulu menjadi yang terbaik. Seorang pemimpin biasanya ditandai oleh kebaruan yang dijalankan baik dari sisi pemikiran, perilaku, dan keterampilan tertentu. Untuk itu, kalau menunggu orang lain berbuat terlebih dahulu, berarti nilai kepemimpinan orang tersebut tidak ada nilai inovasinya.

Janganlah menunggu orang lain berbuat, karena dalam pembelajaran juga bukan orang lain yang mendapatkan kenikmatan mengajar. Ketika guru melakukan pembeharuan di kelas, yang merasakan hasilnya adalah guru itu sendiri bukan guru lain. Jadi, berbuatlah terlebih dahulu kalau menginginkan orang lain juga berbuat.

Mulailah dari sekarang perubahan pembelajaran dilakukan sebelum kita didahului oleh ajal yang menjemput. Kalau dapat sekarang berubah mengapa harus menunggu nanti. Itulah kiasan yang harus senantiasa digunakan sebagai motivasi guru.

Pembaharuan mengajar tidak sesulit yang dibayangkan banyak orang. Ketika guru melakukan refleksi tentang kegagalan siswa dalam menyerap sebuah mata pelajaran kemudian di hari berikutnya guru melakukan perubahan langkah mengajar yang memberikan dampak, kegiatan guru tersebut sudah dapat dikatakan inovasi. Yang paling penting, guru harus senantiasa mengubah gaya mengajar agar siswa selalu berada dalam kondisi menyenagkan terus. Jagalah irama kekuatan kelas dalam menyerap materi. Gunakan mimik, kinestetis, suara, dan posisi berdiri guru secara terpadu dalam setiap pembelajaran. Berilah ucapan guru sebuah kekuatan yang mampu masuk dengan cepat ke memori siswa.

Jangan menunggu guru lain melakukan perubahan. Lakukan saja meski guru lain tidak melakukan perubahan. Yang terpenting siswa dalam keadaan maju berkelanjutan.

Guru Tersenyum, Siswa pun Kagum

Oleh Suyatno

Jika Anda seorang guru, cobalah diingat-ingat, seberapa sering Anda muram dan marah? Jawabannya pasti, lebih banyak muram dan marah dibandingkan gembira dan tersenyum. Padahal, mengajar dengan senyum akan lebih meningkatkan daya serap siswa, yang pada akhirnya, siswa akan kagum pada guru yang tersenyum.

“Padahal belajar bisa menjadi sangat menyenangkan, lho,” kata DR. Frieda Mangunsong, MEd, (dalam www.gayahidupsehatonline, 31 Juli 2007). Hal ini dibuktikan Frieda saat mengisi sesi Belajar Itu Menyenangkan dalam acara Forum Anak Nasional di Depok, pekan lalu. Ia mengawali paparannya dengan mengajak 106 anak-anak bermain. Staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini meminta anak-anak yang berasal dari 31 daerah di sejumlah provinsi di Indonesia itu membuat lingkaran. Lalu, mereka diminta berhitung dan meneriakkan “Boom” di setiap angka tujuh beserta kelipatannya dan angka yang mengandung unsur tujuh.

Sepintas, hal ini seperti main-main saja. Namun, di balik itu, tanpa disadari anak-anak diajak menghitung dan berkonsentrasi. Saat melakukan permainan itu, anak-anak terlihat gembira. Mereka tertawa-tawa kala ada salah seorang yang lupa mengucapkan “Boom”. “Tertawa sebelum pelajaran dimulai bukanlah sesuatu yang buruk,” ujar psikolog pendidikan ini. Suasana gembira sebelum belajar justru dapat membangkitkan semangat anak.

Adanya interaksi antara guru dan siswa, akan membuat belajar menyenangkan. “Siswa yang aktif akan membuat guru senang,” tuturnya lagi. Seperti yang terjadi saat itu, anak-anak turut mengungkapkan pendapatnya saat Frieda melontarkan berbagai pertanyaan.

Dalam kesempatan itu misalnya, Frieda meminta pendapat anak-anak yang berasal dari 31 daerah layanan World Vision Indonesia yang berada di Aceh, Kalimantan Barat, Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, NTT, dan Papua tentang belajar dan sekolah. Salah seorang anak dari Sumba Barat mengatakan belajar menjadi tidak menyenangkan bila guru marah. Selain enggan belajar, anak juga enggan sekolah.

Belajar dalam suasana menyenangkan merupakan proses belajar mengajar yang melibatkan siswa secara aktif dan dilakukan dalam situasi menyenangkan, sehingga siswa merasa aman dan nyaman, bebas dari tekanan. Situasi ini akan membuat anak lebih aktif belajar.

Belajar aktif akan mengintegrasi fisik, akal, dan emosi. Yang pada akhirnya, akan menambah keterampilan fisik dan akademis, sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Setiap pelajaran yang makin sulit akan membuat kita makin terampil.

Contohnya, saat TK-SD, anak lebih banyak melakukan permainan saat sekolah maupun belajar. Ketika menginjak bangku SMP-SMA, mereka lebih banyak duduk di dalam kelas. Di masa ini belajar lebih banyak melibatkan tangan dan pikiran seperti percobaan laboratorium.

Metode belajar yang memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk mempelajari sesuatu secara konkret atau nyata akan memperbesar persentase penyerapan. Dan juga memicu mereka untuk berubah secara positif.

Sebaliknya, cobalah guru marah dalam kelas. Hasilnya, tentu, siswa akan tegang, bingung, dan tidak dapat menyerap inti pembelajaran. Namun, mengapa marah masih menjadi idola para guru saat di kelas?

Sabtu, 27 Desember 2008

Guru di Mata Mbok Siti (34)

Siang itu menjadi waktu yang paling lama karena di waktu siang yang lain tidak ada jumpa seperti sekarang ini dengan MBok Siti. Kami saling menumpahkan obrolan yang sempat tersekat dengan kesibukan luar biasa sehingga tidak dapat tertumpah di teras rumah Mbok.

"Saya juga heran Mbok, mengapa waktu terus mengikat diriku untuk sibuk dengan diri sendiri", ujarku sambil tanganku memegangi kepala. Mbok Siti tersenyum tenang seolah tidak percaya kalau aku sangat sibuk. Senyumnya terus mengembang dengan lembut tanpa menjawab sedikit kata pun. "Aku sangat sulit membagi waktu, meskipun hati ini ingin berkunjung ke rumah Mbok ini", sambungku. Dia masih saja tersenyum tanpa jawab sepatah kata pun.

"Semua waktu ada dalam dirimu. Kaulah yang berhak membaginya sesuai dengan peruntukkannya" jawab Mbok Siti dengan santainya. "Lihatlah burung merpati itu, ia terbang ke sarangnya karena ada waktu untuk ke sarang itu", kata Mbok yang selalu tersenyum itu. Ketika merpati ke sarang berarti merpati itu tidak ke dahan itu meskipun dalam hatinya ada keinginan ke dahan. Merpati itu ke sarang karena merasa lebih perlu ke sarang daripada ke dahan terlebih dahulu. "Itulah namanya silih-berganti". Nah, guru yang baik perlu memainkan silih-berganti dalam dirinya sehingga dapat membagi waktu untuk setiap siswanya. Waktu guru adalah waktu siswa. Siswa berhak atas waktu dari gurunya.

Siswa Ditampar Guru, Tampar juga Guru Itu

Oleh Suyatno

Guru matematika sebuah SMA di Gorontalo membariskan siswanya untuk ditampar satu per satu. Guru laki-laki itu berdiri di teras lalu satu per satu siswa yang berbaris membujur sampai di rumput depan kelas ditampar sekali kemudian disuruh masuk kelas. Kemudian, di Mojoagung, Jombang, guru kesenian SMP menampar siswa ddi depan siswa lain di kelas hanya karena siswa itu tidak mengerjakan PR. Itu tamparan guru yang sempat terekam kamera. Mungkin banyak tamparan lain di sekolah lain dalam bentuk lain di Indonesia ini yang tidak terekspos atau terekam media massa.

Perbuatan itu seolah-olah telah menyelesaikan permasalahan bagi guru tersebut. Padahal, justru memberikan tumpukan dendam bagi siswa kelak. Tamparan itu pasti tersimpan dalam memori siswa yang suatu saat memori itu akan dikeluarkan kembali ke pikiran sadar. Bagaimanapun, perbuatan guru seperti itu sangat tidak sesuai dengan nilai edukasi. Namun, mengapa pola tampar dan menyakiti siswa dengan cara lain masih diberikan oleh guru?

Tamparan guru seperti itu menunjukkan bahwa kewibawaan guru dibangun dari kekuasaan. Siswa hanya objek yang harus menuruti subjeknya. Metode tampar merupakan metode satu-satunya bagi guru tersebut yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa dengan guru. Cara lain terasakan tidak ada lagi, menurut guru itu. Padahal, tidak ada kampus satu pun yang memberikan perkuliahan tentang metode tampar. Lalu, guru tampar memperoleh metode dari mana?

Guru tampar adalah guru yang tidak mengenal metode mengajar secara variasi. Guru tersebut lupa bahwa metode pembelajaran juga telah mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat. Guru tampar itu berarti termasuk guru yang perlu dipisahkan dari label guru, alias dikeluarkan jadi guru. Guru tampar merupakan gambaran guru yang tidak dapat menerima siswa sebagai manusia.

Untuk itu, perlu seleksi ulang setiap guru dengan pendekatan psikologis. Guru yang secara psikologis tidak berterima tutup saja pintu keguruannya agar tidak ada lagi siswa yang ditampar. Kepala sekolah perlu merangking guru dari sisi emosionalnya. Guru yang emosional tinggi, sok jago, dan galak terhadap siswa jadikan Pak Kebun saja biar emosinya tertumpah pada rumput liar dan ranting pohon.

Guru di Mata Mbok Siti (33)

Hujan tidak mau mengenal lelah, guyurannya, membasah di setiap ceruk tanah. Itulah tanda kesetiaan sejati antara hujan dengan tanah yang selalu merindukannya. Begitu pula, aku sangat rindu pada Mbok Siti di setiap ceruk napasku. Baru kali ini, aku dapat berjumpa dengan Mbok Siti. Perjumpaan itu pun hanya dapat sekejap mata memandang karena kesibukan menggelayuti terus di pundakku.
"Waduh, anakku, kok lama tidak bertemu", ujar Mbok Siti sambil menyilakan duduk di kursi yang dulu pernah aku duduki. "Maaf Mbok, aku sangat tidak ada waktu untuk kemari", jawabku membela diri. "Kalau seseorang tidak ada waktu berarti dia juga mempunyai waktu", jawab Mbok yang masih juga berpakaian hitam. Waktu itu selalu ada bagi siapapun. Di satu sisi tidak ada waktu berarti di sisi lain ada waktu. Tinggallah, bagaimana waktu itu diberikan secara seimbang kepada sisi mana pun yang memerlukan waktu.
Begitu pula, setiap guru pasti mempunyai waktu untuk murid-muridnya. "Hanya saja, waktu itu diberikan pada sisi apa?", kata Mbok Siti. Jika waktu diberikan dengan seimbang antara murid satu dengan yang lainnya, murid itu juga akan memberikan perhatian yang seimbang. Waktu selalu ada karena bersifat tetap. Yang diperlukan dalam waktu adalah cara pengelolaannya. Guru yang mampu mengelola waktu akan diberikan manfaat oleh waktu itu sendiri. "Bergaul dengan waktu memberikan kedamaian dalam mengisinya", kata Mbok sambil mengacungkan segelas kopi kesukaanku. Problemnya, banyak waktu guru yang tidak berada dalam waktu siswa sepenuh hati.

Senin, 22 Desember 2008

Pergeseran Pendidikan Masa Kini

Oleh Suyatno
Perubahan yang terjadi di dunia ini juga merebak dalam dunia pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sangat menuntut hadirnya perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada pasar dan kebutuhan hidup masyarakat.Pergeseran paradigma atau cara pandang terhadap pendidikan juga harus mengalami perubahan. Dalam kindisi tersebut, guru mau tidak mau juga memaksakan diri untuk bergeser dari cara pandang lama ke cara pandang baru.
Sayling Wen dalam bukunya future of education menyebutkan beberapa pergeseran paradigma pendidikan, antara lain:

1. Pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala potensi yang seimbang.
Pada pendidikan orientasi pendidikan lebih menekankan pada pemindahan informasi yang dimiliki kepada peserta didik (bersifat kognitif). Proses pembelajaran yang berkembang di negara kita dapat deskripsikan sebagai berikut: peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran, kesan yang muncul adalah guru mengajar peserta didik diajar, guru aktif peserta didik pasif, guru pinter peserta didik minder, guru berkuasa, peserta didik dikuasai. Dalam kegiatannya pendidik berusaha memola anak didik sesuai dengan kehendaknya. Program pembelajaran, materi, media, metode dan evaluasi yang diterapkan sepenuhnya disiapkan oleh pendidik. Mulai tahun pelajaran 2004/2005 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mulai diterapkan, implementasi KBK diharapkan dapat mengembangkan seluruh potensi yang menjadi sasaran pendidikan secara optimal. Mengingat KBK mengandung prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan, antara lain: 1) student centered, 2) Integrated learning, 3) individual learning, 4) mastery learning, 5) problem solving, 6) Experince based learning, dan 7) peran guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan sekaligus mitra belajar. Meskipun dalam pelaksanaannya, KBK masih ditemukan banyak kelemahan-kelemahan.

2. Dari keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik menjadi keberagaman yang terdesentralisasi dan terindividulisasikan. Hal ini seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dimana informasi dapat diakses secara mudah melalui brbagai macam media pembelajaran secara mandiri, misalnya; internet, multimedia pembelajaran, dsb.

3. Pembelajaran dengan model penjenjangan yang terbatas menjadi pembelajaran seumur hidup. Belajar tidak hanya terbatas pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, namun belajar dapat dilakukan sepanjang hayat, yang tidak terbatas pada tempat, usia, waktu, dan fasilitas.

4. Dari pengakuan gelar kearah pengakuan kekuatan-kekuatan nyata (profesionalisme)
Dilihat dari kualitas pendidik, secara kuantitatif jenjang pendidikan yang dimiliki guru-guru SD, SLTP, SMU/SMK cukup menjanjikan, Sebagian besar sarjana atau D2. Hal ini ditunjukkan dengan gelar yang dimiliki pada pendidik, namun secara kualitas, sungguh memprihatinkan. Secara kualitatif bisa dilihat, motivasi belajar dan motivasi berprestasi dalam meningkatkan profesionalisme di kalangan pendidik sangat rendah. Sebagian besar guru malas belajar, malas mencari pengetahuan baru, dan berkarya (baca: tekun membaca, mengikuti pelatihan, menulis karya ilmiah). Pola pikir yang berkembang pada pendidik saat ini lebih loyal pada integrasi gaji dari pada loyalitas profesional, dengan nafsu mengejar pangkat, golongan, posisi dan tunjangan. Di antara pendidik ada yang melanjutkan kuliahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S1, S2 dan S3), bukan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi, namun demi “gengsi, posisi dan gaji”, kesempatan kuliah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi secara mandiri mulai menghilang. Kondisi demikian sungguh memprihatinkan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan persaingan global, kompetensi dan profesionalisme akan menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang dalam memenang persaingan hidup. Prestasi kerja menempatkan seseorang pada posisi kerja yang sesungguhnya (“saat ini muncul image posisi kerja adalah uang”)

5. Pembelajaran yang berbasis pada pencapaian target kurikulum bergeser menjadi pembelajaran yang berbasis pada kompetensi dan produksi. Pencapaian target kurikulum bukan satu-satunya indikator keberhasilan proses pendidikan, keberhasil pendidikan hendaknya di lihat dari konteks, input, proses, output dan outcomes, sehingga keberhasilan pendidikan dapat dimaknai secara komprehensif. Masih banyak lembaga pendidikan kita yang masih menekankan pada pencapaian target kurikulum, contoh dilapangan: kita lihat kurikulum pendidikan dasar, pada jenjang pendidikan dasar (masa kanak-kanak dan SD) merupakan jenjang pendidikan yang menyenangkan (masa bermain), coba kita lihat setelah anak mulai masuk di TK atau di SD kesempatan bermain bagi anak sangat dibatasi. Sistem pembelajaran yang diterapkan membatasi gerak anak dengan dinding dan keangkuhan guru yang sangat kokoh di depan kelas. Anak-anak mulai dipola sekehendak gurunya yang dengan dalih agar sesuai dengan kurikulum yang telah dirumuskan oleh pejabat pendidikan, meskipun dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). peserta didik SD yang seharusnya masih menggunakan konsep pendidikan bermain sambil belajar. Dengan, namun mulai menghilang, yang muncul belajar sambil bermain. Sehingga anak-anak SD kurang mengenal nama-nama benda, tumbuhan, binatang yang ada disekitarnya.

Kondisi ini wajar, karena beban pelajaran yang dipersyaratkan dalam kurikulum yang harus ditanggung peserta didik di SD begitu berat (9 mata pelajaran), belum lagi masih banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang sebagian besar bersifat menghafal (mengkhayal) hal-hal yang terpisah dari kemampuan dan tuntutan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sejak masa kanak-kanak para peserta didik telah dikondisikan dengan pencapaian target kuantitif yang sangat berat. Untuk mengurangi jumlah pengkhayal dalam pendidikan, sebaiknya pada jenjang pendidikan dasar mulai dipikirkan menerapkan kurikulum dasar yang berbasis pada mata pelajaran Matematika, bahasa, sains, jasmani dengan memperhatikan pemberdayaan sistem nilai yang berkembang di daerahnya. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan kontektual.

6. Pendidikan sebagai investasi manusia dengan hight cost, yang dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, khususnya pendidikan tinggi.

Rabu, 17 Desember 2008

Anggaplah Semua Siswa Calon Presiden

Oleh Suyatno

Andai saja, semua siswa di kelas Anda calon presiden lalu apa yang harus dilakukan guru? Pastilah, guru akan sangat hati-hati dalam mengajar. Gaya mengajarnya harus lebih mengesankan dengan skenario pembelajaran yang terhebat. Jangan sampai, siswa sekelas yang calon presiden itu terluka, teraniaya, dan tertutup pintu kecerdasannya. Tiap guru mengajar selalu diawasi oleh tim penjaga calon prsiden. Guru yang dipilih pasti yang pandai dari segala sisi. Siapkah Anda mengajar di kelas itu?

Tentunya, calon presiden yang diajar itu kelak ketika menjadi presiden harus pandai berbicara, ahli strategi, manusiawi, cerdas, lincah, tidak cacat, tegar, wibawa, dan visioner. Untuk itu, menu sajian guru, apapun pelajarannya, haruslah menyentuh wilayah itu. Semua materi dikemas dengan baik sehingga di samping memberikan makna keilmuan juga memberikan sekaligus makna kepresidenan.

Guru yang disiapkan tentu juga penuh disiplin, tanggung jawab, profesional, dan memahami sosok presiden yang teramat bagus. Tentunya, guru yang asal-asalan, tidak punya roh, dan hidup enggan mati tak mau, tidak diperlukan.

Andai semua sekolah menganggap tiap kelasnya adalah siswa yang calon presiden, tentu, sekolah itu juga dikelola dengan mantap. Bisakah?

Alasan Siswa Berontak kepada Guru

Oleh Suyatno

Ketika guru mengajar, kadangkala ada siswa yang berontak, menolak, dan lari dari kelas. Bakhan, siswa di luar sekolah, mencegat gurunya untuk berbuat kejahatan. Bahkan, guru dipermalukan di segala tempat. Umumnya, siswa berontak bukan karena sekadar iseng. Ada beberapa alasan yang membuat siswa memutuskan untuk melakukan hal itu. Berikut alasannya.

1. Balas dendam
Kalau Anda mengkhianati perhatian siswa, siswa juga bisa melakukannya, bahkan lebih hebat dari guru. Kalaupun sampai ketahuan oleh guru, mungkin memang siswa sengaja. Masing-masing siswa memang mempunyai cara balas dendam sendiri dalam menghadapi. Siswa dapat melakukan balas dendam dengan sembunyi-sembunyi di belakang guru, dapat juga siswa sengaja “memamerkannya” dengan cara mengobrol terus tanpa henti, cuek, cemberut, dan melakukan perbuatan melawan guru.

2. Urutan kesekian
Setiap siswa ingin selalu menjadi nomor satu dalam hidup diri guru. Bukan nomor dua, apalagi nomor-nomor berikutnya. Jika siswa merasakan bahwa dirinya menjadi nomor dua dibandingkan siswa lain, siswa itu akan berontak dengan caranya sendiri. Jadikanlah semua siswa nomor satu dalam diri guru.

3. Kekerasan
Kini, banyak siswa yang semakin sadar tentang pentingnya penghargaan atas dirinya sendiri, salah satunya dengan bersikap tegas ketika guru melakukan tindak kekerasan (umumnya secara fisik) kepadanya. Mungkin awalnya siswa akan mencoba bertahan, tapi bila guru kembali mengulangi tindakan itu, siswa akan meninggalkan guru. Mereka yakin, masih banyak guru lain yang bisa menghargainya jauh lebih baik daripada guru yang penuh kekerasan.

4. Hambar
Siswa menyukai hal-hal detail, misal dipuji karena rambutnya, bajunya, senyumnya, hari ulang tahunnya, atau hal-hal istimewa lainnya. Hati-hati bila guru menganggap semua ini sebagai hal remeh, apalagi bila selama ini siswa selalu perhatian terhadap guru. Bila guru tidak pernah menghargai apa yang sudah dilakukan siswa untuk guru dan mengabaikan hal-hal yang dianggapnya penting, bersiaplah menghadapi pemberontakan hebat dari siswa.

5. Tidak Sesuai Kenyataan
Siswa akan berontak ketika nilai pelajaran yang diperolehnya tidak sesuai antara yang tertulis diraport dan kenyataan sehari-hari di kelas. Apalagi, siswa mengetahui bahwa temannya yang dianggap lebih kurang pintar di kelas malah mendapatkan nilai baik di raport.

6. Berawal dari Julukan
Siswa akan berontak jika terus-menerus dijuluki sesuatu yang tidak cocok dengan hatinya, misal, guru memanggil siswa dengan "Si Kribo, Si Hitam, Si Gendut". Siswa lebih senang dipanggil dengan namanya dan panggilan yang bersifat positif.

7. Digunjingkan dengan Orang Lain
Pemberontakan siswa akan terjadi jika guru menggunjingkan siswa kepada siswa lain atau guru lain tentang sesuatu yang buruk. Siswa akan marah saat mendengar bahwa guru berbicara atas namanya berkaitan dengan ketidakmampuan, keboborokkan, dan kejelekkan dirinya.

8. Dipermalukan di Depan Kelas
Maksud guru agar siswa lain juga tidak berbuat negatif seperti yang sedang disetrap atau dimarahi, namun bagi siswa, perbuatan guru itu terasa menyayat hati. Suatu saat siswa akan menarik diri dari ikatan wibawa guru dan dapat berubah menjadi pemberontakan.

Wibawa Guru Bukan dari Guru Jahat

Oleh Suyatno

Suatu saat, ada guru yang mengatakan bahwa wibawa guru akan turun jika guru akrab dengan siswa. Menurutnya, guru harus jaga jarak untuk membangun citra kewibawaan. Sesekali, guru menghardik, menjewer, atau menghukum agar siswa memberikan perhatian tinggi pada guru yang bersangkutan. Itulah resep guru berwibawa, menurutnya.

Fakta itu tampaknya menyeruak di segala sekolah sehingga memberikan kesan bahwa guru adalah sosok yang harus dihormati penuh oleh siswa, guru segalanya, dan gurulah orang yang harus disegani siswanya. Fakta itu memberikan kesan bahwa siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek ditambah lagi guru mempunyai otoritas penuh terhadap skor perolehan siswa.

Dari sisi siswa, guru yang demikian itu biasanya disebut sebagai guru jahat, menakutkan, dan membuat merinding bulu roma saat bertemu dengannya. Tiap guru jahat muncul, semua mulut siswa terkunci dan terdiam bukian karena menunggu informasi menyenangkan tetapi menunggu agar guru tersebut cepat pergi.

Padahal, wibawa guru bukan bersumber dari guru jahat melainkan dari guru yang dekat dan setara dengan kejiwaan siswa. Rasa hormat siswa dibangun dari ketulusan hati siswa karena sesuatu yang diperlukan siswa dapat tersedia dari guru tersebut. Guru wibawa dapat dipastikan murah senyum, ramah, dan paham akan kejiwaan siswanya. Guru tersebut tahu dan mengerti kapan saat berkelakar dengan siswa, bergaul, dan berproses belajar dengan siswa.

Berikut ini tips menjadi guru berwibawa. Pertama, saat menyampaikan pelajaran, guru tersebut dapat memodifikasi materi pembelajaran sesuai dengan kerangka berpikir siswa sehingga mudah diserap. Kedua, bahasa yang digunakan guru sesuai dengan bahasa yang dimiliki siswa sehingga sangat komunikatif. Ketiga, perkembangan psikologis siswa sangat diketahui oleh guru sehingga segala layanan guru sesuai dengan kondisi siswa. Keempat, senyum selalu diberikan kepada siswanya. Kelima, hardikan, ancaman, dan hukuman tidak diberikan dengan cara kasar tetapi dengan bahasa yang dapat menyentuh siswa untuk berubah. Keenam, segala perlakuan guru saat di kelas selalu berdasarkan perencanaan yang matang.

Guru wibawa bukan berasal dari tipikal guru jahat tetapi berasal dari guru yang berhati mulia karena tugasnya semata untuk membangun siswa sesuai dengan jatidirinya. Kewibawaan akan datang dengan sendirinya dari perbuatan guru yang memang benar-benar seorang guru. Ingatlah, siswa itu manusia yang juga mempunyai hati dan perasaan yang kelak akan menggantikan kita. Bagaimana jadinya, jika sejak kecil sudah diajari dengan kejahatan yang dicontohkan guru secara langsung kepada siswanya.

Jumat, 12 Desember 2008

Tariklah Perhatian Siswa ke Inti Pembelajaran dengan Maksimal

Oleh Suyatno

Karena siswa itu beragam asal, latar belakang, kekuatan potensi, minat, dan lainnya, pembelajaran di kelas kadang tidak berjalan dengan mulusnya. Bahkan, ada kelas yang berubah menjadi kacau-balau dan guru tidak dapat mengatasinya. Guru yang tidak dapat mengatasi itu kadang melaporkan ke guru BP atau kepala sekolah, yang hasilnya, kelas itu dimarahi oleh BP atau kepala sekolah. Kasihan siswa yang demikian itu. Gara-gara guru tidak dapat mengatasi kelas karena mempunyai bekal yang tipis dan dangkal, siswa menjadi korban.

Itulah sebabnya, guru saat berkuliah dibekali ilmu psikologi perkembangan, manajemen kelas, strategi pembelajaran, dan ilmu kependidikan yang lainnya. Namun, karena ilmu itu hanya sekadar lewat tanpa berhenti di memori calon guru, ketika menjadi guru, mereka sama dengan orang biasa yang tidak punya bekal apa-apa dalam mengajar. Jadinya, mengajar hanya sekadar memindahkan ilmu pengetahuan dengan syarat siswa harus diam, patuh, dan tidak berulah.

Padahal, siswa itu sosok yang tumbuh dan berkembang dengan alat indra yang berkembang pula. Oleh karena itu, siswa dapat dipastikan akan berkembang dengan banyak tingkah, bersuara riuh, dan eksplorasi diri lainnya. Bukanlah sosok siswa jika dia tidak bertanya ini-itu, bergerak ke sana-ke mari, dan berusaha keras untuk ingin tahu. Untuk itu, cara mengajarnya juga harus mendukung perkembangan fisik, mental, dan kognisi siswa.

Lalu, bagaimanakah cara menarik perhatian siswa agar konsentrasinya terpusat pada inti pembelajaran? Mudah saja caranya. Pertama, gunakan suara. Suara guru harus menjangkau ke seluruh pelosok tembok, lebih keras dari riuh siswa, dan diolah dengan intonasi yang menarik. Biasanya, siswa akan riuh jika suara guru amat pelan, intonasi datar tidak bergairah, dan lembek. Kedua, gunakan mata. Mata guru harus menyorot ke semua siswa baik yang depan maupun belakang. Lirikan guru sangat ampuh untuk menghentikan keriuhan siswa. Ketiga, gunakan gerakan. Gerakan tertentu, seperti bertepuk, lambaian tangan, goyangan kepala, dan goyangan badan akan dapat menghilangkan keriuhan siswa. Siswa akan lebih merasa diperhatikan hanya dengan kinestetis guru yang bertujuan. Keempat, gunakan posisi. Posisi berdiri guru sangat menentukan bagi penguatan daya tarik siswa. Guru berposisi berdiri lebih tinggi, di tengah, di belakang, dan di depan dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi perhatian siswa.

Pada akhirnya, pengalaman mencoba beberapa re4sep di atas akan memberikan keampuhan sendiri. Untuk calon guru, cobalah bersabar untuk terus berlatih dengan segala model. Ingatlah, pengalaman adalah guru yang terbaik.