Kamis, 21 November 2013

UN SMA 2014 Jatuh pada 14--16 April

Perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) akan berimbas pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2014. Meski dikabarkan mundur, UN SMA, SMK, dan MA akan dilangsungkan pada 14-16 April 2014.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, esensi pelaksanaan UN harus memenuhi dua persyaratan utama.

"Pertama, seluruh proses pembelajaran sudah selesai. Jangan sampai UN dilaksanakan saat pembelajaran belum selesai," ujar M Nuh, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2013).

Poin kedua, katanya, pelaksanaan UN harus mempertimbangkan jadwal penerimaan mahasiswa baru. Sehingga para siswa bisa mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

"Harus mempertimbangkan waktu untuk masuk ke jenjang lebih tinggi masih memungkinkan. Disesuaikan dengan jadwal penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi. Kami sudah tanya dengan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTN) kapan hasil ujian penerimaan mahasiswa baru selesai sehingga bisa kami sesuaikan," paparnya.

M Nuh menegaskan, penetapan waktu pelaksanaan UN dilakukan dengan melihat berbagai pertimbangan. Tidak hanya melihat even nasional seperti Pemilu tapi juga mempertimbangkan hari besar agama, yakni wafat Yesus Kristus.

"Tetap pertimbangkan jadwal UN dengan kegiatan nasional lainnya. Semua pertimbangan kita masukkan, yaitu pileg dan hari besar agama. Biasanya hari pertama UN satu pelajaran, sehingga selesainya Kamis padahal Jumatnya Jumat Agung. Maka, setiap hari dua mata pelajaran sehingga bisa selesai Rabu," ungkap M Nuh. (Sumber: Okezone.com/ade)

Anak Era Global Itu Lebih Lamban dan Fisik Lemah

Ini informasi yang layak diketahui oleh guru dalam menangani siswa di sekolah. Ketika siswa berada dalam kondisi lambat, guru jangan menoleransi atas kelambatan itu. Guru harus mengajari siswa untuk bergerak cepat dan kuat fisiknya. Jika guru mengikuti keadaan siswa, dapat dipastikan siswa akan tambah lebih lambat.

Tempo.co melaporkan bahwa bocah-bocah zaman sekarang makin lemah dibanding generasi bocah pada era 1970-an. Sebuah penelitian yang mempelajari jutaan anak di seluruh dunia mengungkapkan, anak zaman sekarang makin lamban dalam berlari. Jika dibandingkan bocah 30 tahun lalu, bocah sekarang rata-rata lebih lambat 90 detik jika berlari menempuh jarak 1 mil (1,6 kilometer).

Penelitian itu juga mengungkapkan anak-anak berusia 9-17 tahun kebugaran jantungnya turun 5 persen tiap dekade. "Wajar, anak-anak sekarang makin kurang aktif," kata Dr Stephen Daniels, juru bicara American Heart Association dan juga dokter anak dari Universitas Colorado, Rabu, 20 November 2013.

Penelitian yang dipimpin Grant Tomkinson, ahli fisiologi olahraga dari University of South Australia, itu menganalisis 50 studi tentang kebugaran, yang melibatkan 25 juta anak usia 9 hingga 17 di 28 negara selama 1964-2010. Studi-studi itu mengkaji kesehatan jantung dan daya tahan fisik.

Penelitian Tomkinson mengukur seberapa jauh anak-anak bisa berjalan dalam lima sampai 15 menit dan seberapa cepat mereka berlari jarak tertentu, mulai dari 0,5 mil ke 2 mil ( 3,2 kilometer). Hasilnya, bocah sekarang kurang bugar 15 persen dibanding bocah zaman dulu. Penurunan kebugaran ini terjadi pada bocah di Eropa, Australia, dan Selandia Baru. Gejala serupa merambat ke Amerika Utara, Jepang, dan Cina.

Di Cina, studi menunjukkan anak-anak mereka makin gemuk dan lambat. Para ahli di sana menyalahkan tes sekolah akademik yang makin kompetitif, yang membuat anak banyak berada dalam ruangan. Kambing hitam lainnya adalah permainan game dan komputer web yang digandrungi para bocah. Di Jepang, kebugaran pemuda turun sejak era 1980-an. Pemerintah mendesak pihak sekolah dan pemerintah kota untuk mempromosikan aktivitas kebugaran fisik.

Tomkinson dan Daniels mengatakan obesitas mungkin juga jadi sebab. Karena membuat lebih sulit melakukan latihan aerobik. "Terlalu banyak nonton televisi, main video game, dan lingkungan yang tidak aman juga mungkin menjadi sebab," kata mereka.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menghitung 80 persen anak-remaja global saat ini kurang aktivitas fisik. Para ahli kesehatan menganjurkan anak-anak umur 6 tahun ke atas setidaknya satu jam tiap hari beraktivitas fisik.(sumber: Tempo.co)

Dari Kepala SD ke Penguatan Pendidikan Karakter

Andai semua kepala SD benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin, pengelola, penggerak, penyelaras, dan pemegang prinsip pendidikan, tentu, tanpa harus ada program bantuan sosial pengembangan pendidikan karakter pun, mereka akan menunjukkan hasil pendidikan yang membanggakan. Hanya saja, kepala sekolah yang demikian itu malah sedikit jumlahnya. Itu pun, kepala sekolah yang ditunjuk untuk itu karena berkaitan dengan projek yang akan dijalaninya. Betapa kesadaran mendidik tidak muncul serta merta dari tugas hakiki seorang kepala sekolah.

Andai juga kepala SD di Indonesia seperti 40 kepala SD yang sedang mengikuti Grand Final The Best Practice, tentu akan terlihat pola-pola penerapan pendidikan karakter yang dapat diandalkan sebagai dasar bagi pendidikan selanjutnya. Hanya saja, tidak semua kepala SD dapat menjalankan program seperti ke-40 kepala SD itu. Betapa ada kesenjangan yang jauh antara yang mampu dengan yang tidak mampu meskipun sama-sama menjabat sebagai kepala SD.

Film dokumenter sekolah diputar oleh salah satu kepala sekolah. Terlihat dari film itu pembiasaan siswa saat datang ke sekolah, baris sebelum masuk kelas, berdoa, energizer sebelum memulai pelajaran, kebersihan, dan pembiasaan yang lainnya. Dia adalah kepala sekolah di SDN 132 Galung, Bone. Lalu, ada poster keberhasilan pendidikan karakter di sekolah yang ditempelkan para kepala SD. Poster itu menggambarkan aktivitas siswa dan guru. Di saat presentasi, kepala SD menunjukkan keberhasilan melalui gambar dan animasi. Betapa kepala SD itu benar-benar menunjukkan keadaan apa adanya di sekolahnya.

Pendidikan karakter merupakan hal yang esensial dalam membentuk generasi Indonesia ke depan. Meskipun, Kurikulum 2013 menghendaki keintegrasian pendidikan karakter dengan pembelajaran mata pelajaran, pendidikan karakter harus menjadi pijakan utama. Para kepala SD sangat paham tentang pengintegrasian itu. hanya saja, bagaimana dengan kepala SD yang lainnya, yang tidak pernah tersentuh dengan program semacam ini?



Senin, 18 November 2013

Gudep Berpangkalan di SD Mulai Berbenah Berkat Keseriusan Kemendikbud dan Kwarnas

Kemendikbud sangat konsisten atas pernyataan ekstrakurikuler kepramukaan yang bersifat wajib dan diutamakan. Kemendikbud melalui direktorat Pembinaan SD melangkah dengan penuh harapan untuk memberikan suntikan model gugusdepan yang berpangkalan di SD. Untuk tahun 2013 ini, kemendikbud yang bekerjasama dengan Kwarnas melalui Pusdiklatnas mengawali model gugusdepan percontohan di 12 kwarda/provinsi. Tiap kwarda diberi jatah 10 kwarcab. Lalu, tiap kwarcab dikembangkan 2 SD sebagai lokasi pengembangan gugusdepan percontohan itu. Keduabelas kwarda itu adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Jambi, Sumatera Utara, dan Lampung.

Dua sekolah di tiap kwarcab diberikan pembinaan tentang gugusdepan yang ideal. Mereka diharuskan mengembangkan hasil pembinaan dalam bentuk aksi nyata. Kemudian, sebagai bukti mereka mengembangkan, tim nasional memvisitasi aktivitasnya. Dengan instrumen yang ada, kondisi nyata pascapembinaan dipantau. Hasilnya, banyak gugusdepan yang menunjukkan hasilnya. Itulah wujud kepedulian kemendibud dalam mencanangkan kepramukaan sebagai salah satu basis pendidikan karakter.

Kemudian, sekolah yang benar-benar telah melaksanakan pola gugusdepan yang berpangkalan di sekolah akan mendapatkan bantuan sosial. Bantuan itu bertujuan untuk semakin memperkuat gugusdepan yang berpangkalan di sekolah sebagai gudep yang mampu mengimbas ke sekolah di sekitarnya. "Baru kali ini, kami mengetahui gugusdepan yang sebenarnya. Tadinya, kami hanya berlatih saja tanpa administrasi lainnya," ujar salah satu kepala SD  yang mendapatkan pembinaan itu. Tampaknya, pernyataan itu senada dengan gugusdepan yang berpangkalan di SD lainnya.

Saat divisitasi, rata-rata SD sudah menyiapkan sanggar pramuka, administrasi lengkap, papan nama, media berlatih, tenda, bendera, dan perlengkapan lainnya. Mereka terlihat serius dalam menindaklanjuti tugas dari pembinaan yang dilakukan. Meskipun, perubahan itu hanya sedikit tetapi ada peluang untuk terus berkembang menjadi gugusdepan percontohan.

Kemendikbud dengan kwarnas melalui pudiklatnas bahu-membahu untuk menyukseskan program itu. Tahun 2014, menurut rencana, semua kwarda akan dikenai program tersebut. Jadi, 21 kwarda lagi, akan dibantu untuk melaksanakan pembinaan gugusdepan di SD. 



Kenangan Kunjungan SM3T di Sumba Timur: Tidak ada Sepatu, Sandal pun Jadi



Tidak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada sepatu, sandal jepit pun jadi. Peribahasa itulah yang sangat pas untuk siswa di Sekolah Satu Atap (Satap) di Petamawai, Kecamatan Mahu, Kabupaten Sumba Timur, termasuk di sekolah lain, di tempat lain, di pelosok Sumba Timur. Satap di Mahu terletak di lembah yang diapit oleh dua bukit. Jalan menuju ke sekolah itu hanya cukup untuk satu mobil dengan perseneling gigi satu dengan jalan yang naik dan turun bertikungan tajam. Jika bersalipan dengan mobil lain, salah satu mobil harus mundur untuk mencari tempat yang agak lebar. Karena jalan yang dilalui naik turun, berkerikil, dan setapak, anak-anak sangat akrab dengan sandal jepit daripada akrab dengan sepatu. Dari SD sampai SMP, semua memakai sandal jepit untuk alas kaki mereka.
Dengan sandal jepit itu, anak-anak melintasi bukit dan menyibak rerimbunan rumput untuk pergi dan pulang dari sekolah. Kadang anak-anak menaiki bukit dengan kemiringan tinggi, kadang pula mereka menuruni bukit yang curam dan berbatu. Perjalanan yang mereka tempuh dari rumah ke sekolah sekitar dua jam atau sejauh 5 km. Demi ilmu, jalan panjang itu dilalui dengan ikhlas oleh anak-anak.
Mengapa tidak memakai sepatu? Rata-rata anak menjawab dengan serempak. “Kami tidak punya sepatu, Bapak.” Sepatu sesekali mereka gunakan jika tidak hujan atau acara khusus yang diadakan oleh sekolah, seperti upacara hari nasional. Itupun tidak semua anak mampu memakai sepatu. “Sepatu saya hanya satu, rusak lagi. Jadi, lebih baik pakai sandal saja, biar sepatu aku tidak cepat rusak,” ujar si Kuddu, siswa perempuan dari SMP. Mereka beranggapan bahwa sepatu nomor dua, yang nomor satu adalah sekolah.
Sandal jepit merupakan kelengkapan utama untuk berjalan mereka. Sandal jepit yang tipis-tipis itu mampu melapisi kulit dari sentuhan kerikil tajam, duri, dan bongkahan batu. Kemudian, ketika masuk kelas, sendil jepit itu tetap dipakai. Rasanya, anak-anak sangat nikmat dengan sandal jepit itu.
Sandal jepit yang mereka pakai pun kadang ada yang terlalu besar. Mungkin saja, itu sandal milik orang tuanya. “Sandal saya entah ke mana. Ini sandal milik bapak saya,” ujar Nobet, salah satu siswa SMP di Satap itu. Terlihat pula, mereka sangat lihai memakai sandal. Ketika berlari, berhenti tiba-tiba, meloncat, dan menendang, sandal mereka tidak terlepas. Seolah-olah, mereka sangat ahli menggunakan sandal jepit itu.
Guru SM3T di Sumba Timur yang bertugas di sekolah itu menyadari akan penggunaan sandal jepit itu. Memang, ketika pertama datang, para guru SM3T yang lama mengenyam dunia sepatu di perkotaan itu, sempat risih melihat anak-anak bersandal jepit. Namun, ketika mengetahui kondisi yang sebenarnya, mereka maklum juga. Kondisi geografis yang berat, ekonomi keluarga yang serbakurang, dan kebiasaan jalan jauh, memberikan alasan tersendiri untuk bersandal jepit. Bahkan, sekolah sangat maklum dengan kondisi itu. Siapa tahu, dari sandal jepit, mereka menjadi orang elit di kemudian hari.