Guru biasa menjelaskan. Guru baik mendemonstrasikan. Guru hebat menginspirasikan. Guru Indonesia dapat menjadi hebat sehebat guru di sekolah terbaik dunia. Itu bukan isapan jempol. Itu juga bukan ocehan semata. Semua itu dapat menjadi kenyataan di alam Indonesia. Negara yang kaya raya akan sumber daya alam ini.
Kok bisa menjadi guru hebat? Bisa saja, guru Indonesia menjadi sangat hebat. Syarat untuk menjadi hebat adalah keberanian sosok guru untuk melompati tembok penghalang dirinya sendiri. Tembok penghalang itu adalah (1) perrsepsi guru yang mengatakan bahwa mengajar itu seperti gaya gurunya dulu mengajar; (2) sempitnya ruang berpikir yang menyatakan bahwa metode mengajar itu hanyalah ceramah; (3) rendah diri yang menunjukkan bahwa "Saya hanyalah seorang guru biasa"; (4) cepat puas yang ditandai oleh kata "begini saja sudah cukup, nyatanya muridku juga berhasil."; (5) memelas yang ditunjukkan oleh pernyataan "saya sudah tua, biar yang muda saja yang berubah,"; (6) malas diri yang ditunjukkan oleh buku yang dibaca hampir sama dengan buku yang didalami saat berkuliah dulu, tidak ada penambahan buku yang berarti; (7) gaya baku dan beku yang ditunjukkan oleh gaya mengajar yang itu-itu terus tanpa perubahan dan malah guru tersebut merasa puas; (8) pelit dan irit yang ditunjukkan dengan ketidakmauan untuk mengikuti pelatihan atau kursus yang dapat meningkatkan diri jika disuruh membayar dan maunya gratis; (9) penguasa tunggal yang ditunjukkan oleh sikap sebagai penguasa kelas dan siswa tanpa mau mendengarkan keluhan belajar siswa akibat ketidakcocokan persepsi anak dengan guru; dan (10) tidak menghargai prestasi ditunjukkan oleh ketidaksadaran bahwa dirinya sudah memperoleh sertifikasi yang berarti itu semua merupakan penghargaan bagi dirinya.
Padahal, dari sisi gizi terbaik, guru mendapatkan tiap hari dari asupan sayuran, buah, dan makanan lainnya yang tumbuh di tanah subur Indonesia. Gizi yang diperoleh itu seharusnya mampu mendongkrak pertumbuhan otak dan diri guru. Dari sisi jejaring, guru memunyai para pakar yang asli Indonesia sehingga sangat mudah untuk belajar. Dari sisi sumber informasi, guru saat ini akan dengan mudah untuk mengaksesnya melalui dunia maya. Dari sisi kesempatan, guru dapat memanfaatkan untuk maju dan berkembang karena telah dibuka peluang untuk belajar lagi, berprestasi, dan berkembang melalui dinas terkait dan perguruan tinggi di tanah airnya. Lalu, apa yang kurang?
Guru harus berani untuk melewati tembok penghalang. Tembok itu tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Meloncatlah. Guru yang meloncat akan menemui penghalang. Itu pasti. Penghalang itu sebenarnya adalah gesekan yang mempertajam kepandaian guru. Proses itu dapat melelahkan. Bukankah orang yang sukses selalu diawali oleh proses yang melelahkan. Namun, di balik melelahkan itu terdapat pelajaran yang sangat berharga bagi masa depan guru.
Guru jangan cepat puas dengan yang diperoleh saat ini. Guru harus berani merefleksikan perkembangan dirinya melalui cermin. Cermin itu adalah siswa, guru lain, kepala sekolah, dan diri sendiri. Guru jangan sampai takut untuk merefleksikan diri sendiri. Guru yang terbiasa merefleksikan diri sendiri akan cepat keluar dari tembok penghalang.
Guru Indonesia dapat menjadi hebat sehebat guru di sekolah lainnya di dunia ini. Percayalah. Syaratnya adalah keberanian guru untuk bermimpi yang sangat berani demi prestasi siswanya. Cobalah guru memasang target keberhasilan tiap tahun. Lakukan yang terbaik. jangan terlena dengan rasa kekurangan yang telah disebutkan di atas.
Dunia metode pembelajaran tidak seluas daun kelor. Metode pembelajaran jumlahnya berjibun. Metode itu bebas dipakai oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus berani untuk berubah-ubah gaya mengajar dengan metode yang bervariasi pula. Kemampuan mengubah gaya itulah jalan terbaik untuk menjadi guru hebat. Kalau tidak sekarang, guru akan melakukan kapan lagi?
Banyak guru yang membaca tulisan seperti ini langsung mencibir, "Ah, itu khan hanya omongan saja. Yang melakoni ini setengah mati." Namun, jika guru tidak cepat untuk menilai, tentu dia akan mendapatkan hikamh tertentu yang mampu menaikkan derajatnya. Untuk itu, ayolah melompati tembok penghalang diri sendiri. Jadilah guru yang hebat.
Cobalah berpikir agak luas sedikit. Kemampuan mengajar guru itu bukan hanya untuk diri sendiri dan siswa semata. Kemampuan mengajar guru itu sebenarnya untuk membuka kehebatan Indonesia dalam membawa bangsanya ke alam yang maju dan beradab. Indonesia yang maju dan beradab harus diawali oleh keterbukaan dan kesediaan guru untuk berjuang lebih mendalam lagi.
Indonesia ini milik guru juga. Gurulah yang berani memimpikan ke depan dengan gaya mengajarnya di kelas. Guru harus berdarah Indonesia yang tulen. Pikirannya adalah pikiran kemajuan dan keberadaban Indonesia. Caranya, melompatlah dari penghalang diri. Bravo guru Indonesia.
Kamis, 03 Maret 2016
Guru Kabupaten Alor: Semangat Dongkrak Hasil UN Siswa
Alor, kabupaten di Kepulauan Timur Laut dari Kota Kupang, yang berbatasan laut dengan Timor Timur tidak mau tertinggal dari kabupaten soal UN bagi siswanya. Meskipun, tahun 2015, Kabupaten Alor ranking kelima se-NTT. Mereka ingin, UN siswa di Alor menunjukkan prestasi tinggi dengan cara bersih dan halal. Kata kuncinya adalah menguatkan kompetensi guru di bidang mata pelajaran masing-masing.
Untuk itu, bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya, Dinas Pendidikan Kabupaten Alor melaksanakan pelatihan penjabaran SKL UN bagi siswa SMP dan SMA. Sekitar 400 guru bidang studi yang di-UN-kan diundang untuk mengikuti pelatihan selama 4 hari, yakni 9--13 Februari 2016 di Aula Dinas dan di ruang kelas SMP/SMA Santo Josef Kalabahi Alor.
Unesa menurunkan 12 dosen pilihan untuk mendampingi guru-guru dari membedah SKL sampai membuat soal untuk pelatihan bagi siswa masing-masing menjelang UN. Guru-guru terlihat senang dan merasakan hasilnya. mereka mempunyai tambahan ilmu dalam mengemas dan mengelola soal dalam rangka UN. Cara praktis mendampingi siswa juga dibimbingkan agar kelak mereka dapat dengan mudah memfasilitasi siswanya.
Untuk itu, bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya, Dinas Pendidikan Kabupaten Alor melaksanakan pelatihan penjabaran SKL UN bagi siswa SMP dan SMA. Sekitar 400 guru bidang studi yang di-UN-kan diundang untuk mengikuti pelatihan selama 4 hari, yakni 9--13 Februari 2016 di Aula Dinas dan di ruang kelas SMP/SMA Santo Josef Kalabahi Alor.
Unesa menurunkan 12 dosen pilihan untuk mendampingi guru-guru dari membedah SKL sampai membuat soal untuk pelatihan bagi siswa masing-masing menjelang UN. Guru-guru terlihat senang dan merasakan hasilnya. mereka mempunyai tambahan ilmu dalam mengemas dan mengelola soal dalam rangka UN. Cara praktis mendampingi siswa juga dibimbingkan agar kelak mereka dapat dengan mudah memfasilitasi siswanya.
Pendidikan Bela Negara di Bojonegoro: Pementasan Hasilnya Memuaskan
Belajar dengan hasil tinggi biasanya diperoleh dari kegiatan yang praktik langsung. Hasilnya dapat 80% melekat di pikiran dan ingatan anak. Pola itulah yang dipakai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro dalam melaksanakan pelatihan Bela Negara dan Pemberantasan Narkoba bagi siswa SMA/SMK/MA se-Kabupaten Bjonegoro.
Saat itu, ada 50 siswa yang duduk melingkar untuk menentukan naskah yang akan dipentaskan dua hari kelak. Mereka ramai berdebat untuk menentukan peran anggota dalam pementasan yang akan ditonton 300-an siswa yang diundang untuk menikmati pentas mereka. Isi debat terfokus pada bela negara dan antinarkoba. Suasana terlihat riuh. Selang satu jam, wakil mereka berani menyatakan kalau naskah gambaran naskah dan pementasan selesai.
Mereka sangat cepat menentukan topik, membuat kerangka naskah, dan menentukan tokoh yang akan pentas. Kecepatan itu terjadi setelah paginya mereka mendapatkan materi tentang bela negara dan antinarkoba. Setelah mengumpulkan naskah kasar, mereka pulang.
Hari kedua, 50-an peserta itu mendapatkan suntikan motivasi berbangsa dan bernegara oleh Garduguru. Mereka mengeluarkan semangat yang tinggi karena motivasi disajikan dengan cara menarik, lewat lagu, gerakan, yel, dan pembisikan. Siswa yang masih tumbuh pemahaman berbangsa dan bernegara itu semakin mengentalkan konsepnya untuk pementasan. Kemudian, tim Binmas Polres Bojonegoro dan Tim Antinarkoba juga menguatkan kembali aspek yang paling penting menjadi pemuda pelopor.
Siangnya, mereka membagi peran untuk melatih diri sesuai dengan naskah. Di tempat lain, ada siswa yang mulai menyiapkan properti. Mereka terlihat asyik. Panitia pengarah memberikan bimbingan intensif didampingi Garduguru. "Pementasan besok harus terpola dengan serius seperti pertunjukkan pada umumnya," kata Suyanto, panitia yang mendampingi. Dengan begitu, penjiwaan siswa sangat maksimal.
Pembelajaran dengan praktik berdrama memang sangat memberikan hasil yang melimpah. Bahkan, kenangan pentas akan dikenang sampai anak tersebut menjadi tua. Mereka akan bercerita pengalaman pentas ke anak cucunya.
Untuk itu, pelatihan bela negara sangat tepat jika dilakukan dengan cara pentas. Jangan hanya sekadar ceramah untuk menguatkan bela negara keada siswa. Jika hanya ceramah, kapasitas pengetahuannya akan habis hanya tiga bulan berikutnya.
Kegiatan yang dilaksanakan pada 7--10 Februari di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro itu memang sangat berkesan. Siswa menyatakan bahwa kegiatan semacam ini sangat memberikan kesan yang tidak dilupakan. "Jiwa kami demi Indonesia," teriak salah satu siswa. Apalagi, yang dipentaskan adalah adegan perjuangan bangsa seperti perobekan bendera Belanda di Surabaya, Perang gerilya, penolakan pemuda terhadap narkoba, dan seterusnya.
Saat itu, ada 50 siswa yang duduk melingkar untuk menentukan naskah yang akan dipentaskan dua hari kelak. Mereka ramai berdebat untuk menentukan peran anggota dalam pementasan yang akan ditonton 300-an siswa yang diundang untuk menikmati pentas mereka. Isi debat terfokus pada bela negara dan antinarkoba. Suasana terlihat riuh. Selang satu jam, wakil mereka berani menyatakan kalau naskah gambaran naskah dan pementasan selesai.
Mereka sangat cepat menentukan topik, membuat kerangka naskah, dan menentukan tokoh yang akan pentas. Kecepatan itu terjadi setelah paginya mereka mendapatkan materi tentang bela negara dan antinarkoba. Setelah mengumpulkan naskah kasar, mereka pulang.
Hari kedua, 50-an peserta itu mendapatkan suntikan motivasi berbangsa dan bernegara oleh Garduguru. Mereka mengeluarkan semangat yang tinggi karena motivasi disajikan dengan cara menarik, lewat lagu, gerakan, yel, dan pembisikan. Siswa yang masih tumbuh pemahaman berbangsa dan bernegara itu semakin mengentalkan konsepnya untuk pementasan. Kemudian, tim Binmas Polres Bojonegoro dan Tim Antinarkoba juga menguatkan kembali aspek yang paling penting menjadi pemuda pelopor.
Siangnya, mereka membagi peran untuk melatih diri sesuai dengan naskah. Di tempat lain, ada siswa yang mulai menyiapkan properti. Mereka terlihat asyik. Panitia pengarah memberikan bimbingan intensif didampingi Garduguru. "Pementasan besok harus terpola dengan serius seperti pertunjukkan pada umumnya," kata Suyanto, panitia yang mendampingi. Dengan begitu, penjiwaan siswa sangat maksimal.
Pembelajaran dengan praktik berdrama memang sangat memberikan hasil yang melimpah. Bahkan, kenangan pentas akan dikenang sampai anak tersebut menjadi tua. Mereka akan bercerita pengalaman pentas ke anak cucunya.
Untuk itu, pelatihan bela negara sangat tepat jika dilakukan dengan cara pentas. Jangan hanya sekadar ceramah untuk menguatkan bela negara keada siswa. Jika hanya ceramah, kapasitas pengetahuannya akan habis hanya tiga bulan berikutnya.
Kegiatan yang dilaksanakan pada 7--10 Februari di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro itu memang sangat berkesan. Siswa menyatakan bahwa kegiatan semacam ini sangat memberikan kesan yang tidak dilupakan. "Jiwa kami demi Indonesia," teriak salah satu siswa. Apalagi, yang dipentaskan adalah adegan perjuangan bangsa seperti perobekan bendera Belanda di Surabaya, Perang gerilya, penolakan pemuda terhadap narkoba, dan seterusnya.
Rabu, 03 Februari 2016
Menguatkan Karakter Guru agar Mempertajam Cara Mendidik Karakter Siswa
Masalah karakter yang kuat berbasis kebangsaan dan kecakapan bagi bangsa Indonesia tidak akan pernah pudar dibicarakan karena itulah titik sentral pembangunan manusia Indonesia. Indonesia akan bertahan lama sebagai negara bangsa yang bersatu-padu dari ujung barat sampai timur dan dari utara sampai selatan apabila pembangunan pendidikan yang berbasis karakter dan kebangsaan dijalankan secara taat asas. Melalui pendidikan tersebutlah akan tumbuh generasi yang lebih cinta Indonesia dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Anak-anak Indonesia haruslah memunyai persepsi dan perilaku sebagai anak yang plural, multisuku, dan bertoleransi tinggi. Perbedaan yang ada dipakai sebagai potensi yang saling melengkapi sehingga membentuk sebuah kekuatan tunggal yang bercinta dengan Indonesia. Itulah kehendak pendidikan di Indonesia sehingga masalah karakter harus terus dibicarakan.
Lalu, dari sudut mana mengefektifkan pendidikan karakter itu? Salah satu jalan adalah dari sisi guru karena dialah yang bergerak sebagai subjek manajer kelas, pendidik, dan pengajar yang berdekatan dengan siswa secara fisik dan nonfisik. Guru hebat dapat dipastikan akan dapat melahirkan siswa yang hebat. Sebaliknya, guru yang lemah akan membuat siswa bertambah lemah. Guru hebat itu tentu tidak datang dari langit melainkan datang dari pembinaan yang intensif dan sesuai dengan iklim pribadi guru. Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat dimulai dari sisi penguatan guru.
Perlu diketahui bahwa dari sisi budaya, seseorang dikatakan memunyai kekuatan budaya kerja yang bagus jika memunyai konsepsi, perilaku, dan artefak. Begitu pula, guru hebat yang berbudaya tentu haruslah memunyai konsepsi tentang karakter, perilaku unggul yang menunjukkan karakter, dan memunyai artefak sebagai hasil dari kinerjanya. Dari sisi nilai karakter, menurut Lichona, terdapat dimensi knowing, feeling, dan actuiting. Dimensi pengetahuan harus dipunyai guru terkait dengan karakter yang baik bagi siswa. Dimensi keinginan untuk menerapkan karakter harus dipahami benar petanya oleh guru. Kemudian, dimensi perilaku berkarakter harus benar-benar dilakukan dalam tindakan nyata oleh guru.
Berkaitan dengan hal tersebut, pelatihan karakter bagi guru haruslah dijalankan dengan pola keterlibatan penuh atau pastisipasi penuh dari guru yang akan dikembangkan kekuatan berkarakternya. Program peningkatan karakter bukan melalui ceramah atau worksohop melainkan melalui pola simulatif penuh dengan gaya partisipasi. Guru sejak di hari pertama sudah merasakan keterlibatan diri karena beranggapan dirinya harus terlibat penuh. Penanaman konsep karakter tidak berasal dari pemandu melainkan berasal dari guru itu sendiri. Narasumber menjadi sosok hebat dalam memfasilitasi.
Memang kemampuan mendidik karakter siswa harus diawali oleh kekuatan guru dalam berkarakter. Untuk itu, guru harus dihadapkan oleh problematika karakter sehingga dapat memecahkan dengan jitu. Guru melakukan tindakan berkarakter akibat situasi yang diciptakan menghendaki guru harus berkarakter. Kemudian, guru dapat menyusun program penguatan karakter bagi siswa. Pelatihan untuk guru harus dihadapkan pada situasi senyatanya dalam berkarakter.
Tahun 2015 yang lalu, direktorat PSMA melaksanakan pendidikan karakter bagi guru SMA melalui pola berkemah selama 4 hari. Ternyata, hasilnya sangat baik bagi pembiasaan berkarakter guru. Guru secara tidak langsung melakukan tindak berkarakter akibat jadwal yang disusun memang mengharuskan guru berkarakter bagus. Karena pola berkarakter itu dilakukan terus-menerus dengan model pembiasaan, secara tidak sadar guru melakukan tindak yang bagus. Sehabis mengikuti program itu, salah satu guru berkomentar bahwa dirinya sekarang ini sangat paham atas tindak berkarakter sehingga dapat mendidik anak agar berkarakter.
Pola kegiatan seperti itu dilaksanakan berkerja sama dengan Gerakan Pramuka Kwartir Daerah di tiap provinsi. Fasilitator yang ditunjuk adalah para pelatih pembina pramuka yang berlisensi melatih tingkat lanjut. Mereka mendampingi, memfasilitasi, menguatkan, merefleksikan, dan mengevaluasi selama kegiatan berlangsung. Narasumber berada di lokasi sejak peserta datang sampai pulang agar mampu mendampingi secara utuh dan tuntas. Jadi, narasumber tidak hit and run atau datang lalu pergi setelah materinya selesai diberikan. Pola tersebut memberikan nilai tambah yang kuat dan berbobot bagi guru. Guru sangat senang dalam mengikuti melalui poal keterlibatn diri yang utuh. Dari pagi sampai larut malam semua yang menangani peserta sendiri. Kemudian, amteri karakter dilaksanakan melalui learning by doing yang dilekatkan ke peserta berdasarkan pemantauan narasumber.
Agaknya, pola tersebut sangat tepat dfilaksanakan untuk peningkatan kompetensi karakter bagi guru jenjang lainnya. Pola dikembangkan dengan cara berkemah, penuh tantangan, langsung, dan di alam terbuka. Bukankah melalui tantangan, karakter sebenarnya dari seseorang akan dikeluarkan dengan maksimal agar dapat mengatasi tantangan tersebut. Tantangan yang baik adalah hambatan yang bersifat N+1, maksudnya kondisi peserta ditambah tingkat kesulitan satu digit. Kesulitan itulah yang akan membentuk karakter peserta.
Jika penguatan kompetensi dilakukan di kelas, tentu, peserta tidak memunyai tantangan sepadan sehingga tidak meningkatkan daya kekuatan karakter peserta. Tantangan pendidikan yang bagus adalah hambatan yang mampu menyentuh pikiran, sikap, dan perilaku senyatanya tanpa simulatif. Guru yang hebat tentu bermula dari keberhasilannya dalam mengatasi tantangan itu.
Lalu, dari sudut mana mengefektifkan pendidikan karakter itu? Salah satu jalan adalah dari sisi guru karena dialah yang bergerak sebagai subjek manajer kelas, pendidik, dan pengajar yang berdekatan dengan siswa secara fisik dan nonfisik. Guru hebat dapat dipastikan akan dapat melahirkan siswa yang hebat. Sebaliknya, guru yang lemah akan membuat siswa bertambah lemah. Guru hebat itu tentu tidak datang dari langit melainkan datang dari pembinaan yang intensif dan sesuai dengan iklim pribadi guru. Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat dimulai dari sisi penguatan guru.
Perlu diketahui bahwa dari sisi budaya, seseorang dikatakan memunyai kekuatan budaya kerja yang bagus jika memunyai konsepsi, perilaku, dan artefak. Begitu pula, guru hebat yang berbudaya tentu haruslah memunyai konsepsi tentang karakter, perilaku unggul yang menunjukkan karakter, dan memunyai artefak sebagai hasil dari kinerjanya. Dari sisi nilai karakter, menurut Lichona, terdapat dimensi knowing, feeling, dan actuiting. Dimensi pengetahuan harus dipunyai guru terkait dengan karakter yang baik bagi siswa. Dimensi keinginan untuk menerapkan karakter harus dipahami benar petanya oleh guru. Kemudian, dimensi perilaku berkarakter harus benar-benar dilakukan dalam tindakan nyata oleh guru.
Berkaitan dengan hal tersebut, pelatihan karakter bagi guru haruslah dijalankan dengan pola keterlibatan penuh atau pastisipasi penuh dari guru yang akan dikembangkan kekuatan berkarakternya. Program peningkatan karakter bukan melalui ceramah atau worksohop melainkan melalui pola simulatif penuh dengan gaya partisipasi. Guru sejak di hari pertama sudah merasakan keterlibatan diri karena beranggapan dirinya harus terlibat penuh. Penanaman konsep karakter tidak berasal dari pemandu melainkan berasal dari guru itu sendiri. Narasumber menjadi sosok hebat dalam memfasilitasi.
Memang kemampuan mendidik karakter siswa harus diawali oleh kekuatan guru dalam berkarakter. Untuk itu, guru harus dihadapkan oleh problematika karakter sehingga dapat memecahkan dengan jitu. Guru melakukan tindakan berkarakter akibat situasi yang diciptakan menghendaki guru harus berkarakter. Kemudian, guru dapat menyusun program penguatan karakter bagi siswa. Pelatihan untuk guru harus dihadapkan pada situasi senyatanya dalam berkarakter.
Tahun 2015 yang lalu, direktorat PSMA melaksanakan pendidikan karakter bagi guru SMA melalui pola berkemah selama 4 hari. Ternyata, hasilnya sangat baik bagi pembiasaan berkarakter guru. Guru secara tidak langsung melakukan tindak berkarakter akibat jadwal yang disusun memang mengharuskan guru berkarakter bagus. Karena pola berkarakter itu dilakukan terus-menerus dengan model pembiasaan, secara tidak sadar guru melakukan tindak yang bagus. Sehabis mengikuti program itu, salah satu guru berkomentar bahwa dirinya sekarang ini sangat paham atas tindak berkarakter sehingga dapat mendidik anak agar berkarakter.
Pola kegiatan seperti itu dilaksanakan berkerja sama dengan Gerakan Pramuka Kwartir Daerah di tiap provinsi. Fasilitator yang ditunjuk adalah para pelatih pembina pramuka yang berlisensi melatih tingkat lanjut. Mereka mendampingi, memfasilitasi, menguatkan, merefleksikan, dan mengevaluasi selama kegiatan berlangsung. Narasumber berada di lokasi sejak peserta datang sampai pulang agar mampu mendampingi secara utuh dan tuntas. Jadi, narasumber tidak hit and run atau datang lalu pergi setelah materinya selesai diberikan. Pola tersebut memberikan nilai tambah yang kuat dan berbobot bagi guru. Guru sangat senang dalam mengikuti melalui poal keterlibatn diri yang utuh. Dari pagi sampai larut malam semua yang menangani peserta sendiri. Kemudian, amteri karakter dilaksanakan melalui learning by doing yang dilekatkan ke peserta berdasarkan pemantauan narasumber.
Agaknya, pola tersebut sangat tepat dfilaksanakan untuk peningkatan kompetensi karakter bagi guru jenjang lainnya. Pola dikembangkan dengan cara berkemah, penuh tantangan, langsung, dan di alam terbuka. Bukankah melalui tantangan, karakter sebenarnya dari seseorang akan dikeluarkan dengan maksimal agar dapat mengatasi tantangan tersebut. Tantangan yang baik adalah hambatan yang bersifat N+1, maksudnya kondisi peserta ditambah tingkat kesulitan satu digit. Kesulitan itulah yang akan membentuk karakter peserta.
Jika penguatan kompetensi dilakukan di kelas, tentu, peserta tidak memunyai tantangan sepadan sehingga tidak meningkatkan daya kekuatan karakter peserta. Tantangan pendidikan yang bagus adalah hambatan yang mampu menyentuh pikiran, sikap, dan perilaku senyatanya tanpa simulatif. Guru yang hebat tentu bermula dari keberhasilannya dalam mengatasi tantangan itu.
Selasa, 02 Februari 2016
Kapan Guru Dianggap Mampu?
Rasanya, tiada henti-hentinya guru dirundung ucapan negatif, seperti tidak mampu, skor rendah, jalan di tempat, susah maju, dan seterusnya. Bahkan, ucapan negatif yang datang dari segala sudut (pemerintah, masyarakat, kepala sekolah, dinas pendidikan) itu menurunkan martabat guru di mata siswa dan orang tua. Bisa jadi, orang tua sering mencerca guru ketika anaknya ditangani dengan omelan atau sentuhan lainnya yang niatnya untuk memperbaiki sikap anak gara-gara martabat guru yang diturunkan oleh isu yang selalu populer, yakni ucapan negatif itu.
Kita tidak sadar bahwa ucapan negatif yang terus-menerus disampaikan akan membentuk antipati yang mendalam dalam diri seseorang. Begitu pula dengan ucapan negatif yang ditujukan kepada guru akan membentuk sikap dan pikiran antipati terhadap guru. Ucapan itu menjadi sebuah pembenaran bagi masyarakat yang ujung-ujungnya menurunkan kredibilitas guru. Dampaknya, guru saat ini seakan menjadi pesakitan bagi semua orang.
Padahal, guru sudah berbuat banyak untuk tumbuh kembang siswanya. Semua siswa yang melewati SD hampir semua dapat membaca dan berhitung. Tentu, itu semua wujud keberhasilan guru. Siswa dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dengan skor lumayan, tentu juga hasil kinerja guru. Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para lulusan tentu berkat sentuhan guru. Jadi, guru sebenarnya sudah berbuat. Namun, hasil kinerja guru tersebut masih saja dianggap belum memadai sehingga ucapan negatif bertubi-tubi datang ke guru.
Kalau guru harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kinerja memang itulah yang diharapkan. Guru hebat adalah guru yang terus-menerus belajar sampai titik akhir hidupnya. Dia merupakan sosok yang sadar atas segala kekurangan. Oleh karena itu, tiada hari tanpa belajar bagi guru.
Hanya saja, kewibawaan guru harus dijaga agar kredibilitasnya juga meningkat. Untuk itu, marilah mulai memuliakan tugas guru agar masyarakat juga turut mengangkat kewibawaan tersebut. Jika akan mengerjakan sebuah projek dalam rangka memperbaiki guru janganlah berangkat dari keburukan guru. Keburukan guru hanya akan menguatkan antipati kepadanya.
Kita tidak sadar bahwa ucapan negatif yang terus-menerus disampaikan akan membentuk antipati yang mendalam dalam diri seseorang. Begitu pula dengan ucapan negatif yang ditujukan kepada guru akan membentuk sikap dan pikiran antipati terhadap guru. Ucapan itu menjadi sebuah pembenaran bagi masyarakat yang ujung-ujungnya menurunkan kredibilitas guru. Dampaknya, guru saat ini seakan menjadi pesakitan bagi semua orang.
Padahal, guru sudah berbuat banyak untuk tumbuh kembang siswanya. Semua siswa yang melewati SD hampir semua dapat membaca dan berhitung. Tentu, itu semua wujud keberhasilan guru. Siswa dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dengan skor lumayan, tentu juga hasil kinerja guru. Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para lulusan tentu berkat sentuhan guru. Jadi, guru sebenarnya sudah berbuat. Namun, hasil kinerja guru tersebut masih saja dianggap belum memadai sehingga ucapan negatif bertubi-tubi datang ke guru.
Kalau guru harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kinerja memang itulah yang diharapkan. Guru hebat adalah guru yang terus-menerus belajar sampai titik akhir hidupnya. Dia merupakan sosok yang sadar atas segala kekurangan. Oleh karena itu, tiada hari tanpa belajar bagi guru.
Hanya saja, kewibawaan guru harus dijaga agar kredibilitasnya juga meningkat. Untuk itu, marilah mulai memuliakan tugas guru agar masyarakat juga turut mengangkat kewibawaan tersebut. Jika akan mengerjakan sebuah projek dalam rangka memperbaiki guru janganlah berangkat dari keburukan guru. Keburukan guru hanya akan menguatkan antipati kepadanya.
Selasa, 05 Januari 2016
Dies Natalis Unesa, Melihat Kemajuan Dinamis
Oleh
Suyatno
Mengapa
setiap tahun banyak lembaga memeringati hari kelahiran dengan penuh suka cita?
Itu semua dilakukan untuk memasuki dunia introspeksi dalam melihat kemajuan
dinamis lembaga tersebut. Selain itu, peringatan merupakan energi untuk
menguatkan peran siklus selanjutnya. Kira-kira, Universitas Negeri Surabaya
ber-Dies Natalis ke-51 juga beralasan untuk berintropeksi diri sambil mengukur
dinamika kemajuan selama ini. Energi yang diperoleh adalah suka cita dalam
menjalani tugas kependidikan dan keilmuan bagi masyarakat yang penuh dengan
pemikiran itu.
Jadi,
Dies Natalis ke-51 Unesa bukanlah sekadar rutinitas, bagi-bagi dana, dan
bersenang-senang semata. Dies Natalis ke-51 Unesa diperingati untuk melihat lebih
jauh ke depan berdasarkan perjalanan yang lama dan kekinian. Ke depan kira-kira
Unesa akan bertampang seperti apa? Jalan yang strategis mana yang harus
ditempuh? Saat ini, sudah seberapa menggembirakan Unesa itu? Kehendak pendiri
masa lampau apakah sudah terlihat di masa kini? Itulah pertanyaan yang
menggelembung dalam sanubari warga Unesa di bawah paying peringatan ulang
tahun.
Berbagai
olahraga dilombakan untuk warga Unesa. Loma tersebut merupakan tanda bahwa
kesehatan, sportivitas, dan keakraban masih menjadi pegangan kunci Unesa.
Lembaga pendidikan sebesar Unesa tidak akan berjalan dengan baik jika warganya
sakit-sakitan, tidak sportif, dan beregoisitas tinggi. Jadi lomba itu merupakan
tanda dan simbol. Begitu juga lomba yang lainnya diadakan untuk memunculkan
kunci instropeksi diri.
Seminar,
orkestra, jalan sehat, bakti sosial, pidato ilmiah, bazaar, unjuk gelar
kreativitas mahasiswa, pameran terbuka, dan lainnya dilaksanakan dengan penuh
senyum dan gembira karena kemampuannya memberikan sinyal dalam mengukur
dinamika yang sedang berjalan. Itulah sebuah tekad yang mantap dalam memasuki
dunia siklus tahunan untuk memperbaiki diri. Dies natalis merupakan momentum
untuk mengoreksi kedalaman sambil bersuka ria.
Tulisan
reflektif yang dituangkan ke dalam artikel dari para dosen, yang kemudian
disatukan dalam buku antologi merupakan gagasan yang menarik untuk dilirik.
Banyak gagasan baru yang mampu memberikan masukan berharga bagi dunia nyata. Di
samping itu, isi tulisan mencerminkan kekayaan gagasan yang berguna bagi
pemikiran berikutnya. Buku antologi itu juga merupakan simbol dan tanda bahwa
Unesa semakin maju berdinamisasi.
Dies
natalis ke-51 kali ini memang menjanjikan bagi jiwa yang terus tumbuh dan
berkembang. Janji itu terpukau dalam pengalaman langsung yang digelar dengan
gebyar di Desember 2015. Betapa Unesa masih bergairah dalam menjalankan tugas
keperguruantinggiannya. Senyum mengembang mengawal semua warga dalam ber-Dies
natalis.
Dunia
atas dan dunia bawah, dunia mikro dan dunia makro tidak akan pernah bersatu
dalam satu jiwa manakala hanya larut dalam tugas yang penat terus-menerus.
Kedua dunia yang berdikotomis, bersisi yang berbeda tentu memerlukan sarana
penyatuan yang cair. Penyatuan itu diperlukan agar jalinan kerja dapat menyatu
tanpa alasan individu nyang mengental. Kedua dunia itu dapat dipersatukan salah
satunya lewat dies natalis. Oleh karena itu, jangan heran jika lembaga lain
merayakan ulang tahun dengan hingar-bingar dengan dana yang minta ampun
banyaknya. Itu semua untuk menguatkan energi penyatuan secara lahir dan batin.
Jadi,
jika Unesa ber-Dies natalis ke-51 dengan senyum merupakan perilaku yang sudah
tepat. Energi lama diperbarui menjadi energi baru yang mampu memberikan warna
pada tahun berikutnya. Kenangan dies natalis ke-51 sampai saat ini masih
dirasakan energinya. Kenangan itu kelak menjadi asupan dalam berkiprah
membangun Unesa dari tahun ke tahun. Unesa terlihat seirama dengan nuansa
senyum yang datang dari semua warga Unesa.
Perubahan
selalu memerlukan titik lihat yang mampu dimasuki untuk melihat kedalaman dan
keluasan. Titik lihat itu berada saat momentum hari ulang tahun. Dalam ulang
tahun kali ini, titik lihat sangat memberikan sinar terang sehingga Unesa dapat
dengan mudah berintropeksi. Bravo Unesa. Panjanglah umurmu.
Bermartabatlah Selagi Sempat
Oleh Suyatno
Sesungguhnya, modal yang teramat indah untuk menjadi
bermartabat adalah diwisuda. Diwisuda berarti diberikan kepercayaan legal untuk
menjalankan kemampuan diri secara bermartabat di tengah masyarakat. Jika kelak di
masyarakat ternyata sang sosok yang telah diwisuda berbuat cela dan ingkar dari
komitmennya, dia akan menemukan identitas negatif yang berlawanan dari predikat
bermartabat. Sebaliknya, sosok yang pernah diwisuda akan memperoleh cap
bermartabat apabila melaksanakan perbuatan yang diterima oleh masyarakat karena
berpikir positif, empati, berprestasi, dan memberikan arti bagi kehidupan.
Identitas positif dan negatif adalah pilihan dari sang sosok yang telah
diwisuda. Karena identitas diri di masyarakat adalah sebuah pilihan, tentu,
wisudawan Unesa akan memilih identitas positif dalam kondisi dan keadaan
apapun.
Wisuda adalah petanda dari sebuah babak dalam perjalanan
hidup sang sosok yang kelak akan beridentitas positif sehingga berpredikat
bermartabat. Petanda tersebut dibalut dalam sebuah momen Wisuda Unesa yang
diatur secara apik, prosedural, dan khidmat agar sang sosok menitikkesankan
pada petanda sehingga kelak akan melahirkan momentum bermanfaat. Untuk itu,
wisudawan kali ini, perlu mengabadikan momen ini dengan penuh kegembiraan,
kekhidmatan, dan keyakinan.
Kegembiraan merupakan dasar bagi keberlangsungan perjalanan
sang sosok dalam menapaki babak baru di masyarakat. Dengan kegembiraan,
inspirasi, kreasi, dan inovasi akan muncul dengan sempurna tanpa kegalauan
meski dalam kondisi serba susah sekalipun. Wisudawan Unesa, pasti, mampu
menempatkan kegembiraan sebagai dasar berkiprah dalam dunia sehingga menjadi
sosok yang bermartabat.
Kekhidmatan merupakan perwujudan dari proses berkonsentrasi
yang terfokus, ikhlas, dan bertanggung jawab. Dengan kehidmatan, sang sosok
akan mampu melahirkan karya dan kinerja dengan jernih, berbobot, dan disukai
oleh masyarakat. Meskipun berada dalam kegembiraan namun tidak khidmat, hasil
yang diperoleh akan tidak maksimal, kacau, dan terbagi-bagi sehingga menutup
tingkat keterfokusan diri. Modal bermartabat adalah kekhidmatan dalam setiap
kesempatan sekecil apapun.
Keyakinan merupakan perwujudan berpikir positif atas karya
dan kinerja yang telah, saat, dan akan dilaksanakan dalam diri sang sosok dalam
menghadapi kiprah diri di masyarakat. Keyakinan biasanya didasari oleh mimpi,
cita-cita, dan kehendak yang berdasarkan pengalaman dan kemampuan diri.
Wisudawan Unesa akan dapat bermartabat jika mempunyai keyakinan yang teramat kuat
atas kesuksesan diri dalam menjangkau sosok yang bermartabat di masyarakat.
Selamat diwisuda. Anda pasti dapat bermartabat dengan
bermodalkan kegembiraan, kehidmatan, dan keyakinan karena telah mempunyai
petanda dalam babak kehidupan yang bernama wisuda. Sekali lagi, Unesa
mengucapkan selamat diwisuda.
Unesa: Sudah Waktunya Naik Kelas
Oleh Suyatno
/1/
Ketika di hadapan peserta Musyawarah
Nasional (Munas) Gerakan Pramuka di Kupang, NTT, awal Desember 2013, mendikbud,
Prof. Dr. Muhammad Nuh, melontarkan bahwa lembaga yang bagus harus sampai ke
tingkat transformer. Mantan rektor ITS itu mengatakan bahwa ada empat peran
untuk predikat keberhasilan sebuah lembaga. Keempat peran itu adalah (1)
pendukung (supporter), (2) penggerak
atau pengarah (driver), (3) pemungkin
(enabler), (4) pemicu transformasi (transformer). Pernyataan keempat peran
itu, oleh Pak Nuh, begitu biasa dipanggil, diulangi lagi pada kesempatan
menyambut dalam acara Konvensi Kampus X
dan Temu Tahunan XVI yang diselenggarakan FRI Januari 2014 di Surakarta.
Betapa pentingnya pernyataan itu sampai diulang kedua kali oleh Pak Nuh.
Menurut
M Nuh, peran sebagai penopang adalah peran paling bawah dalam hierarki. Peran
di atasnya adalah penggerak, yang menggerakkan sekaligus mengarahkan. Sebagai
pemungkin, sebuah lembaga bertugas mendobrak ketidakmungkinan melalui
kreativitas dan inovasi. Kemudian, peran paling atas adalah sebagai pemicu
transformasi, yaitu lembaga harus memulai perubahan transformatif. Dia menilai,
dari keempat peran tersebut, peran terpenting bagi perguruan tinggi adalah
sebagai pemicu transformasi. Untuk menjalankan peran tersebut, lanjutnya,
penting bagi perguruan tinggi bergerak sesuai perkembangan zaman.
Di
Surakarta saat itu, Pak Nuh menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus bergerak
dinamis. “Pengajarannya harus berubah, jangan itu-itu saja. Risetnya harus
berkembang, jangan itu-itu saja," paparnya.
Betapa bahagianya, jika Unesa naik
kelas. Dari kata “naik kelas”, terbersit perubahan dari belum menjadi sudah,
dari tidak ada menjadi ada, dari lemah menjadi kuat, dari tanpa citra menjadi
penuh citra, dan dari kecil menjadi besar. Kondisi seperti itu tentu mampu
membahagiaan warga Unesa, masyarakat yang terkait, dunia luar, dan alam raya
seisinya. Kondisi tersebut juga memunculkan tataran dan tantangan baru sehingga
mendinamisasikan Unesa untuk terus melejit ke kelas di atasnya.
Saat ini, label naik kelas dapat
disematkan untuk Unesa jika melihat prestasi yang telah diraih kurun empat
tahun ke belakang. Label tersebut ditandai dari dua sisi, yakni sisi
infrastruktur dan suprastruktur. Di tataran infrastruktur, Unesa berada pada kelas
lebih tinggi dari kelas dasar kekumuhan. Lihat saja, di sana sini terlihat pembangunan
dari gedung kuliah, kantor, jalan, selasar, taman, waduk, hutan kota, ruang
kerja, ranu, kantin, bank, pusat kemahasiswaan, dan logo. Perubahan itu
berdampak pada kenyamanan mahasiswa dalam berkuliah, keberterimaan masyarakat
terhadap kampus yang mereka kunjungi, kelegaan dosen dalam menikmati ruang
bekerja, dan siswa yang merindukan berkuliah di Unesa. Ujungnya, kampus mampu
menelurkan segudang prestasi kinerja warganya.
Perubahan kelas seperti tergambar di
atas bukan tidak memerlukan kepemimpinan dan manajemen tersendiri. Tidaklah
mungkin, dana untuk mengembangkan infrastruktur itu hanya sebatas dana dari
mahasiswa. Tentu, dana itu bersumber dari mana-mana. Tidak mungkin pula, secara
tiba-tiba, muncul bangunan. Kepemimpinan yang baik yang ditunjang manajemen
yang jitu tampaknya turut mempengaruhi keberhasilan infrastruktur itu.
Di tataran suprastruktur, Unesa masih
berada di kelas yang sama, yakni sebagai pendukung dan penggerak saja.
Dikatakan masih di kelas yang sama karena jauh sebelum empat tahun lalu, Unesa
juga berada pada kelas pendukung dan penggerak. Unesa masih sebatas pendukung
program Jakarta, seperti pelaksana PPG, PLPG, Penelitian dan Pengabdian, Hibah
Doktor, SM3T, KKT, KKN, dan sebagainya. Program tersebut dirancang dan dikemas
dari Jakarta (baca kemendikbud) untuk dilaksanakan serentak di berbagai
perguruan tinggi asal proposal dapat memenuhi syarat pemesannya. Sebagai
penggerak, Unesa mampu menjalin kerja sama dengan pihak lain seperti sekolah
model (Unesa—Kabupaten Kutai Timur), penyebaran informasi pembelajaran yang
baik (Unesa—Bank Dunia), pusat konfusius (Unesa—Pemerintah Cina), Pendampingan
guru (Unesa—Provinsi Jatim; Jombang; Surabaya; Sidoarjo; Gresik; Bontang
Kaltim), Program CE (Continuing Education)
(Unesa—Surabaya), dan sebagainya.
Suprastruktur yang mampu menembus
tingkat pemungkin masih dapat dihitung dengan jari. Program yang bertaraf
pemungkin tersebut adalah laman Unesa yang mampu menembus ranking 2 dunia
setelah Universitas di California; Robot dan mobil irit yang masuk ke jajaran
nasional dan internasional; Bank sampah yang diakui Surabaya; Pemenang festival
teater di Mesir; Pendidikan inklusi yang mendapatkan penghargaan menteri; Jumlah
pendaftar ke Unesa yang melejit jumlahnya; Penerbitan berbagai judul buku
pendidikan yang dibagi-bagikan ke setiap tamu yang berkunjung; Majalah Unesa
yang terbit tiap bulan; Laman Wapik yang berisi pembelajaran yang Baik; dan
beberapa lainnya.
Namun, meskipun kemajuan suprastruktur masih
sporadis seperti di atas, tentu, jika terus digarap dengan serius, Unesa akan
mampu masuk ke kelas transformasi. Kemampuan itu didukung oleh keberhasilan
yang melewati kelas yang dimiliki perguruan tinggi lain. Dari segi posisi,
Unesa menang satu kelas. Untuk itu, sekali lagi, manajemen kuat diperlukan
untuk terus menggarap momentum keberhasilan tersebut.
/2/
Selama ini, Unesa merupakan lembaga yang
rajin, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas dari
Jakarta, seperti yang telah disebut di bagian /1/ di atas. Karena banyak
luncuran program seperti itu, seakan tidak ada program Unesa yang mampu
menasional dan berada pada peran pemungkin dan transformatif. Seolah-olah,
semua amunisi dan energi habis terkuras untuk kesuksesan perjalanan program
pesanan tersebut.
Posisi di tingkat peran pertama memang
baik karena menyukseskan program nasional. Hanya saja, jika Unesa asyik-asyikan
di tingkat pertama itu, lalu lupa dengan tingkat peran di atasnya, Unesa akan
tertinggal jauh dari perguruan tinggi lainnya. Unesa akan senantiasa setia di
kelasnya semata. Lihat saja, ITB mulai masuk ke tingkat transformatif dengan
program membuka prodi di Malaysia. UGM menggandeng puluhan perguruan tinggi di
luar negeri. Unesa, dengan jumlah tenaga akademis yang banyak dan berkualitas
di bidangnya itu, tentu tidak hanya pada kelas pemungkin saja tetapi harus
berani masuk ke tingkat transformasi.
FT
sudah mengibarkan bendera ISO, sebagai simbol pengelolaan birokrasi akademis
yang standar. Namun, pengibaran bendera itu tidak dengan cepat diikuti oleh
fakultas lain. Seolah-olah, bendera ISO bukan menjadi kebutuhan mendesak.
Petanda yang ditunjukkan FT tidak menjangkiti inisiatif dan imajinasi fakultas
lain dengan serta-merta. Bisa jadi, fakultas lain menunggu kebijakan wajib dari
pusat (baca rektor). Padahal,
masyarakat transformasi ditandai oleh inisiatif dan imajinasi yang kreatif.
Begitu pula, pola administrasi on-line yang digunakan BAAKPSI Unesa
yang menguntungkan mahasiswa itu hanya sebatas di tingkat pusat. Fakultas atau
jurusan tidak mampu menerapkan pola on-line
itu ke dalam skala mini. Jika setiap tindakan mahasiswa di jurusan tercatat
secara on-linu, tentu, dengan mudahnya, dosen atau orang tua mahasiswa dapat melihat
perkembangan kualitas sang mahasiswa. Contohnya, di semester tertentu, orang
tua dengan akses tertentu, dapat mengetahui bila anaknya mengikuti seminar di
Jakarta, berkemah di gunung, kursus jurnalistik, lomba musik, dan seterusnya.
Yang baru diketahui hanya nilai, sks yang ditempuh, dan dosen pembimbingnya.
Andai data kualitas mahasiswa dapat terjangkau, Unesa akan lebih banyak dikenal
dengan prestasi mahasiswanya. Bukankah dari 25.000-an jumlah mahasiswa Unesa,
pasti banyak yang berprestasi akademik maupun nonakademik. Oleh karena itu,
program dunia maya di samping terpusat juga perlu yang bersifat segmental
fakultas atau jurusan.
Keunggulan suprastruktur di kelas
pemungkin sangat baik jika terus dijaga, dimanajemeni lebih kuat, dan dikawal
ketat sehingga pada akhirnya mampu menembus kelas transformasi. Unesa perlu
segera membentuk penanggung jawab khusus untuk intensif mengelola laman Unesa
dengan target ranking pertama mengalahkan Universitas di California; Robot dan
mobil irit harus menyabet juara internasional; Model bank sampah menyebar ke
Indonesia dan dunia; Teater disegani di tingkat dunia; pendidikan inklusi harus
mendapatkan penghargaan dunia; Jumlah pendaftar ke Unesa menjadi tertinggi di
Indonesia; Penerbitan buku diakui mutu dan sebarannya di tingkat dunia; Majalah
Unesa yang terbit tiap bulan dikembangkan menjadi majalah dunia; Laman Wapik
dikembangkan ke berbagai bahasa; dan seterusnya.
Penjagaan kelas pemungkin tersebut harus
ketat sehingga dapat dipastikan masuk ke kelas transformasi. Dana diperbesar
untuk menyokongnya. Sarana disediakan untuk menggelar aktivitas berlatihnya.
Pakar didatangkan untuk terus memupuk kualitasnya. Uji coba dan pencarian lawan
latih senantiasa diadakan untuk perbaikannya. Kemudian, uji kelayakan kelas
terus dilakukan setiap waktu.
Sementara kelas pemungkin dijaga, di
sisi lain, Unesa harus memperkuat fundamental suprastruktur lainnya. Beberapa
lini yang perlu diperkuat adalah pertama, jurnal ilmiah; Selama empat tahun
ini, tidak ada jurnal ilmiah yang berakreditasi nasional apalagi internasional.
Terlihat pengelolaannya bergaya lama (pembentukan redaksi, penentuan naskah,
dan terbit, tanpa bantuan super maksimal). Andai saja, Unesa berani
menyingsingkan lengan dengan cara memberi dana lebih, umpamanya setiap
penerbitan didanai 50 juta, tentu, redaksi tidak lagi berpusing dua kali. Tiap
penerbitan diberi tenaga khusus untuk administrasi dan pengolahan desain untuk
setiap jurnal. Ruang jurnal disatukan dalam kondisi layak kerja. Lalu,
pengelola jurnal ditarget untuk berkreditasi A. Tentu, kelas Unesa dalam hal
jurnal akan meningkat. Pengelola
terlihat kelelahan dari sector pendanaan dan ruang.
Kedua, kekokohan sumber belajar yang
dirintis berupa buku kuliah hasil pencarian dosen, yang pendanaan di tanggung
Unesa, tidak berjalan. Program tersebut sangat bagus namun tenggelam di tengah
jalan. Lagi-lagi, modusnya karena tidak dikelola dengan baik di tingkat
aplikasi. Andai saja, program itu dijalankan dengan sepenuh hati, tentu, lain
soal hasilnya. Misalnya, tiap dosen senantiasa memburu buku baru di tingkat
internasional. Buku itu diterjemahkan oleh dosen. Ongkos penerjemahan
ditinggikan. Hasil terjemahan disebarluaskan ke nusantara. Dosen itu menjadi
terkenal, Unesa turut terkenal, dan dana yang diberikan akan segera kembali
jika dikelola penerbitan sendiri. Dosen itu kemudian membentuk klub kajian
untuk menyeminarkan isi buku, mendesiminasikan dampak isi buku, dan membuat
buku yang senada. Tiap tahun, tiap semester, dosen harus dituntut untuk
menerjemahkan buku yang khas sesuai dengan mata kuliahnya. Dosen tersebut
didampingi dosen seniornya. Tentu, hal itu, akan turut menaikkan kelas.
Ketiga, kaderisasi guru besar hanya
berjalan apa adanya. Pengurusan berlarut-larut akibat ketidakpastian acuan
sangat terjadi. Pembinaan khusus dengan pengawalan yang rutin dan pasti tidak
terjadi. Selama ini, sang calon guru besar terseok-seok melangkahkan kaki dalam
kurun waktu yang panjang dan melelahkan. Bisa jadi, sang calon akan frustasi
dan tidak mau menginjakkan kaki di jenjang guru besar karena betapa susah dan
pahitnya jalan yang ditempuh. Andai saja, setiap dosen yang bergelar doktor dan
berjabatan lektor kepala dikawal ketat dengan pendampingan penuh kesetiaan dan
kemitraan, tentu banyak guru besar baru yang bermunculan.
Keempat, inisiatif program transformasi
murni dari Unesa untuk dunia belum muncul. Andai saja, Unesa dengan serius
merumuskan formula pendidikan atau keilmuan yang mampu dengan jitu mendongkrak
kualitas guru, tentu, Unesa akan naik kelas dan dikenal dunia luas. Cobalah,
formula pendidikan yang mampu menarik minat para gubernur, bupati, atau pemilik
modal untuk menjajal formula itu. Tunjukkan kalau formula itu sangat cepat
menaikkan mutu pendidikan. Hal itu sangat mungkin karena Unesa mempunyai pakar
handal, gedung bagus, dan nama yang berharga jual.
Kelima, penerbitan yang berkaliber
nasional masih jauh panggang dari api. Penerbitan Unesa masih dikenal di
kelas-kelas Unesa sendiri dengan judul-judul yang spesifik dan khas mata kuliah
yang diampuh dosen. Buku yang menjangkau masyarakat luas baik dari sisi
fenomena dan makna isinya masih beredar di area sempit dan untuk kepentingan
kepangkatan semata. Ada buku-buku berbobot dari dosen tetapi tidak diterbitkan
penerbit Unesa, melainkan diterbitkan di luar yang harga dan kualitasnya
bermutu. Ada mimpi yang menjangkau. Mimpi itu adalah penerbitan Unesa mampu
menyaingi kelas di atasnya. Tiap orang yang ingin membaca ilmu tertentu, pasti
berpikirnya adalah penerbit Unesa. Di toko buku manapun, terpampang buku terbitan
Unesa. Lalu, suatu ketika, buku-buku Unesa diterjemahkan oleh negara lain
karena mutunya. Unesa menjadi naik kelas ke transformasi penerbitan dan
mendapatkan hasil yang melimpah.
Keenam, penelitian dan pengabdian
masyarakat masih sebatas pesanan pusat dan berjudul ringan. Bisa saja, suatu
ketika, penelitian yang dilakukan Unesa mampu menghebohkan dunia, misalnya
dosen Unesa menemukan bahan bakar mobil berbasis angin, obat HIV-AIDS dari daun
ubi, obat kanker dari senam X, atau temuan unik lainnya. Keunggulan itu tentu
suatu saat akan dinanti dunia. Bahkan, ada lembaga lain yang senantiasa
menggunakan sumber daya dari Unesa. Bisa jadi, hal itu terjadi meski hanya
mimpi.
Ketujuh, jebolan Unesa masih
dianaktirikan dari jebolan perguruan tinggi lain, kecuali yang berbasis
pendidikan. Lihat saja, lulusan ilmu murni dari Unesa sangat sulit menembus
pekerjaan di bidangnya karena kalah dari perguruan tinggi sejenis lainnya.
Selama ini, perlakuan dan sentuhan hati kepada mahasiswa berbasis pendidikan
lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang berbasis ilmu murni. Diakui atau
tidak, hampir setiap hari yang dipikirkan dosen Unesa senantiasa masalah
pendidikan keguruan dibandingakn masalah ilmu murni. Andai saja, ada niat,
perlakuan, dan program utuh dan kuat untuk memaksimalkan perkuliahan untuk
prodi murni, pasti suatu saat perlakuan masyarakat akan bergeser. Dengan menu
tertentu, mahasiswa ilmu murni menjadi serba brilian, cekatan, dan bernyali
kerja professional, tentu, pihak lain akan melirik jebolan Unesa.
Kedelapan, jejaring internasional Unesa
masih dikenal oleh segelintir perguruan tinggi di negara lain. Meskipun saat
ini Unesa sudah menjalin kerja sama dengan Hankuk University of Foreign
Studies, Seoul, South Korea
(seminar), Pusan National University,
Korea (olahraga), Burapha University
dan Princes
of Songkla University Thailand; Curtin
Universty, Australia; Utrecht
University, Belanda (pascasarjana); Universitas Wuhan dan Universitas
Hanban, Cina (prodi Mandarin), dan lainnya. Namun, kerja sama itu harus terus
ditingkatkan sampai suatu saat setiap jurusan mempunyai prodi kembar di
universitas luar negeri. India dengan kekuatan perkuliahan teknologi dan
filmnya sangat mungkin akan melirik Unesa untuk bekerja sama. Afrika yang dipenuhi
oleh negara yang unggul di pertambangan suatu hari akan bekerja sama dengan
Unesa. Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea yang terkenal dengan inovasi
praktisnya akan melirik Unesa. Universitas di Eropa dengan keilmuan dasarnya
akan memakai Unesa sebagai kawan berbaginya. Itu semua keniscayaan.
Itulah sekilas kekokohan yang mungkin
terjadi untuk masuk ke sisi suprastruktur Unesa. Hal di atas sangat mungkin
dilakukan asalkan ada kemauan kuat dari Unesa. Tidak ada, di dunia ini, yang
tidak bisa. Unesa pasti suatu saat bisa melakukan kiprah untuk berada di kelas
transformasi.
/3/
Memang sudah menjadi sifat manusia untuk
meminta lebih dari sesuatu yang sudah diterima saat ini. Unesa yang sudah mampu
menunjukkan capaian kelasnya tentu masih saja ada yang menginginkan lebih
berkelas lagi. Itu semua wajar. Bahkan, keinginan itu haruslah dijadikan
pelecut untuk terus berkreasi dan berdinamika. Bukankah, keberhasilan yang
bersifat kanon selalu berawal dari berpikir skeptis seperti itu.
Diakui atau tidak, Unesa telah
melejitkan keberhasilan infrastruktur di segala lini. Bahkan, tahun-tahun
mendatang pekerjaan rumah untuk keberlangsungan infrastruktur masih bergulir.
Lihat saja, IDB yang menyetujui beberapa infrastruktur baru masih belum dimulai
pembangunannya. Projek IDB itu tahun depan baru dapat diwujudkan
pembangunannya. Belum lagi, infrastruktur di tingkat jurusan yang terus saja
berbenah.
Infrastruktur itu merupakan fondasi
untuk berbenah menjadi lebih baik. Kalau bukan sekarang memperbaiki
infrastruktur, kapan lagi? Inilah waktu yang tepat untuk membangun daya dukung
dasar agar suprastruktur dapat semakin menemukan jalan keberhasilannya.
Suprastruktur yang ada juga sudah dapat
menunjukkan Unesa sebenarnya mempunyai kemampuan tinggi. Kemampuan itu tidak
kalah dengan perguruan tinggi lain. Capaian suprastrtur tersebut tentunya dapat
menjadi motivator bagi keberhasilan suprastruktur yang lainnya.
Secara internal, Unesa semakin kondusif
dalam mengawal keberhasilan lembaga pencetak diploma, sarjana, master, dan doktor
itu. Kawalan itu sudah dapat dilihat berjalan sesuai dengan relnya. Geliat
mulai terlihat. Budaya akademis mulai tumbuh meski masih berdaun satu. Capaian
seperti tersebutlah yang harus terus dipelihara dengan kesadaran dan
keterlibatan tinggi.
Dari sisi eksternal, Unesa semakin
dikenal oleh masyarakat di Indonesia dan dunia. Lihat saja, pada pendaftar
SNMPTN tahun 2013, calon dari Sumatera Utara ada 500-an, Jawa Tengah ada
1.000-an, Maluku ada 150-an, begitu pula daerah lainnya. Jika ke desa di Jatim,
tanyalah kepada penduduk tentang Unesa, mereka akan menjawab kenal Unesa.
Betapa Unesa dikenal oleh masyarakat terdekat dan terjauhnya. Itu semua terjadi
karena nama Unesa sering disebut oleh orang, media, dan lainnya.
Unesa sering disebut akibat torehan
prestasi seperti penghargaan Anugerah Pendidikan Inklusif 2012, pelobi agar Asian games 2019 diselenggarakan di Indonesia, hutan
kota, SSC, atlet olahraga, wapikweb,
tamu aktor film, sastrawan, kedatangan menteri dan pejabat lainnya,
prestasi seni, campursari Baradha, dan sebagainya. Jika prestasi seperti it
uterus dilejitkan melalui pencitraan media, tentu Unesa akan semakin melekat di
alam pikiran masyarakat. Semua itu menjadi sangat mungkin.
Jalan
sudah ditempuh, anak tangga sudah dilewati, dan laut sudah dilayari. Tibalah,
pelaju berikutnya untuk menempuh jalan, anak tangga, dan kapal agar Unesa
sampai ke tujuan. Dalam setiap perjalanan, suka dan duka pastilah bergiliran
bermunculan. Itu hal biasa. Suka dan duka adalah bagian dari senandung rindu
sang anak petani di tengah sawah. Yang terpenting, Unesa harus berada di atas
segala kepentingan pribadi dan golongan. Unesa harus di puncak tiang tertinggi
untuk membawa warta kebangunan Indonesia raya.
Langganan:
Postingan (Atom)