Senin, 31 Maret 2008

Beda Quantum Teaching dan Quantum Learning

Pengasuh yang terhormat, saya sangat tertarik menerapkan berbagai metode pembelajaran inovatif. Namun, saya masih kebingungan dengan perbedaan Quantum Teaching dan Quantum Learning. Dapatkah saya dibantu membedakan? Apakah penerapan di dalam kelas berbeda?
Indra Rukmini SPd, Mojoagung, Jombang

Jawaban Drs Suyatno MPd

Bu Rukmini yang saya hormati, selamat ya. Ibu telah menggemari pembelajaran inovatif. Semoga akan terjadi loncatan keberhasilan mengajar sehingga memberikan dampak prestasi bagi murid-murid Ibu. Quantum Teaching dan Quantum Learning merupakan model pembelajaran yang sama-sama dikemas Boby DePorter yang diilhami dari konsep kepramukaan, sugestopedia, dan belajar melalui berbuat. Quantum Teaching diarahkan untuk proses pembelajaran guru saat berada di kelas, berhadapan dengan siswa, merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasinya. Pola Quantum Teaching terangkum dalam konsep TANDUR, yakni Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan. Sementara itu, Quantum Learning merupakan konsep untuk pembelajar agar dapat menyerap fakta, konsep, prosedur, dan prinsip sebuah ilmu dengan cara cepat, menyenangkan, dan berkesan. Jadi, Quantum Teaching diperuntukkan guru dan Quantum Learning diperuntukkan siswa atau masyarakat umum sebagai pembelajar. Sebagai guru, Ibu tentunya perlu mendalami keduanya agar bisa menyerap konsep secara utuh dan terintegrasi.

Dalam Quantum Teaching, guru sangat diharapkan sebagai aktor yang mampu memainkan berbagai gaya belajar anak, mengorkestrakan kelas, menghipnotis kelas dengan daya tarik, dan menguatkan konsep ke dalam diri anak. Prinsipnya, bawalah dunia guru ke dunia siswa dan ajaklah siswa ke dunia guru. Dalam Quantum Teaching, tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang belum berkembang karena titik sentuhnya belum cocok dengan titik sentuh yang diberikan guru. Berarti, guru perlu penyesuaian sesuai dengan kondisi siswa dengan berpedoman pada segalanya bertujuan, segalanya berbicara, mengalami sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan rayakan.

Quantum Learning merupakan strategi belajar yang bisa digunakan oleh siapa saja selain sisiwa dan guru karena memberikan gambaran untuk mendalami apa saja dengan cara mantap dan berkesan. Caranya, seorang pembelajar harus mengetahui terlebih dahulu gaya belajar, gaya berpikir, dan situasi dirinya. Dengan begitu, pembelajar akan dengan cepat mendalami sesuatu. Banyak orang yang telah merasakan hasilnya setelah mengkaji sesuatu dengan cara Quantum Learning. Segalanya dapat dengan mudah, cepat, dan mantap dikaji dan didalami dengan suasana yang menyenangkan. (*)

Memburu Roh Guru Berprestasi


Oleh: Suyatno

I
Perempuan guru, Bu Mus, dengan asyiknya berbincang dengan para siswa yang hanya berjumlah 12 anak, meskipun gedung mau ambruk, lantai kusam, dan dinding bolong-bolong. Keasyikan seorang ibu guru yang berbayar rendah itu berjalan mulus karena sesuai dengan titik sentuh murid-muridnya. Pada akhirnya keduabelas murid itu melangkah untuk menjalani perkembangan diri sesuai dengan karakteristik masing-masing. Ketika besar, anak-anak itu menjadi orang. Apakah Bu Mus yang telah membingkai keduabelas anak itu disebut guru berprestasi?
Kemudian, Pak Fredy seorang guru yang energis, sering ikut pelatihan, akrab dengan internet, dan dikenal pimpinan, selalu memenangi beberapa perlombaan untuk guru. Murid-muridnya senang akan kessuksesan Pak Fredy. Namun, dari 40 murid, hanya lima murid yang kelak mampu menemukan jati dirinya, sedangkan yang lainnya sampai tua masih mencari-cari jati diri. Hal itu terjadi karena Pak Fredy lebih mengutamakan kemajuan anak-anak tertentu asalkan materi pembelajaran dapat terlaksanakan sesuai kurikulum. Apakah Pak Fredy dapat disebut guru berprestasi?
Lain lagi dengan Pak Toyo, tidak pernah kenal internet, buta dengan lomba, dan penampilan biasa-biasa saja, namun dia mengenali muridnya satu demi satu sehingga mampu menentukan menu pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing anak. Pak Toyo selalu datang ke sekolah tepat waktu, menyapa anak, dan melihat materi yang akan diajarkan. Kebiasaaan itu menjadi warna sehari-hari Pak Toyo. Murid-muridnya mampu menembus jati diri masing-masing sehingga berkembang sampai pada tingkat pendidikan yang tertinggi dan mendulang pekerjaan sesuai dengan karakternya. Apakah Pak Toyo disebut guru berprestasi?
Sebenarnya, kita sangat susah menentukan apakah guru itu berprestasi atau bukan sebelum mengetahui apa yang dimaksud dengan berprestasi. Kalau guru prestasi diukur melalui keberhasilan anak menemukan jati dirinya, Ibu Mus dan Pak Toyolah yang disebut berprestasi. Namun, jika berprestasi dimaknai sebagai sering menang lomba, jago internet, dan dekat dengan pimpinan, Pak Fredylah yang jadi guru berprestasi. Kalau kedua orang itu dikatakan sebagi guru yang berprestasi, guru lain yang jumlahnya mungkin ribuan bahkan jutaan di Indonesia yang tidak akan seperti kedua guru dapat dikatakan tidak berprestasi. Artinya, saya dan pembaca yang lain pernah dan bahkan selalu diajar oleh guru yang tidak berprestasi.

II
Kata berprestasi mengarah pada keunggulan, keberhasilan, dan kepuncakan sesuatu. Kalau memang demikian artinya, sangat susah untuk menentukan apakah seorang guru itu berprestasi atau bukan. Prestasi sebenarnya merupakan perwujudan makna kesadaran penuh seseorang. Seseorang mecuci piring lalu piring itu bersih bukan sebuah prestasi, tetapi seorang mencuci piring mencoba untuk lebih sadar dalam mencuci piring, lebih menyadari gerakan tangannya dan menyadari perbuatannya demi kesehatan orang lain justru itulah yang lebih dapat dikatakan berprestasi. Begitu pula guru yang mengajar lalu nilai anak itu tinggi bukanlah sebuah prestasi. Namun, guru yang mengajar sehingga nilai anak itu tinggi kemudian merasakan kesadaran penuh proses mengajarnya, sadar akan perubahan yang terjadi dalam diri muridnya, dan sadar bahwa nilai tinggi itu memberikan motivasi bagi anak untuk berjuang lagi dapat dikatakan sebuah prestasi.
Oleh karena itu, siapapun guru itu perlu untuk mencoba mengambil peran aktif dalam membangkitkan kesadaran dirinya. Pada akhirnya, kesadaran sebagai seorang guru menjadi dasar dari segalanya, termasuk semua tindakan, semua pikiran, dan semua perasaannya. Seorang master dari Tibet (dalam Zen Meditation, 2004:110), berkata bahwa menggabungkan kesadaran dan tindakan seperti mencampur minyak dengan air, seperti mencoba keluar dari kulit kita sendiri. Oleh karena itu, guru berprestasi tidak perlu mencampurkan antara kesadaran tindakan, pikiran, dan perasaan namun cukup menyinergikan ketiga aspek itu. Guru yang mempunyai kesadaran penuh dapat dikatakan telah masuk pada wilayah kebenaran sebuah pembelajaran. Jadi, guru berprestasi adalah mereka yang berada dalam sebuah kebenaran.
Kebenaran tentang hubungan dengan murid, kebenaran dalam penggunaan media, kebenaran memilih materi, kebenaran memainkan metode, kebenaran sebagai seorang guru, dan kebenaran tentang jembatan sebuah kehidupan merupakan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Ibu Atik, yang sadar bahwa dalam pemahaman sebuah konsep ilmu, anak memerlukan sarana untuk masuk dalam titik sentuhnya. Ibu Atik dapat dikatakan telah mempunyai pemahaman pada sebuah kebenaran media. Pak Giran, yang sadar bahwa kedekatannya dengan murid menumbuhkan kekuatan cinta dapat dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan kebenaran berhubungan dengan muridnya. Pak Mukhson, yang sadar tidak semua materi cocok dengan muridnya kecuali materi yang telah diseleksi dapat dikatakan sebuah telah memahami kebenaran dalam pemilihan materi. Begitu pula seterusnya, guru membangun kebenaran sejati untuk masuk dalam ruang pendidikan yang sebenarnya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan berprestasi merupakan wujud dari sebuah pencapaian kebenaran. Guru berprestasi adalah guru yang berada dalam roh kebenaran sejati yang sadar akan citra diri berdasarkan ketulusan dan keikhkasan. Sebaliknya, guru yang tidak berprestasi adalah guru yang pura-pura berada dalam jalur kebenaran tetapi justru merusak perkembangan anak baik secara pelan-pelan maupun frontal.
Sebenarnya, secara kodrati semua manusia berada dalam lingkungan kesadaran atas sebuah kebenaran kehidupan sehingga melahirkan ketulusan dan keikhlasan. Begitu pula guru, sebagai seorang manusia secara alamiah mempunyai aliran roh kebenaran yang mampu diwujudkan dalam situasi ketulusan dan keikhlasan. Namun, tidak semua guru menyadari akan kekayaan dirinya atas roh kebenaran karena tertutup oleh kemalasan, egoisitas, berpikir pendek, jalan pintas, tidak mau susah, dan cepat puas. Secara realitas justru jumlah guru yang lupa akan roh kebenarannya lebih banyak daripada yang mempunyai kebenaran sejati. Akibat sistem pendidikan yang belum menyentuh roh kebenaran pendidikan, budaya jalan pintas masyarakat, dan tuntutan ekonomis.
Saat ini, guru berprestasi hanya diukur melalui kuantitas portofolio guru dan hasil ucapan guru ketika di depan dewan jurinya saat lomba berlangsung. Tidak pernah guru berprestasi tersebut diukur secara mendalam tentang kepemimpinan, kepribadian, ketulusan, dan keikhlasan kepada murid maupun masyarakat sekitarnya. Lihat saja, sekarang guru sudah tidak dapat digugu dan ditiru murid-muridnya apalagi oleh masyarakatnya. Guru hanyalah sebagai sebuah instrumen yang melengkapi sebuah mesin untuk memproduksi hasil berupa angka-angka. Bahkan, secara individu tidak lagi didapati jiwa guru yang penuh dengan roh kebenaran sehingga banyak guru yang tidak yakin bahwa dirinya benar-benar seorang guru.
Semua orang sebenarnya seorang guru manakala mampu mengubah generasi muda dari belum tahu menjadi tahu, dari belum mengerti menjadi mengerti, dari belum paham menjadi paham, dari belum bisa menjadi bisa, dan dari brutal menjadi jiwa yang halus. Hakikatnya guru adalah bagian dari hierarki moral. Melalui mereka atau lebih tepatnya melalui kebijaksanaan mereka, rakyat dituntun agar tetap berada di jalan yang benar. Mulder menyebutkan bahwa guru adalah orang yang memiliki wahyu untuk membagi pewahyuan, membagi kebenaran kepada murid sehingga murid tersebut mempunyai kebijaksanaan (2007:189).
Guru berprestasi bukanlah sebatas sebuah instrumen bagi sebuah perjalanan program pendidikan, namun merupakan roh kehidupan agar menajadi kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai guru yang benar-benar berprestasi luar dalam perlu waktu dan perubahan budaya serta paradigma berpikir dari semua elemen masyarakat. Memang tampaknya sangat susah mewujudkan guru berprestasi yang berdasarkan roh kebenaran, tetapi kalau didekati dengan kebenaran dari berbagai pihak akan menjadi sebuah gambaran nyata.

III
Guru berprestasi masa kini ditentukan oleh sebatas apa guru tersebut mengerti, memahami, dan menerapkan pembelajaran yang sesungguhnya. Mereka tidak lagi berada dalam pusaran pengajaran yang mengutamakan dominasi tunggal melainkan berada dalam posisi fasilitator yang dilaogis. Secara nyata, telah terjadi perubahan paradigma dari pengajaran ke pembelajaran. Oleh karena itu, guru secara teknis dalam mengejawantahkan roh kebenaran sebaiknya melalui rel pembelajaran.
Pembelajaran menjadi orientasi proses menumbuhkembangkan pribadi siswa karena selama ini (1) pendidikan dipandang tidak mampu memanusiawikan siswa secara tepat dan sesuai dengan jati dirinya; (2) pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk peserta didik; (3) pendidikan yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi (content transmission). Tugas pengajar hanya sebagai penyampai pokok bahasan. Mutu pengajaran menjadi tidak jelas karena yang diukur hanya daya serap sesaat yang diungkap lewat proses penilaian hasil belajar yang artifisial. Pembelajaran tidak diarahkan kepada partisipatori total dari peserta didik yang pada akhirnya dapat melekat sepenuhnya dalam diri peserta didik; (4) aspek afektif cenderung terabaikan; (5) diskriminasi penguasaan wawasan terjadi akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya dibandingkan dengan yang di daerah, yang di daerah merasa mengetahui semuanya dibandingkan dengan yang di cabang, yang di cabang merasa lebih tahu di bandingkan dengan yang di ranting, begitu seterusnya. Jadi, diskriminasi sistematis terjadi akibat pola pembelajaran yang subjek—objek; dan (6) pengajar selalu mereduksi teks yang ada dengan harapan tidak salah melangkah. Teks atau buku acuan dianggap segalanya jika telah menyampaikan isi buku acuan berhasillah dia.
Pembelajaran masa kini dirancang dengan berbagai model pembelajaran berdasarkan multikarakter siswa dan multikonteks belajar dengan berorientasi pada konsep bahwa (1) setiap peserta didik adalah unik. Peserta didik mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan membunuh keunikan tersebut. Keunikan harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang; (2) anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Jalan pikir anak tidak selalu sama dengan jalan pikir orang dewasa. Orang dewasa harus dapat menyelami cara merasa dan berpikir anak-anak. Yang terjadi justru sebaliknya, pendidik memberikan materi pelajaran lewat ceramah seperti yang mereka peroleh dari bangku sekolah yang pernah diikuti; (3) dunia anak adalah dunia bermain tetapi materi pelajaran banyak yang tidak disajikan lewat permainan. Hal itu salah satunya disebabkan oleh pemberian materi pelajaran yang jarang diaplikasikan melalui permainan yang mengandung nuansa filsafat pendidikan; (4) usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia. Namun, dunia pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi kreativitas anak.
Pada kenyataannya, pola pengajaran dengan ciri berpusat pada guru itu memang sulit untuk dihindari karena guru terlanjur mempunyai memori yang kuat dan melekat sejak pertama mengajar sampai saat ini. Hasilnya, alih-alih siswa paham akan konsep pembelajaran, dia malah tidak paham akan materi yang diberikan selama pembelajaran karena lebih banyak mengantuk, mengobrol, dan asyik dengan gambar di bukunya. Sang guru senang karena pembelajaran terasa tenang, senyap, diam, dan semua wajah tertuju pada guru dengan bibir terkatup tanda setuju. Begitulah warna pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai konsumen. Sudah saatnya, guru menjadi subjek yang dinamis dan kreatif sehingga mampu menyerap perkembangan pembelajaran masa kini. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kolom berikut ini.
Tabel 1: Perlakuan guru terhadap siswa di kelas
Siswa sebagai `Konsumen' Siswa sebagai `Produsen'
- Mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap materi yang disajikan
- Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut pikirannya
- Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru atau imengulangi nformasi yang tertuang dalam buku teks.
- Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti `kita perlu membuat kali………' , kata guru dan siswa meneruskan dengan `maaaat'.
- Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan `resep' rinci dari guru.
- Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis laporan seperti ini, cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong yang disediakan.
- Ketika seorang siswa bertanya, `Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?'. Guru langsung mengatakan, `Kamu tahu kan bahwa teori itu hanya bias diterapkan di Eropa saja, ya…kan'. Jawaban guru disertai wajah sisnis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai pertanyaan konyol.
- Mengajukan pertanyaan, berkomentar terhadap suatu pendapat, menjawab pertanyaan secara kreatif
- Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.
- Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil penalaran logis
- Mengomentari jawban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya atau ketidaksetujuaan
- Menghasilkan karya dalam bentuk model, tulisan, produk teknologi sederhana
- Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci
- Ketika seorang siswa bertanya, `Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?'. Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, `Menurutmu bagaimana dapat atau tidak diterapkan? `Kalau dapat, apakah teori itu mengalami penyesuaian?' `Kalau tidak dapat, apakah tidak teori itu digantikan teori lain?'
Guru berprestasi tidaklah akan cepat puas dengan salah satu tindakan yang dilakukannya di dalam kelas sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi dirinya, siswa, dan kepentingan akademis. Banyak jalan menuju Roma, begitu pula banyak jalan untuk menjadi guru yang terbaik di antara yang baik. Guru yang seperti itu biasanya apabila mengajar selalu:
1. berpusat pada siswa
2. lebih senang pola induktif daripada deduktif
3. menarik dan menantang dalam menyajikan mata ajar
4. berorientasi pada kompetensi siswa
5. menekankan pembelajaran bukan pengajaran
6. memvariasikan model dan teknik pembelajaran
7. menggunakan sentuhan manusiawi
8. menggunakan media belajar yang menghasilkan pesan maksimal
9. menilai secara autentik
10. mengedepankan citra mengajar
Berikut ini tabel perbandingan pola mengajar konvensional dengan pola multimodel.
Tabel 2: Perbandingan Pola Mengajar
Pola Konvensional Pola Multimodel
- Guru berceramah apapun materinya.
- Guru melakukan berbagai cara seperti: kata kunci, skema, resume, gambar, menyusun potongan konsep, isian lanjutan, analogi, permainan, dst.

Pada kenyataannya, guru berprestasi belum menjadi bagian dari hidup seorang guru secara otomatis dan serta merta karena taraf hidup yang masih di bawah standar. Hal tersebut menjadi sebuah catatan penting dalam menapaki budaya prestasi seorang guru. Untuk itu, perlu upaya pemberdayaan guru dengan (1) menaikkan tarap hidup melalui penguatan kesejahteraan, (2) mentransplantasikan pembelajaran modern secara top-down, (3) menguatkan kesadaran alamiah secara bottom-up, (4) membangun budaya kinerja yang berorientasi pada roh kebenaran pendidikan, (5) dan meningkatkan kadar ketangguhan, kekenyalan, dan keswadayaan guru.

IV
Dengan begitu, amatlah jelas bahwa guru berprestasi merupakan aspek penting dalam kemajuan pendidikan di sekolah. Apalagi, saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam pelaksanaan pendidikan bagi warganya melalui diversifikasi kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulum tersebut pada akhirnya dapat menjamin hasil pendidikan bermutu yang dapat membentuk masyarakat Indonesia yang damai/sejahtera, demokratis, dan budaya saing untuk maju. Di sisi lain, perubahan zaman yang semakin cepat menuntut pembelajaran dapat mengimbangi perubahan tersebut.
Mengajar merupakan tugas yang sangat kompleks. Tugas kompleks tersebut tentunya juga dimiliki oleh guru berprestasi. Menurut Arends (dalam Kardi dan Nur, 2000:6), menjadi seorang guru berprestasi memerlukan sifat-sifat sebagai berikut.
a. Guru yang berhasil memiliki kualitas pribadi yang memungkinkan ia mengembangkan hubungan kemanusiaan yang tulus dengan siswa, orang tua, dan kolega-koleganya.
b. Guru yang berhasil mempunyai sikap yang positif terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menguasai dasar-dasar pengetahuan tentang belajar dan mengajar; menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan cara belajar; dan menguasai pengajaran dan pengelolaan kelas.
c. Guru yang berhasil menguasai sejumlah keterampilan mengajar yang telah dikenal di dunia pendidikan untuk mendorong keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar.
d. Guru yang berhasil memiliki sikap dan keterampilan yang mendorong siswa untuk berpikir reflektif dan mampu memecahkan masalah. Mereka memahami bahwa belajar pengelolaan pembelajaran yang baik merupakan proses yang amat panjang sama halnya dengan profesi lain, yang memerlukan belajar dan interaksi secara berkelanjutan dengan kolega seprofesi.
Pembelajaran apapun yang digunakan guru, Dryden dan Vos (2000:296) secara khusus menyarankan kepada guru agar menggunakan enam kiat mengajar dengan efektif apabila mengharapkan hasil belajar siswa secara maksimal. Keenam kiat mengajar dengan efektif di kelas sebagai berikut.

a. Ciptakan kondisi yang benar
1) Orkestrakan lingkungan
2) Ciptakan suasana positif bagi guru dan murid
3) Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
4) Tentukan hasil dan sasaran; AMBAK—Apa Manfaatnya Bagiku?
5) Visualisasikan tujuan Anda
6) Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
7) Pasanglah poster di sekeliling dinding

b. Presentasikan dengan benar
1) Dapatkan gambar menyeluruh dahulu, termasuk perjalanan lapangan
2) Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
3) Gambarlah, buatlah pemetaan pikiran, dan visualisasikan
4) Gunakan konser musik aktif dan pasif

c. Pikirkan
1) Berpikirlah kreatif
2) Berpikirlah kritis—konseptual, analitis, dan reflektif
3) Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
4) Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk menyimpan informasi secara permanen
5) Berpikirlah tentang pikiran Anda

d. Ekspresikan
1) Gunakan dan praktikkan
2) Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi, sandiwara—untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan

e. Praktikkan
1) Gunakan di luar sekolah
2) Lakukan
3) Ubahlah murid menjadi guru
4) Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah Anda miliki

f. Tinjau, Evaluasi, dan rayakan
1) Sadarilah apa yang Anda ketahui
2) Evaluasilah diri/teman/dan siswa Anda
3) Lakukan evaluasi berkelanjutan

V
Dari kupasan di atas, tampak jelas bahwa guru berprestasi memerlukan perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran bergeser ke pembelajaran. Perubahan tersebut tentunya membutuhkan orang-orang yang berani menguji, memperbaiki, bahkan mengubah sistem dengan menyesuaikan realitas yang ada dan berkembang selama ini di masyarakat. Orang-orang tersebut meyakini bahwa dunia sudah berubah. Kemudian, mereka juga harus siap berubah. Mereka tidak hanya terkungkung oleh dunia verbalistis, yakni hanya sanggup berbicara tetapi tidak pernah berani menerapkannya atau tidak dapat menerapkannya. Mereka tidak pula hanya NATO (Nothing Action Talk Only) alias pandai berbicara tanpa pernah melakukan aksi nyata. Bukan mereka yang merasa bisa tetapi tidak bisa dan bukan pula mereka yang menutup diri dari kiprah anak-anak muda karena takut ketahuan ketidakmampuannya. Melainkan, mereka harus konsisten dengan omongannya, berani melakukan ujicoba, tidak takut salah, dan tidak sungkan-sungkan bertanya kepada yang tahu dan mengerti, terbuka, dan akomodatif terhadap ide yang berkembang. Itulah yang dinamakan guru berprestasi.
Saat ini, semua lembaga pendidikan mulai berbenah ke arah konsep pendidikan yang baru. Sekolah formal pun mulai menerapkan kurikulum baru yang mengarah kepada kompetensi dasar dan bermanajemen berbasis sekolah. Kemudian, para orang tua mulai melirik sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pendidikan, dan sanggar-sanggar pendidikan yang megutamakan keunggulan. Guru berprestasi juga tentunya harus mengikuti arus perubahan dan berani mengubah paradigma pendidikan. Bukan malah bertahan dalam Status Quo, membentengi diri dengan alasan semua pembaruan sudah ada dalam diri mereka, bukan barang baru, kita semua bisa, dan seabrek alasan lainnya. Yang paling penting adalah berbuat aksi senyatanya dengan mencoba dan mengolah berbagai model pembelajaran berdasarkan kompetensi yang akan dicapai.

Daftar Pustaka

Ardiana, Leo Idra. 2001. Pembelajaran Kontekstual. Makalah.
Bahruddin, Ahmad. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah. Jogjakarta: LKIS.
Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice-Hall.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud. 1993. Kurikulum Bahasa Indonesia di MA/MA. Jakarta: Depdikbud.
De Porter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
---------. 1999. Quantum Bussines. Bandung: Kaifa.
---------. 2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Dryden, Gordon dan Vos, Jeanette. Revolusi Cara Belajar (bagian I dan II). Bandung: Kaifa.
Fakih, Mansur, dkk. 2001. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis. Jogyakarta: Insist dan Read Book.
Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis (terj. Hartoyo). Semarang : IKIP Semarang Press.
Gardner, Howard. 2003. Kecerdasan Majemuk. Batam: Interaksara.
Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc.
Low, Albert. 2004. Zen Meditation: Jurus Jitu Menenangkan Jiwa. Jogjakarta: Saujana.
Mulder, Niels. 2007. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Jogjakarta: LKIS.
Nur, Muhammad. 2000. Strategi-Strategi Pembelajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, Unesa.
Rooijakkers, 1982. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia.
Silberman, Melvin L. 2004. Active Learning. Bandung : Nusa Media.
Sindhunata (ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Jogyakarta: Kanisius.
Suyatno dan Subandiyah, Heny. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Modul Pelatihan Guru Terintegrasi Berbasis Kompetensi.
Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.
Suyatno. 2005. Permainan Penunjang Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grasindo.
Shor, Ira dan Freire, Paolo. 2001. Menjadi Guru Merdeka, Petikan Pengalaman. (terjemahan Nashir Budiman). Jogyakarta: LKIS.

*) Drs. Suyatno, M.Pd adalah Ketua Jurusan Bahasa Indonesia, Unesa. Makalah disampaikan dalam Seminar “Kiat dan Strategi Menjadi Guru Berprestasi” yang diadakan oleh Klub Guru, di Auditorium Indosat, tanggal 23 dan 30 Maret 2008

Guru Stres, Murid Harus Berbuat Apa?


oleh suyatno

Siswa stres dalam belajar kemudian ditangani oleh guru sehingga dapat kembali normal adalah hal yang biasa. Lalu, bagaimana jika guru stres? Apa yang harus dilakuan siswa terhadap guru stres tersebut? Siswa, bisa jadi menjadi obatnya.
Belakangan ini, banyak guru berbuat di pusaran stres. Ada guru gantung diri, menempelengi siswa, menghajar siswa, mengamuk ke kepala sekolah, menghujat istri, dan bahkan berteriak-teriak tanpa henti. Guru sendiri tentunya tidak dapat menyembuhkan stres tersebut.
Cobaalah berinisiatif agar siswalah yang menjadi obat stres guru. Siswa perlu secara sadar mengetahui bahwa guru bukanlah insan yang mahatahu, mahapintar, dan mahabisa. Untuk itu, siswa perlu berinisiatif untuk menjadi "guru" bagi guru yang sekarang dilanda kegamangan hidup ini.
Berbagai cara dapat dilakukan, seperti membuat pertemuan yang diinisiasi siswa, melakukan dialog yang mengundang guru, mengadakan pesta ulang tahun dengan mengundang guru tetapi yang menyambut hanya siswa saja, dan sebagainya. Tersenyumlah kepada guru yang stres sebab berkat senyum siswa yang alamiah dapat memberikan obat yang luar biasa. Dekatlah ke guru meskipun guru tidak mendekat ke siswa. Ajak semua siswa untuk dekat ke guru dengan menebar pesona. Buktikaqnlah bahwa siswa mampu menunjukkan perilaku yang diminta guru.
Siswa berprestasi pasti tanggap akan kondisi guru saat ini yang mengalami guncangan akibat tidak dapat mengendalikan diri pribadi. Memang banyak guru yang kuat dan tahan bahkan ada guru yang mampu lolos dari guncangan perubahan sehingga menjadi berprestasi. Sebaliknya, ada guru yang selalu diam, ragu-ragu, merusak kiprah guru lain, apa adanya, dan ogah-ogahan dalam mengajar. Guru yang diam itulah yang patut dicurigai, janagan-jangan guru itu masuk ke pintu stres.

Minggu, 30 Maret 2008

Kapal Itu Bernama Guru


Oleh Suyatno

Kapal yang berlayar akan mampu membawa semua awak dan penumpangnya ke pulau tujuan dengan selamat sehingga semua penumpangnmya dapat mewujudkan keinginan ke tujuan masing-masing. Kapal yang seperti itu adalah kapal yang dinakhodai oleh seorang yang bertanggung jawab, berpusat pada keselamatan penumpang, dan memberikan kegembiraan kepada penumpang sehingga tidak jenuh di kapal. Dalam kapal itu, juga tersedia tempat-tempat yang disenangi penumpang sehingga penumpang lupa akan kejenuhan, kekhawatiran, dan ketakutannya. Penumpang dapat bebas ke sana dan ke mari di dalam kapal karena laju kapal itu diatur agar tidak memunculkan goncangan tinggi akibat terjangan ombak.
Guru yang baik juga dapat disamakan sebagai kapal yang mampu menampung muridnya ke pulau tujuan. Guru tersebut mengenali karakteristik murid dengan detail, mendalam, dan sehati. Dengan begitu, guru dapat dengan tepat memberikan layanan bagi muridnya. Kemudian, guru memberikan lahan pikiran, sikap, dan geraknya untuk dijelajahi murid dengan suasana yang tidak menjenuhkan, kekhawatiran, dan bahkan ketakutan. Saat proses pembelajaran berjalan pun, guru mengatur irama layanan dengan tenang sehingga tidak goyang karena ombak hambatan.
Bagaimana agar guru dapat menjadi kapal yang baik bagi muridnya? Pertama, identifikasilah karakteristik murid dengan detail, rinci, dan mendalam. Kedua, siapkan segala sarana dan sarana yang sesuai dengan karakteristik murid sebagai penumpang kapal pembelajaran nantinya. Ketiga, siapkan menu perjalanan dengan mengatur iramanya, bawalah murid ke gelombang pembelajaran yang menyenangkan sehingga tidak merasa belajar meskipun sesungguhnya belajar. Keempat, nilailah perkembangan perjalanan kapal pembelajaran dengan melihat tingkat kapasitasi murid, kelima, antarkan mereka ke pelabuhan cita-cita yang sesuai dengan jatidirinya.
Guru sebagai kapal senantiasa mengutamakan penumpangnya, yakni murid dengan senang hati. Hati guru menjadi nakhoda yang mampu mengajak pikiran, sikap, dan perilaku ke alur laut dengan tepat. Pandangan guru mengarah ke ufuk tujuan sehingga sesuai dengan perjalanan kapal pembelajaran.
Murid sebagai penumpang kapal pembelajaran perlu dikelompokkan berdasarkan kecerdasan masing-masing sehingga mempermudah layanan. Murid yang cerdas matematika logis diberikan menu kamar kapal yang bertumpu pada hitungandan deretan angka, muirid yang cerdas bahasa diberikan menu layanan kapal yang berujung pada proses berbahasa, yakni dengan soal cerita, praktik cerita dan sebagainya.
Tidak semua guru dapat menjadi nakhoda dalam kapal pembelajarannya. Untuk itu, hati guru selaku nakhoda kapal perlu senantiasa dilatih, diberi kepercayaan, dan diserahi tanggung jawab yang total. Dengan begitu, kapal guru akan dinakhodai hati dengan penuh ketulusan, keikhlasan, dan tanggung jawab. Bagaimana komentar Anda?

Sabtu, 29 Maret 2008

Berbicaralah Sebelum Dibicarakan Orang

Oleh suyatno

Salah satu harta manusia yang berharga adalah alat ucap yang secara sinergis bekerja sama dengan otak, telinga, gerak, mata, dan lainnya sehingga mampu bereksistensi dalam kehidupan ini. Sejalan dengan pertumbuhan biologis manusia, berbicara seseorang menjadi terlatih ibarat tentara yang siap perang. Berbicara merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang tiada terkira.
Lalau, bagaimana dengan orang yang tidak dapat berbicara atau tidak memanfaatkan kemampuan berbicaranya? Tentunya, orang yang demikian itu dapat dikatakan merugi. Berbicaralah sebelum dibicarakan orang. Berangkatlah dari kemampuan berbicara diri yang dibumbui gagasan dengan penampilan bicara yang menyenangkan. Dengan begitu, komunikasi akan terjalin dengan apik pula.
Memang, tidak semua orang dapat berbicara dengan baik saat bertemu dengan orang lain bahkan bersua dengan khalayak ramai. Ketidakmampuan itu dipengaruhi oleh pembiasaan berbicara yang kurang. Ingatlah, pedang akan tajam jika semakin diasah. Begitu pula, berbicata seseorang akan baik jika sering dilatih dalam kesempatan apapun. Berbagai usaha perlu dilakukan. Lalu, usaha apa saja?
Kita akan dapat mengenali secara cepat seseorang yang mahir berbicara atau yang tidak mahir berbicara. Gagap, terbata-bata, diulang-ulang, banyak luncuran eh, berputar-putar kalimatnya, dan membosankan merupakan ciri berbicara orang yang tidak terasah dalam berbicara. Sebaliknya, menyenangkan, jelas, sederhana, empati, dan serius merupakan ciri orang yang telah tersah berbicaranya. Mengapa sampai terjadi ciri seperti itu? Itulah problem yang perlu kita jawab.
Berbicara berpotensi untuk melejitkan seseorang ke puncak keberhasilan. Bagaimana caranya?

Jumat, 28 Maret 2008

Sertifikasi Guru Mendulang Kesadaran Baru

suyatno
Sertifikasi guru sebagai program lisensi guru membarikan dampak bagi kesadaran baru bagi guru di daerah masing-masing. Saat ini, tiap minggu atau tiap hari libur, banyak guru berbondong-bondong menuju tempat pelatihan karena ingin mendapatkan sertifikat diklat atau seminar. Hal itu sangat wajar karena mereka tersentak batinnya bahwa posisi diri untuk layak disertifikasi belum memenuhi angka yang ditargetkan. Angka demi angka dikumpulkan oleh guru. Sebuah kegiatan yang wajar.
Rasanya, kalau kita melihat langsung kegiatan tiap minggu mereka dalam diklat di mana pun tempatnya, terasa bahwa terjadi fenomena gunung es. Masih banyak guru yang selama mengajarnya tidak pernah mempunyai pengalaman yang dibuktikan oleh piagam keikutsertaan. Itulah sebuah tanda bahwa tealah muncul kesadaran baru dalam tubuh guru.
Hanya saja, kesadaran itu akan teracuni oleh jalan pintas, instan, dan seolah-olah jika pihak penyelenggara pelatihan melakukan kegiatan yang asal-asalan. Penyelenggaran pelatihan, lembaga apapun namanya, hendaknya juga serius menangani kegiatan pelatihan sehingga sekali dayung dua-tiga pulau terlampau. Guru dalam pelatihan mendapatkan sertifikat juga sekaligus mereka mendapatkan wawasan, pemahaman, dan cara mengaplikasikan pembelajaran. Pihak penyelenggara pelatihan haruslah konsisten akan pentingnya pembaharuan pendidikan, yang salah satunya melalui penguatan kinerja guru.
Untuk guru, sebaiknya, pilihlah pelatihan yang memang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan menu diklat yang bermanfaat bagi diri guru. Guru harus menjadi subjek yang mampu memberikan keputusan untuk ikut tidaknya dalam sebuah diklat. Masih banyak diklat yang bermutu dan tinggalkan yang hanya pura-pura bermutu. Ketegasan dalam memilih diklat bermutu merupakan langkah yang jitu dan bagus bagi seorang guru.
Pelatihan bermutu biasanya ditandai oleh penyaji yang bermutu, pelaksana berpengalaman, dan lembaga penyelenggara yang mapan. Bertanyalah kepada orang lain tentang siapa penyaji itu jika belum kenal sebelumnya.
Jangan terkecoh dengan judul diklat karena judul diklat kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bertanya secara detail ke panitia sangat baik. Jadi, lakukanlah. Semakin ikut banyak pelatihan akan semakin baik.

Kamis, 27 Maret 2008

Benarkah Dirimu Seorang Humas?


Suyatno

Sebatas apakah dirimu mampu membangun citra diri bagi diri sendiri, oranglain, dan khalayak ramai? Tentu, kita tidak akan pernah tahu kecuali dengan bertanya kepada orang lain tentang kita atau melihat gejala yang tampak dari orang lain kepada kita. Jika kamu kentut di sela kerumunan lalu seorang dari kerumunan itu dengan cepat menutup hidung sambil memandangi wajahmu, itu artinya orang tersebut telah memberikan reaksi atas citra dirimu. Begitulah ukurannya untuk melihat daya efek atas peran kita.
Kita adalah seorang humas karena selalu berkaitan dengan orang lain, tiap detik dan tiap menit. Dampak dari kedekatan kita terhadap orang lain adalah pemunculan citra yang baik dan buruk. Kalau bercitra baik, kita akan segera ditanggapi secara positif. Orang akan mendekat, bergabung, dan menerima setiap pesan informasi dari kita. Sebaliknya, jika citra buruk yang ditampilkan, orang lain akan mereaksi dengan menjauh, mencemooh, melawan, dan bahkan melakukan tindakan yang merusak kita. Jadi, jalan satu-satunya untuk tampil dengan baik haruslah bercitra diri baik.
Seorang humas sejati harus penuh simpati dan empati kepada siapa saja. Bahasa yang diproduksinya selalu memberikan daya tanggap menyenangkan, menantang, dan memberikan kedamaian. Bahasa tubuhnya memberikan kesejukan bagi siapa saja yang melihat. Kemudian, gagasan-gagasan yang dikeluarkan selalu memberikan warna kemenarikan. Humas sejati tidak akan pernah berhenti belajar dari fenomena apa saja. Dirinya adalah citra sejati.
Orang yang yakin akan citra diri masing-masing mengandung kehebatan potensi yang mampu meledakkan dunia adalah orang yang mampu menikmati kehidupan. Siapapun dapat menempuh jalan keyakinan asalkan sadar bahwa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
Mulutmu adalah harimaumu, buruk muka cermin dibelah, berjalan peliharalah kaki bicara peliharalah lidan, dan pepatah yang sejenis lainnya merupakan pertanda bahwa citra diri sangat diutamakan dalam berkehidupan. Dirimu adalah humasmu. Kalimat itulah yang cocok untuk mengatakan bahwa tampilan citra diri membungkus prestasi yang sesungguhnya dalam hidup. Bagaimana komentar Anda?

(Bahan UTS) Semua Orang Mempunyai Jiwa Kehumasan











Oleh Suyatno

Tidak satupun orang, ketika akan bepergian, tanpa merias wajah, menisir rambut, dan menggunakan baju yang sesuai sebelum berada di tempat tujuan, yakni pesta, kuliah, belanja, atau kegiatan apa saja. Cermin digunakan untuk melihat diri sendiri sambil bertanya, "apakah aku sudah pantas untuk tampil seperti ini?". Bahkan, seseorang dapat berkali-kali melihat cermin dalam sebuah kesempatan di suatu hari hanya untuk meyakinkan diri; pantas atau tidak. Hal yang dilakukan itu sebenarnya sudah merupakan sebuah tindakan kehumasan.
Tindakan kehumasan merupakan perwujudan strategi humas yang berdasarkan strategi humas yang dirancang sebelumnya. Banyak tindakan kehumasan yang sesuai dengan prinsip dasar strateginya tetapi juga banyak tindakan kehumasan yang menyimpang dari strategi dasarnya. Agar tindakan kehumasan sesuai dengan strategi dasarnya, hal apakah yang perlu dilakukan bagi seseorang?
Semua orang mempunyai jiwa kehumasan yang melekat sejak lahir. Jiwa kehumasan tersebut pada perkembangan berikutnya ada yang muncul dalam diri manusia sebagai sesuatu yang dominan sehingga dapat dilihat citra diri seseorang. Namun, ada manusia yang tidak pernah tahu dan percaya akan citra dirinya. Banyak penyebab yang perlu dicari mengapa seseorang mampu menunjukkan citra dirinya. Kemudian, banyak pula penyebab yang juga perlu dicari mengapa seseorang tidak dapat membangun citra dirinya. Apa penyebab keduanya? Tentunya, jika kedua penyebab itu dicari akan semakin menambah keyakinan diri untuk tampil di depan umum secara apik. Sebenarnya, apa saja sih yang diperlukan manusia untuk membangun jiwa kehumasannya? Silakan berkomentar.

Rabu, 26 Maret 2008

Jangan Jadi Pendidik ala Plato

SURABAYA - "Apakah bapak ibu seorang guru? Benar-benar seorang guru?" Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Drs Suyatno MPd dalam semiloka pendidikan Peduli Profesionalitas Guru (PPG) kemarin. Di hadapan lebih dari 300 guru di Aula Telkom Divisi Regional V Jawa Timur, Suyatno meminta para guru memenuhi satu syarat sebelum memulai semiloka.

"Mari bersama-sama membuang hambatan. Mari kita berteriak, aku bebas!" tutur pakar pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut lantas diikuti para peserta. Dalam semiloka Metode dan Media Pembelajaran Inovatif itu, Suyatno ingin melihat guru terus bebas meng-up date diri.

Jangan sampai para guru menjadi pendidik ala Plato. "Zamannya Plato, cara mengajarnya teori mental, alias ceramah. Itu 400 tahun sebelum Masehi," katanya. "Masak ibu-bapak guru masih seperti itu? Gaya 400 tahun sebelum Masehi dong...," sambungnya penuh sindir.

Menurut Suyatno, metode dan media pembelajaran harus dibuat berubah-ubah, bervariasi, dan sekreatif mungkin. Apalagi pelajaran-pelajaran yang dianggap siswa sebagai momok. Metode kontekstual, menurut dia, terangkum dalam tujuh hal.

Yakni, inkuiri (menemukan dengan bertanya dan observasi), pemodelan, masyarakat belajar (pembelajaran kelompok), konstruktif (menyusun konsep), pertanyaan, penilaian autentik (penilaian proses dan hasil), serta refleksi. "Metode tersebut dapat diterapkan ke dalam banyak kegiatan," katanya.

Misalnya inkuiri, siswa dapat langsung mengobservasi subjek pelajaran. "Tapi jangan lupa, guru juga harus terlibat langsung," tegasnya. Penting bagi guru untuk belajar dan mengalami bersama-sama siswanya. Sebab, dengan demikian siswanya bakal mendapat pengalaman simulasi, informasi, dan lain-lain.

Suyatno kemarin juga berbagi tips media pembelajaran alternatif. Di antaranya kartu bicara dan lagu. Dalam kartu bicara, para siswa diminta membuat pertanyaan ataupun pernyataan mengenai sebuah topik pembelajaran. Kartu-kartu tersebut wajib dikumpulkan. "Kalau tidak, siswa tak bisa istirahat cepat, misalnya," katanya.

Segala macam pertanyaan dan pernyataan tersebut lantas didiskusikan bersama. Begitu pula media lagu. Guru tinggal mengambil lagu populer yang disukai siswa, dan mengubah lirik lagunya sesuai muatan pelajaran. Suyatno lantas mencontohkan. "Oh, oh, metamorfosa, ada tiga jenis," nyanyi Suyatno mengubah lirik lagu Ketahuan milik band Matta yang populer itu.

"Wah, ini betul-betul baru bagi saya, kok sebelumnya tidak kepikiran yah kalau bisa juga menghafal lewat lagu," tutur Sudarno, guru PKn SMPN 32 Surabaya. Dia mengatakan, metode tersebut amat berguna, khususnya untuk pelajaran yang memerlukan penghafalan seperti pelajaran yang diajarkannya.(ara/nw)
Sumber: Indopos Online

Guru dan Dokter, Mestinya Sama

Oleh Suyatno

Lihatlah dokter, dia mempunyai banyak alat untuk meneyembuhkan penyakit. Alat itu beraneka model, bentuk, dan fungsinya. Jika untuk melihat kadar panas tubuh, dia akan menggunakan termometer yang dijepitkan di ketiak pasien. Jika tukak mulut yang sakit, dokter akan menggunakan senter untuk melihat tingkat infeksi fisiknya. Begitulah, dokter menggunakan alat untuk mempermudah kerjanya.
Berbeda dengan guru Tugino, setiap mengajar tanpa menggunakan alat karena cukup untuk diomongkan saja. Suatu kali, dia datang tanpa membawa buku pelajaran, sesampai di kelas langsung meminjam buku pelajaran ke murid lalu disuruhnya siswa membuka halaman tertentu untuk dikerjakan. Kali lain, Tugino membawa buku pelajaran, namun pola mengajarnya tetap sama, yakni menyuruh anak untuk mengerjakan bagian tertentu dari buku teks. Tugino hanaya menganggap buku pelajaran merupakan satu-satunya alat.
Mengapa Tugino berbeda dengan sang dokter? Bukankah tugas kedua profesi itu sama? Dokter bergerak di bidang kesehatan dan guru bergerak di bidang pendidikan. Keduanya sama-sama bergerak pada proses dari belum ke menjadi. Untuk dokter, tugasnya adalah dari sakit menjadi sehat, dari nyeri menjadi biasa, dari dirubung virus menjadi tanpa virus. Untuk guru, tuganya adalah dari siswa belum pandai menjadi pandai, dari siswa penakut menjadi pemberani, dari siswa liar menjadi berakhlak.
Yang membedakan keduanya adalah ketidaksiapan guru untuk bekerja secara profesional. Sebagai guru, Tugino diharapkan juga mempunyai catatan mengajar seperti dokter mempunyai catatan pasien. Tugino hendaknya juga mempunyai media untuk mempermudah kerjanya seperti dokter mempunyai alat yang mempermudah kerjanya pula. Tugino yang sehari-hari mendidik itu seharusnya pula mempunyai wilayah kerja mendiagnosis siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan murid sehingga mudah untu mendidiknya.
Anehnya, banyak guru yang tidak sadar bahwa dirinya seorang guru yang harus profesional seperti pekerja bidang lain yang juga profesional. Murid-murid menunggu untuk didiagnosis letak kekurangmampuan mereka. Mereka merupakan insan yang berbeda-beda karakternya, tentunya juga berbeda cara mendiagnosisnya. Dengan begitu, guru seharusnya mempunyai catatan tiap individu perkembangan belajarnya. Yang terjadi saat ini, semua anak dipukul rata dan dianggap sama semua. Kalau sedah begitu kondisinya, pendidikan tidaklah dapat maju pesat.
Harus bagaimana cara menggeser perilaku guru dari biasa saja menjadi luar biasa? Cara yang pertama adalah melalui guru itu sendiri. Paradigma mendidik mereka perlu dibuka dengan penguatan kesadaran bahwa mereka adalah guru. Cara tersebut sangatlah sulit karena sudah terjadi fosilisasi anggapan tentang guru dalam diri mereka. Cara yang kedua, adakan pendidikan untuk guru tersebut selama sebulan dan pantaulah saat pendidikan itu dengan seksama. Cara ketiga, magangkan guru yang sedang diubah dirinya ke guru yang sudah mampu. Keempat, pidahtugaskan guru yang tidak juga berubah ke pekerjaan selain guru. Kelima, cetaklah pengawas yang benar-benar pengawas yang senantiasa memantau dengan benar kinerja guru.

Posisi Pembelajaran Bahasa Indonesia

Suyatno

Posisi bahasa Indonesia berada dalam dua tugas. Tugas pertama adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia tidak mengikat pemakainya untuk sesuai dengan kaidah dasar. Bahasa Indonesia digunakan secara nonresmi, santai, dan bebas. Yang dipentingkan dalam pergaulan dan perhubungan antarwarga adalah makna yang disampaikan. Pemakai bahasa Indonesia dalam konteks bahasa nasional dapat dengan bebas menggunakan ujarannya baik lisan, tulis, maupun lewat kinestetisnya. Kebebasan penggunaan ujaran itu juga ditentukan oleh konteks pembicaraan. Manakala bahasa Indonesia digunakan di bus antarkota, ragam yang digunakan adalah ragam bus kota yang cenderung singkat, cepat, dan bernada keras begitu pula dalam konteks lainnya.
Tugas kedua adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara berarti bahasa Indonesia adalah bahasa resmi. Dengan begitu, bahasa Indonesia harus digunakan sesuai dengan kaidah, tertib, cermat, dan masuk akal. Bahasa Indonesia yang dipakai harus lengkap dan baku. Tingkat kebakuannya diukur oleh aturan kebahasaan dan logika pemakaian. Dari dua tugas itu, posisi bahasa Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus terutama bagi pembelajaran bahasa Indonesia.
Dua tugas di atas tentunya akan memberikan dampak bagi pembelajar bahasa Indonesia yang masih awal dalam penguasaan kaidah bahasa Indonesia. Di satu sisi, siswa harus belajar bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah. Di sisi lain, siswa menghadapi masyarakat yang berbahasa Indonesia secara bebas karena fungsi bahasa pergaulan. Siswa yang masih belajar itu tentunya berada di dua tarikan yang kalah kuat. Tarikan masyarakat lebih kuat dibandingkan oleh tarikan dari bangku sekolah. Apalagi, pembelajaran bahasa Indonesia tidak disajikan dengan menarik. Sebaliknya, bahasa Indonesia disajikan dengan membosankan, jenuh, dan berputar-putar.
Bermula dari kasus di ataslah, akhirnya banyak orang yang menganggap bahwa (a) yang penting isinya dipahami bukan benar tidaknya, (b) buat apa belajar bahasa Indonesia karena tanpa belajar pun semua orang Indonesia dapat berbahasa Indonesia, (c) bahasa Indonesia sangat sulit, dan (d) bahasa Inggris lebih bergengsi daripada bahasa Indonesia. Anggapan itu akhirnya sampai ke siswa. Siswa menjadi ogah-ogahan dalam belajar bahasa Indonesia. Banyak di antara siswa yang terpaksa dalam mengikuti mata pelajaran bahasa Indonesia.
Begitu pula dengan pembelajaran bahasa Indonesia, proses pemebelajarannya harus bertumpu ke siswa sebagai subjek belajar. Materi pembelajaran BI terintegrasi dengan penggunaan bahasa Indonesia dewasa ini. Pembelajaran diarahkan ke pemakaian sehari-hari baik lisan maupun tulis dalam konteks bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia tersebut di antaranya melalui wacana tulis dan lisan. Wacana tulis berkembang melalui buku pengetahuan, surat kabar, iklan, persuratan, dan lainnya. Sedangkan wacana lisan terkembang melalui percakapan sehari-hari, radio, televisi, pidato, lobi, dan sebagainya. Dengan begitu, siswa pembelajar bahasa Indonesia dapat mengikuti zamannya.
Karena yang belajar dalam kelas adalah siswa bukan guru, siswa hendaklah diarahkan ke pengembangan potensi diri sendiri. Bukankah siswa hidup di zaman ini? Artinya, segala masalah kebahasaan yang perlu dimainkan di sekolah haruslah juga sesuai dengan zamannya. Kata, kalimat, paragraf, bahkan tulisan harus bernuansa kekinian. Sumber kebahasaan yang digunakan oleh guru juga harus mengacu ke minat dan harapan siswa. Dengan begitu, siswa dapat tertarik dengan pemebelajaran bahasa Indonesia.
Siswa Indonesia memang sudah semestinya dapat berpikir, berkreasi, dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara lugas, langsung, dan lancar. Dengan begitu, suatu saat akan dihasilkan karya-karya besar dari orang Indonesia dengan bahasa yang mantap. Hal itu tentunya harus menjadi obsesi guru bahasa Indonesia. Peran guru amatlah menentukan dalam mengajarkan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, guru dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dan pembelajarannya dengan multimodel dan multimedia.
Dalam pembelajaran yang multimodel dan multimedia, bahasa Indonesia semestinya menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswanya. Kemenarikan itu pada akhirnya membawa siswa ke tingkat komunikasi yang lancar dan didasari oleh minat yang kuat dari siswa. Guru berperan besar dalam hal itu dan didasari oleh kekuatan konsep dan kekuatan mengembangkan strategi pembelajarannya.
Konsep lama pembelajaran bahasa Indonesia perlu segera diperbarui karena cenderung menggunakan pendekatan struktural dengan pokok bahasan yang menekankan bunyi, kosakata, dan kalimat. Akibat yang muncul menurut antara lain (1) guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada keterampilan berbahasa; (2) bahan pelajaran tidak relevan dengan kebutuhan siswa untuk berkomunikasi; (3) struktur bahasa dibahas secara lepas; (4) evaluasi banyak menekankan aspek kognitif; dan (5) PBM (Proses Belajar Mengajar) lebih didominasi guru daripada berpusat pada siswa.

Selasa, 25 Maret 2008

Membunuh Ketakutan Gurudengan Keberanian Berinovasi

Oleh suyatno

Suatu hari, dalam kesempatan memfasilitasi guru-guru di sebuah pelatihan, saya memunculkan pertanyaan, "Apakah bapak dan ibu yang ada di ruangan ini sebagai guru?" Mereka menjawab serentak bagaikan koor di stadion dengan jawaban "Iyaaaa benar!". Pertanyaan tersebut selalu saya lanjutkan dengan pertanyaan,"Kalau memang guru, apakah bapak dan ibu benar-benar seorang guru?" Ruangan menjadi senyap, lengang, dan tanpa suara. Para guru tidak ada yang berani menjawab dengan kata Iya benar dan malah sekejap kemudian banyak yang tertawa cekikikan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mendapatkan persetujuan dari teman guru lainnya kalau mereka bukan guru yang sebenarnya.Dari ilustrasi tersebut, terlihatlah bahwa guru takut menyebut dirinya benar-benar seorang guru karena tidak yakin dan tidak percaya diri kalau dirinya adalah seorang guru. Mereka tidak percaya bahwa yang dilakukan sehari-hari di depan kelas merupakan wujud tindakan seorang guru dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Mereka tidak yakin bahwa yang dilakukan adalah sebuah model pembelajaran yang mampu mengantarkan siswa untuk berubah dan berkembang dari belum tahu menjadi tahu, dari belum mampu menjadi mampu, dan dari belum bermoral menjadi sosok yang penuh dengan tindakan moral. Banyak jalan menuju Roma. Aneka jalan ke Roma tersebut tentunya beragam kualitas dan fungsinya. Jika kita ke Roma dengan kapal laut tentu akan lebih lambat dibandingkan dengan pesawat. Jika kita melewati jalan yang penuh lubang dan mendaki tentu akan lebih tidak efektif daripada melewati jalan yang datar, lurus, dan halus. Begitu pula banyak cara untuk mencapai tujuan pembelajaran yang memuaskan siswa sehingga terjadi perubahan belajar dalam dirinya.

Cara untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran yang seirama dengan kondisi siswa, tujuan, dan kondisi pembelajaran yang akan dilangsungkan. Untuk pembelajaran tertentu, kadang ada metode yang cocok dan ada pula metode yang tidak cocok digunakan.Metode hanyalah alat bukan tujuan. Karena hanya sekadar alat, metode bersifat bebas pakai kapan pun dan di mana pun. Oleh karena itu, tidaklah elok jika guru mendewakan sebuah metode dan meminggirkan metode lainnya dengan alasan sekarang metode yang didewakan tersebut sedang tren dan digunakan oleh khalayak ramai. Lihatlah kasus, sebuah SMAN di Jawa Timur bagian Barat yang mengibarkan dan memproklamasikan sebagai sekolah Quantum Learning, ternyata tiga tahun berikutnya diprotes masyarakat akibat rendahnya pencapaian nilai siswa. Semua kesempatan pembelajaran harus menggunakan Quantum Learning meskipun sebenarnya banyak topik pembelajaran yang tidak cocok dengan Quantum Learning. Kepala sekolah bangga dengan animo masyarakat dan perhatian pemerintah setempat dengan inovasi tersebut. Ternyata, kegembiraan sambutan berbagai kalangan tersebut hanya bertahan tiga tahun, tidak lebih dan tidak kurang. Pada akhirnya, SMAN tersebut kembali ke pola normal dan kepala sekolah dimutasikan ke SMAN lainnya dengan model pembelajaran yang normal. Quantum Learning bukan metode yang buruk asalkan tepat guna dan Quantum Learning bukan metode yang baik manakala tidak disesuaikan dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran.Metode apapun sangat baik untuk pembelajaran asalkan dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan baik, misalnya metode dikte, kooperatif, kontekstual, kolaboratif, partisipatori, komunikatif, akselerasi, maupun metode lainnya . Begitu pula, semua metode akan menjadi buruk dan tidak berguna apabila tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran bagi siswa yang belajar meskipun metode tersebut berkategori baru ditemukan oleh pakarnya. Guru merupakan pengguna metode dan bukan pengikut sebuah metode. Untuk itu, seorang guru yang hebat pastilah dapat menggunakan beragam metode sesuai dengan kondisi siswa, tujuan, sarana, dan situasi belajar tanpa harus menjelek-jelekkan metode tertentu dan mendewakan metode lainnya. Dengan begitu, guru akan memperoleh kenikmatan dalam mengajar karena digemari siswa, tujuan tercapai, dan hati guru sangat puas akibat inovasi yang dilakukannya.Setakat ini, telah terjadi perubahan paradigma tentang kecerdasan, pembelajaran, dan cara menangani anak-anak seirama dengan perkembangan aspek lain, seperti perkembangan informasi, transportasi, kesehatan, dan lainnya. Perubahan dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari (1) pergeseran paradigma dari teaching ke learning atau dari pengajaran ke pembelajaran, (2) perubahan dari pemahaman monokecerdasan ke multikecerdasan anak, (3) pergantian pusat pembelajaran dari berpusat pada guru ke berpusat pada siswa, (4) pergantian pola mengajar deduktif ke induktif, dan (5) perubahan dari verbal ke tindakan. Berkaitan dengan perubahan itu sendiri, guru merupakan sosok yang sebenarnya sangat terbuka terhadap segala perubahan. Tengoklah, banyak guru yang dengan mudah menggunakan alat-alat telekomunikasi, dengan gampang memakai alat transportasi, dan dengan gembiranya menerima alat rumah tangga yang semakin mudah digunakan dan cepat tersedia. Hal itu berarti, guru juga sangat lekat dengan perubahan. Namun, mengapa perubahan di bidang pembelajaran sangat sulit diikuti oleh para guru?Ada beberapa aspek yang sangat menyebabkan para guru dirasakan sulit menerima perubahan pendidikan meskipun berkali-kali mengikuti berbagai pelatihan pembelajaran. Pertama, banyak guru takut salah dan tidak percaya diri dalam menerapkan pembelajaran berinovasi. Kedua, guru takut dicela oleh temannya dan takut dianggap sok maju. Ketiga, guru takut waktu yang tersedia dalam pembelajaran tidak cukup untuk digunakan dalam berinovasi. Keempat, guru takut dikecam kepala sekolah dan guru lainnya karena kelas inovasi dipandang sebagai biang kericuhan. Kelima, guru takut keluar dari zona aman karena telah merasa nyaman dengan pembelajaran tradisional yang mengental dan terukir kuat di memorinya. Keenam, guru takut rebyek atau sibuk dengan tugas tambahan akibat inovasi pembelajaran.Ketakutan tersebutlah yang menyebabkan guru merasa asyik, nyaman, dan tidak punya beban dengan menggunakan cara mengajar tradisional, yakni menerangkan-beri contoh-pemberian tugas kepada siswa tanpa variasi metode lainnya. Sudah saatnya ketakutan yang tidak berdasar itu dibunuh dengan keyakinan dan percaya diri guru yang bersangkutan. Berikut ini cara membunuh ketakutan berinovasi sehingga guru dapat menerapkan pembelajaran dengan suka cita, bahagia, dan sangat digemari oleh siswa-siswanya, serta tujuan pembelajaran tercapai.Pertama, yakinlah bahwa setiap guru tanpa terkecuali dapat berinovasi dalam pembelajarannya. Keyakinan tersebut didukung dan dibuktikan oleh perubahan yang terjadi dalam diri guru, yakni perubahan dahulu anak-anak, mahasiswa, dan sekarang menjadi guru tanpa terasa dan tidak disangka-sangka sebelumnya. Artinya guru ternyata dalam lingkaran perubahan. Dunia berkembang karena inovasi manusia dan guru adalah manusia. Dengan begitu, semua guru pastilah dapat berinovasi. Keyakinan tersebutlah yang harus dipegang kuat-kuat saat hendak berinovasi di kelas.Kedua, sungai besar pasti dari sungai kecil. Untuk menjadi besar mulailah dari yang kecil-kecil. Mulailah berinovasi dari aspek yang kecil-kecil seperti mengubah tempat duduk, memvariasikan gaya berbicara di depan siswa, mengubah bentuk tulisan di papan, cobalah siswa disuruh memanggil guru dengan nama yang berbeda, dan cara-cara lain yang kecil-kecil. Dari yang kecil-kecil itu, niscaya inovasi pembelajaran juga akan turut serta dijalankan dengan hasil yang besar.Ketiga, buatlah catatan perubahan dalam buku harian tentang cara dan gaya mengajar setiap hari. Kemudian, lihatlah apakah ada perubahan cara dan gaya? Jika ada perubahan berarti, inovasi pembelajaran telah dilakukan. Keempat, mulailah mengerti bahwa inovasi berbeda dengan kreatif. Inovasi merupakan perubahan yang berangkat dari yang sudah ada yang bergerak secara maju dan berkelanjutan. Kreatif merupakan perubahan yang terjadi dari belum ada menjadi ada. Jadi, inovasi merupakan sesuatu yang wajar, alamiah, dan seharusnya terjadi dalam diri setiap manusia.Kelima, mintalah guru lain, siswa, atau kepala sekolah untuk memberikan teguran manakala pembelajaran yang dilangsungkan sama dengan hari kemarin.Lupakan sejenak deretan nama-nama metode dan nama-nama pakar yang tampaknya semua berbau asing. Mulailah berbuat beda dari gaya dan cara mengajar sebelumnya dengan keinginan sendiri asal sesuai dengan tujuan pembelajaran. Lagu, teka-teki, TTS, sulap, kartu, boneka, gambar, benda hidup, batu, lidi, bola, gerak tubuh, dan sebagainya dapat dibawa ke dalam kelas sebagai media pembelajaran. Pindahkan fakta, konsep, prosedur, dan prinsip ke dalam media tersebut. Bergembiralah bersama siswa dalam memainkan media dalam nuansa pembelajaran. Setiap ada acara pemilihan guru favorit di sekolah atau di koran-koran pastilah yang terfavorit adalah guru yang menyenangkan, menantang pikiran, gembira, sabar, baik hati, dan tidak membuat mengantuk siswa saat belajar. Hal itu berarti guru yang inovatif hendaknya juga digemari oleh siswa karena sifat-sifat terpuji yang melekat dalam dirinya. Guru merupakan pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan anak-anak sehingga tingkat penyesuaian diri guru tersebut kepada diri anak juga harus tinggi. Maksudnya, persepsi guru harus disesuaikan dengan persepsi anak dalam rangkaian pembelajaran di kelas sehingga tidak akan pernah terjadi ketidakcocokan guru dengan hasrat siswa. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi guru untuk takut berubah dan takut berinovasi.Ketakutan tidak akan pernah terjadi dalam diri guru jika semua pihak memberikan penghargaan yang kuat terhadap kinerja guru yang ada selama ini. Penghargaan tersebut tidak hanya diartikan dengan besaran tunjangan tetapi berupa dukungan moral, penganugerahan guru inovatif, dan pemberian kebanggaan sebagai guru. Jawa Pos, dengan program Untukmu Guru, yang digulirkan selama sebulan sejak Januari 2008 untuk guru-guru se-Jawa Timur merupakan aksi nyata yang perlu ditindaklanjuti secara rutin. Pihak lain juga sangat baik jika melakukan aksi bakti guru dengan program-program lainnya yang bermuara pada pendongkrakan kualitas pendidikan yang pada akhirnya melejitkan mutu generasi bangsa. Program semiloka dalam Untukmu Guru Jawa Pos, yang salah satunya adalah mata kaji metode pembelajaran inovatif juga merupakan sarana yang tepat bagi guru untuk membiasakan berinovasi. Bagaimana komentar Anda?

Guruku Pohon Kelapa

Oleh Suyatno
Entah apa jadinya, jika Herman tidak dikenalkan pohon kelapa oleh orang tuanya, dia tidak akan menjadi pejabat penting di perusahaan yang memperkerjakan para sarjana itu. Herman hanyalah seorang lulusan SMA yang hanya berguru pada pohon kelapa. Untuk itu, sangatlah wajar jika foto pohon kelapa dengan daun membentang terpasang di dinding ruang kerjanya. Setiap nmenghadapi problem atau mencari ide baru, Herman selalu memandangi gambar pohon kelapa itu. Beberapa detik kemudian, muncullah ide cemerlang yang dapat memperlancar kinerja perusahaan itu.
Gara-garanya, Herman kecil, saat masih sempat berdua dengan sang bapak di pinggir ladang, pernah diberi cerita oleh sang bapak. "Man, mengapa pohon kelapa lebih tinggi dengan pohon mangga itu?", tanya sang bapak. "Ya memang nasibnya begitu", jawab Herman seadanya. "Bukan hanya itu jawabnya, Man", sahut sang Bapak. "Pohon kelapa itu tinggi selain karena memang jenis pohonnya lurus begitu, juga karena mempunyai satu pohon tanpa bercabang", jawab bapak sekenanya juga karena juga tidak tahu. "Maksudnya, Pak", tukas lelaki kecil itu. "Maksudnya, jadilah seperti pohon kelapa yang tidak banyak cabang jika ingin terus semakin tinggi", ujar bapak yang ramputnya mulai memutih itu. "iya pak", jawab Herman tangkas. "Kalau kita mempunyai keinginan, jangan sampai dibelokkan cabang-cabang yang membuat tidak menjadi tinggi", sahut Herman dengan cerdasnya. "Bagus, cerita tidak saya teruskan", kata bapak sambil mengajak pulang setelah petang menunjukkan gelapnya.
Herman terdiam tetapi dalam pikirannya terus berkecamuk kuat tentang phon kelapa tadi. Pucuk pohon kelapa pasti dapat memandang ke mana-mana dibanding pucuk pohon yang lebih rendah darinya. Pohon kelapa terus tegak lurus menggapai cita-cita untuk menjemput langit. Pohon kelapa meskipun tinggi memberikan manfaat bagi yang membutuhkannnya. Seterusnya, Herman mengeksplorasi pohon kelapa untuk dijadikan pembenar bagi jalan hidupnya. Bahkan filsafatnya adalah pohon kelapa.
Dengan begitu, dapatkan dikatakan bahwa pohon kelapa merupakan guru Herman sejati? Benar. Guru sejati adalah guru yang mampu memberikan inspirasi bagi muridnya. Inspirasi itu berupa kekuatan untuk membangun jatidiri secara kuat. Pohon kelapa telah mengilhami Herman menapaki hidupnya secara tegak lurus menggapai cita-citanya.
Untuk itu, jika Anda seorang guru, jadilah inspirasi bagi muridnya. Inspirasi apa saja yang mampu membingkai sang murid menjelajahi hidup menjadi sempurna. Lihat saja, Mahatma Gandi terinspirasi oleh orang desa yang miskin yang masih tetap hidup dengan kesabarannya sehingga memunculkan konsep swadesi. Bagaimana komentar Anda?

Kamis, 20 Maret 2008

Jelang Unas, Guru Stres

SURABAYA-Menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (Unas), para siswa, guru, dan kepala sekolah (kasek) dihantui rasa was-was. Hal itu tergambar jelas dari keluhan para guru ketika mengikuti tutorial persiapan Unas SMA di Hotel Sahid, 14-16 Maret. Kegiatan ini diikuti puluhan guru dari Surabaya, Sidoarjo, Jember, Tuban, dan daerah lain.
Tutor Pelajaran Bahasa Indonesia Drs Suyatno MPd mengatakan, kekhawatiran guru terlihat ketika mereka disuruh menulis keluhannya terkait Unas yang akan dihelat 22 April mendatang, dalam secarik kertas. “Banyak sekali keluhan yang disampaikan. Rata-rata mengekspresikan rasa was-was terhadap momok Unas,” ujarnya, Sabtu (15/3).
Bentuk keluhannya, misalnya bagaimana siswa yang stres akibat selalu ditekan guru supaya rajin belajar agar lulus. Guru juga stres karena mendapat tekanan dari kasek agar siswa yang diajarnya lulus 100 persen. Sementara kasek lebih stres lagi karena diwarning kepala dinas pendidikan agar siswanya lulus semua. “Semuanya stres akibat beratnya beban psikologis yang ditimpakan pada mereka,” jelas Suyatno.
Beban berat yang dimaksud adalah, naiknya nilai ambang batas kelulusan dari 5,00 jadi 5,25 dan ditambahnya pelajara yang diunaskan. Kalau sebelumnya hanya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, sekarang jadi enam. Program IPA ditambah biologi, fisika, dan kimia. Program IPS ditambah sosiologi, geografi, dan ekonomi.
Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya guru yang kesusahan menebak soal. Suyatno mencontohkan bahasa Indonesia. Soal Unas untuk pelajaran ini biasanya bacaannya banyak. Guru banyak yang kesulitan menebak, mana di antara bacaan yang akan keluar. “Perspektif tersebut jelas salah. Selama paham struktur, isi, dan fungsi, pasti tidak akan ada masalah,” tegas Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Unesa ini.
Terpisah, Wakil Rektor I Unair Prof Dr Zainuddin mengatakan pengawasan Unas tahun ini akan ditingkatkan dengan melibatkan organisasi profesi. “Tapi yang dilibatkan adalah organisasi profesi yang paham masalah pendidikan, seperti PGRI,” ujarnya.
Dengan dilibatkannya PGRI, tim pengawas independen (TPI) Unas akan ditambah personelnya. Sebelumnya hanya berasal dari kalangan kampus, yakni dosen PTN dan PTS saja. Koordinator TPI di Jatim adalah Unair. “Untuk menentukan organisasi profesi dan orang yang dilibatkan memantau Unas, semuanya diserahkan pada PTN/PTS besar di daerah yang jadi TPI,” tandas Zainuddin. (Harian Surya, Minggu, 16 Maret 2008)

Membangun Tradisi Pembelajaran Kreatif

Technorati Profile

Oleh Suyatno
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa

I
Andaikata seorang guru ditanya tentang apakah setelah mengajar materi ajar tersampaikan semua dalam pembelajaran satu semester? Jawabnya pasti ya. Namun, apabila pertanyaan dikembangkan menjadi, apakah siswa dapat menyerap, memahami, dan menindaklanjuti materi ajar yang Saudara sajikan? Jawabnya tidak tahu atau tidak semua memahami. Jika dijumpai jawaban tersebut dapat ditengarai bahwa guru yang bersangkutan menggunakan cara mengajar ceramah.
Seorang guru, Pak Tinta, sebut saja begitu, menolak mentah-mentah cara mengajar selain ceramah. Dengan suara ketus, dia berargumentasi bahwa pembelajaran berbeda dengan pengajaran di sekolah. Dalam pengajaran di kelas banyak teori yang harus diberikan. Teori-teori itu hanya bisa disajikan lewat ceramah dan tentunya dengan bantuan OHP atau LCD juga. Dengan bangga, dia mengatakan, “Kalau di sekolah memang guru-guru perlu berinovasi dan kreatif dalam pembelajaran.” Namun, dalam praktiknya, Pak Tinta tidak pernah sedikit pun menerapkan pembelajaran inovatif dan kreatif.
Pak Tinta sangatlah benar berargumentasi begitu karena persepsi mengajar yang dimilikinya sebatas itu. Mengajar, menurut Pak Tinta, adalah memberikan materi yang diperlukan siswa sesuai dengan garis pembelajaran yang telah diatur dalam perencanaan pembelajaran. Kata memberikan dimaknai sebagai menyampaikan secara lisan oleh guru atau menerangkan agar siswa menjadi terang-benderang terhadap konsep tertentu. Tidak salah, Pak Tinta, karena dia menggunakan konsep mengajar teori mental yang diperkenalkan oleh Plato sebelum abad ini. Guru merupakan sumber ilmu yang menyampaikan ilmu tersebut di tengah-tengah siswanya. Tetapi, Pak Tinta lupa bahwa saat ini telah bermunculan berbagai konsep mengajar yang lebih mampu mempercepat, memperdalam, dan memperluas penguasaan materi pembelajaran bagi siswa.
Pak Tinta, dengan teori mentalnya, melakukan hal terbaik menurutnya. Meskipun, dia sama dengan Pak Timun yang memotong kayu selalu menggunakan kapak walau telah ditemukan mesin pemotong kayu yang sangat efektif dan memakan waktu teramat singkat. Kayu berdiameter 10 m dipotongnya dengan kapak. Kayu berdiameter 50 cm juga dipotongnya dengan kapak karena memang senjatanya hanya kapak, pengalaman yang ada hanya dengan menggunakan kapak, dan menganggap kapak alat satu-satunya yang dapat memotong kayu. Dia tidak tahu kalau ada beragam alat potong lainnya yang dapat menggantikan fungsi kapak tersebut.
Ketika Pak Timun mengalami kesulitan dalam memotong kayu, yang disalahkan pertama adalah pohonnya bukan kapaknya. Begitu pula, Pak Tinta selalu menyalahkan siswanya saat hasil belajar mereka tidak maksimal. Siswa selalu dicap malas, tidak becus, berbeda dengan siswa tahun lalu, gagap, dan asal-asalan. Padahal bisa jadi kesalahan terletak pada metode yang digunakannya. Pak Tinta tidak tahu bahwa saat ini paradigma pengajaran berubah menjadi paradigma pembelajaran, dari teaching ke learning.
Kembali ke cerita Pak Tinta, siswa dianggap sebagai konsumen dalam menerima ilmu dengan cara mendengarkan, mencatat, dan mengulangi kata-kata guru saat ujian berlangsung nanti. Terakhir, sang siswa diwajibkan mengerjakan sebagai wujud penerapan materi yang diberikan. Sukseslah Pak Tinta dalam mengajar semester ini karena telah membawa siswa dapat menegerjakan tugas sesuai dengan materi yang diberikannya. Padahal, menurut siswa, tugas yang dibuatnya hanya copy paste dari internet.
Alih-alih siswa paham akan konsep pembelajaran, dia malah tidak paham akan materi yang diberikan selama pembelajaran karena lebih banyak mengantuk, mengobrol, dan asyik dengan gambar di bukunya. Sang guru senang karena pembelajaran terasa tenang, senyap, diam, dan semua wajah tertuju pada guru dengan bibir terkatup tanda setuju. Begitulah warna pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai konsumen. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kolom berikut ini.
Tabel 1: Perlakuan guru terhadap siswa di kelas

Siswa sebagai ‘Konsumen’

Siswa sebagai ‘Produsen’

· Mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap materi yang disajikan

· Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut pikirannya
· Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru atau imengulangi nformasi yang tertuang dalam buku teks.

· Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti ‘kita perlu membuat kali………’ , kata guru dan siswa meneruskan dengan ‘maaaat’.

· Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan ‘resep’ rinci dari guru.

· Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis laporan seperti ini, cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong yang disediakan.

· Ketika seorang siswa bertanya, ‘Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?’. Guru langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa teori itu hanya bias diterapkan di Eropa saja, ya…kan’. Jawaban guru disertai wajah sisnis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai pertanyaan konyol.
· Mengajukan pertanyaan, berkomentar terhadap suatu pendapat, menjawab pertanyaan secara kreatif

· Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.

· Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil penelaran logis


· Mengomentari jawban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya atau ketidaksetujuaan




· Menghasilkan karya dalam bentuk model, tulisan, produk teknologi sederhana
· \

· Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci


· Ketika seorang siswa bertanya, ‘Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?’. Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, ‘Menurutmu bagaimana dapat atau tidak diterapkan? ‘Kalau dapat, apakah teori itu mengalami penyesuaian?’ ‘Kalau tidak dapat, apakah tidak teori itu digantikan teori lain?’



II
Pada dasarnya, proses belajar terjadi ketika siswa mampu memberikan makna/membangun pemahaman pada pengalamannya terhadap suatu objek atau suatu peristiwa. Misalnya, ketika seorang siswa baru pertama kali melihat kerbau dia akan mengatakan kerbau itu sebagai ‘anjing besar’ karena sehari-harinya dia terbiasa melihat anjing. Dia senantiasa berupaya mengaitkan pengetahuan baru itu dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Setelah dia amati berkali-kali, dia menyadari bahwa ‘anjing besar’ ini berbeda dengan anjing yang biasa dilihatnya sehari-hari. Pada waktu itu, siswa mulai membangun pengetahuan tentang ciri-ciri ‘anjing besar’ ini. Dalam jaringan struktur kognitif siswa ini, tidak hanya ada konsep anjing tetapi bertambah dengan ‘anjing besar’ yang dalam beberapa kali pengalamannya ‘melihat kerbau’, terminologi ‘anjing besar’ ini digantinya dengan terminologi baru menjadi ‘anjing bertanduk’. Proses belajar berlangsung dari dalam diri, ketika siswa secara terus menerus membangun gagasan baru atau menyempurnakan gagasan lama.
Ketika siswa memperoleh pengalaman pertama melihat seekor kerbau, struktur kognitif siswa mengalami goncangan ketidakseimbangan (disequilibrium) akibat perbedaan karakteristik anjing yang biasa dilihatnya dengan karakteristik kerbau yang sekarang dilihatnya. Kondisi ini memaksa siswa untuk membangun gagasan baru (anjing besar) yang berasal dari gagasan lama (‘anjing’ yang biasa dilihatnya). Proses seperti ini disebut proses assimilasi. Pada proses ini, pada dasarnya gagasan lama tidak berubah, siswa hanya melakukan perluasan gagasan dalam jaring kognitifnya. Proses lain adalah proses akomodasi dimana terjadi penggantian gagasan lama dengan gagasan baru.









disequilibrium
Asimilasi
Akomodasi








Gbr. Pembangunan pengetahuan dilakukan siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi



Mengajar merupakan tugas yang sangat kompleks. Menurut Arends (dalam Kardi dan Nur, 2000:6), menjadi seorang guru yang berhasil memerlukan sifat-sifat sebagai berikut.
a. Guru yang berhasil memiliki kualitas pribadi yang memungkinkan ia mengembangkan hubungan kemanusiaan yang tulus dengan siswa, orang tua, dan kolega-koleganya.
b. Guru yang berhasil mempunyai sikap yang positif terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menguasai dasar-dasar pengetahuan tentang belajar dan mengajar; menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan cara belajar; dan menguasai pengajaran dan pengelolaan kelas.
c. Guru yang berhasil menguasai sejumlah keterampilan mengajar yang telah dikenal di dunia pendidikan untuk mendorong keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar.
d. Guru yang berhasil memiliki sikap dan keterampilan yang mendorong siswa untuk berpikir reflektif dan mampu memecahkan masalah. Mereka memahami bahwa belajar pengelolaan pembelajaran yang baik merupakan proses yang amat panjang sama halnya dengan profesi lain, yang memerlukan belajar dan interaksi secara berkelanjutan dengan kolega seprofesi.
Dryden dan Vos (2000:296) secara khusus menyarankan kepada guru agar menggunakan enam kiat mengajar dengan efektif apabila mengharapkan hasil belajar siswa secara maksimal. Keenam kiat mengajar dengan efektif di kelas sebagai berikut.
a. Ciptakan kondisi yang benar
1) Orkestrakan lingkungan
2) Ciptakan suasana positif bagi guru dan murid
3) Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
4) Tentukan hasil dan sasaran; AMBAK—Apa Manfaatnya Bagiku?
5) Visualisasikan tujuan Anda
6) Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
7) Pasanglah poster di sekeliling dinding
b. Presentasikan dengan benar
1) Dapatkan gambar menyeluruh dahulu, termasuk perjalanan lapangan
2) Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
3) Gambarlah, buatlah pemetaan pikiran, dan visualisasikan
4) Gunakan konser musik aktif dan pasif
c. Pikirkan
1) Berpikirlah kreatif
2) Berpikirlah kritis—konseptual, analitis, dan reflektif
3) Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
4) Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk menyimpan informasi secara permanen
5) Berpikirlah tentang pikiran Anda
d. Ekspresikan
1) Gunakan dan praktikkan
Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi, sandiwara—untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
e. Praktikkan
1) Gunakan di luar sekolah
2) Lakukan
3) Ubahlah murid menjadi guru
4) Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah Anda miliki
f. Tinjau, Evaluasi, dan rayakan
1) Sadarilah apa yang Anda ketahui
2) Evaluasilah diri/teman/dan siswa Anda
3) Lakukan evaluasi berkelanjutan
Kiat di atas dibuktikan dan diramu menjadi formula yang efektif dalam pembelajaran di sekolah melalui konsep Quantum Learning (Bobbi dePorter, 2000) dan Revolusi Cara Belajar (Dryden dan Vos, 2000). Guru menjadi seorang yang kaya metode pembelajaran dan mampu menerapkan kapan, di mana, bagaimana dan dengan siapa diterapkan metode tersebut. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya aspek yang juga paling penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah penguasaan metode pembelajaran.

Tabel 2: Peran Guru di Kelas

Sebagai ‘Destroyer’
(pengganggu peristiwa belajar)

Sebagai ‘Facilitator’
(Pemermudah peristiwa belajar)

· Guru yang menganggap masalah siswa sebagai masalah guru sehingga kalau siswa memperoleh masalah guru langsung menyelesaikannya lalu memberikannya jawaban langsung. Misalnya, ketika siswa bertanya; ‘Pak, soal no. 3 PR kemarin sulit!’. Menanggapi keluhan ini guru langsung memberikan uraian jawab secara panjang lebar sehingga tidak ada ruang bagi siswa untuk menambahkan gagasannya.




· Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris “bewilder” itu?’ Menanggapi pertanyaan, seorang Ibu guru Bahasa Inggeris yang fasih berbahasa Inggeris langsung memberikan respon. ‘masak tidak tahu, bewilder itu kan artinya mengembara’.

· Guru yang menempatkan masalah siswa sebagai masalah siswa. Pada keadaan ini guru hanya berperan menyediakan kondisi dan memberikan dorongan sehingga siswa mau menyelesaikan masalahnya tanpa beban. Misalnya ketika siswa memperoleh PR/soal Linguisitk tentang pola semantic yang dianggapnya sulit guru hanya mengajukan pertanyaan seperti; ‘apakah kamu sudah mencoba dengan rumus itu?’ atau, ‘Bagaimana kalau soalnya dirinci menjadi seperti ini?’ atau ‘Bagaimana kalau melakukan pengamatan langsung pada pemakai bahasa?’
· Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris “bewilder” itu?’, guru langsung memberikan kamus untuk mencarinya sendiri arti kata tersebut.



III
Freire (1986) memberikan paradigma baru bagi pendidikan berdasarkan paradigma kritis. Freire mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah proses memanusiawikan manusia kembali. Gagasan tersebut berangkat dari pendidikan yang menjadi pelanggeng dehumanisasi (peniadaan pemanusiawian manusia). Freire membagi kesadaran manusia dalam belajar ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah kesadaran magis, yakni kesadaran yang tidask mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Proses pendidikan metode tersebut tidak memberikan kemampuan analisis tentang kaitan antara sistem yang dicptakan dalam proses pelatihan dalam pendidikan dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Peserta didik secara dogmatis menerima kebenaran dari pendidik tanpa ada mekanisme pemahaman makna setiap konsepsi kehidupan masyarakat.
Kelompok kedua adalah kesadaran naif, yakni melihat aspek manusia menjadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Pendidikan dalam konteks naif tersebut tidak mempertanyakan sistem dan struktur pelatihan. Bahkan, sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar. Sistem tersebut dianggap given oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pelatihan atau proses pendidikan adalah mengarahkan agar peserta didik dapat masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Kesadaran ketiga disebut dengan kesadaran kritis. Kesadaran tersebut lebih melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan melatih peserta didik mampu mengidentifikasi ketimpangan struktur dan sistem yang ada kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem bekerja serta bagaimana menstransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan sesuai dengan diri peserta didik.
Pertanyaannya, apakah selama ini pendidikan yang diselenggarakan belum menyentuh pola kesadaran kritis? Jawabnya, secara tegas belum. Mengapa harus malu-malu mengatakan bahwa sistem pendidikan kita ini masih bersifat magis dan naif. Nyatanya, memang demikian. Lihat saja, pendidikan yang sering diselenggarakan berorientasi pada sistem baku yang harus dianut karena telah digariskan dari pusat atau daerah atau dari mana saja. Tidak pernah, pendidikan yang diselenggarakan oleh kita berorientasi pada peserta pendidikan. Materi bersifat fleksibel berdasarkan keinginan peserta. Peserta terlibat secara total karena terjadi pemanusiawian peserta kursus.
Kembali kepada Freire, pendidikan dengan paradigma kritis menempatkan peserta didik sebagai subjek. Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek buka penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku sadar yang bertindak mengatasi dunia. Manusia harus menggeluti dunia dengan sikap kritis dan daya cipta. Manusia memiliki kepribadian dan eksistensi berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Hal itu berarti manusia tidak memiliki keterbatasan tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas yang mengekangnya.
Menurut Freire, jika seseorang pasrah, tetap pada sistem dan struktur yang sebenarnya usang, dan menyerah pada sistem tersebut, sesungguhnya ia sedang tidak manusiawi. Seorang yang manusiawi justru harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Dengan begitu, pendidikan yang memanusiawikan manusia dapat dikatakan mengintegrasikan antara IQ, EQ, SQ, dan kecerdasan lainnya. Syaratnya, pendidik harus kuat dalam pemaduan itu.
Berdasarkan hal di atas, bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektika yang ajeg, yakni antara pengajar, peserta didik, dan realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar. Sementara, yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari. Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sebenarnya, siswa dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan tempat belajar, waktu, situasi, dan suasana alam dan masyarakatnya. Untuk itu, metode yang dianggap tepat untuk mengembangkan pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Salah satu model pembelajaran aktif adalah penggunaan metode kontekstual.
Sebenarnya, metode kontekstual (Contextual Teaching and Learning) bukan barang baru. John Dewey sudah mengemukakan pembelajaran kontekstual pada awal abad 20, diikuti oleh katz (1918) dan Howey & Zipher (1989). Ketiga pakar itu menyatakan bahwa program pembelajaran bukanlah sekadar deretan satuan pelajaran (Kasihani dan Astini, 2001).
Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Ardiana, 2001).
Metode kontekstual muncul sebagai reaksi terhadap teori behavioristik yang telah mendominasi pendidikan selama puluhan tahun. Metode kontekstual mengakui bahwa pembelajaran merupakan proses kompleks dan banyak faset yang berlangsung jauh melampaui drill oriented dan metode Stimulus and Response. Menurut Nur (2001) pengajaran kontekstual memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan di luar sekolah agar siswa dapat memecahakan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.
Berikut ini model alternatif yang dapat digunakan untuk pembelajaran yang menarik dan menantang bagi siswa.
Menggubah syair lagu dan bernyanyi
Melakukan Permainan
Bermain peran
Diskusi (bertanya, menjawab, berkomentar, mendengar penjelasan, menyanggah)
Menggambar dan mengarang
Menulis prosa, puisi, pantun, gurindam
Membaca bermakna
Menyimak dalam menangkap gagasan pokok
Teka teki
Mengajukan pertanyaan penelitian
Menjawab dengan alasan logis
Mengomentari
Bercerita
Mendengar cerita
Mengamati persamaan dan perbedaan untuk mencari cirri benda
Mendengar penjelasan sambil membuat catatan penting
Membuat rangkuman/ sinopsis
Demonstrasi hasil temuan
Membuat soal cerita
Merencanakan dan melakukan percobaan
Merencanakan dan melakukan penelitian sederhana
Membuat buku harian
Membuat kamus
Simulasi dengan komputer
Mengelompokkan sambil mengidentifikasi (mengenali ciri) konsep
Mengumpulkan dan mengoleksi benda dengan karakteristiknya
Membuat komik
Membuat ramalan dan berekstrapolasi
Membuat grafik
Membuat diagram
Membuat Charta
Membuat jurnal
Menyiapkan dan melaksanakan pameran
Menggunakan alat (alat ukur, alat tulis, rumus konsep)
Praktek berceramah
Membuat poster
Membuat model
Menata pajangan
Menata buku perpustakaan
Membuat daftar pertanyaan untuk wawancara
Melakukan wawancara
Membuat catatan hasil penjelasan/ hasil pengamatan
Membaca kamus
Mencari informasi dari encyclopedia
Melakukan Musyawarah
Mengunjungi dan menemukan alamat situs website
Bernegosiasi
Mendiskusikan wacana dari media cetak/ media elektronik

Guru kreatif dan inovatif tidaklah akan cepat puas dengan salah satu tindakan yang dilakukannya. Mereka akan selau tidak puas dengan apa yang telah dijalani sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi dirinya, siswa, dan kepentingan akademis. Banyak jalan menuju Roma, begitu pula banyak jalan untuk menjadi guru yang terbaik di antara yang baik. Guru yang seperti itu biasanya apabila mengajar selalu:
1. berpusat pada siswa
2. lebih senang pola induktif daripada deduktif
3. menarik dan menantang dalam menyajikan mata ajar
4. berorientasi pada kompetensi siswa
5. menekankan pembelajaran bukan pengajaran
6. memvariasikan metode dan teknik pembelajaran
7. menggunakan sentuhan manusiawi
8. menggunakan media belajar yang menghasilkan pesan maksimal
9. menilai secara autentik
10. mengedepankan citra mengajar
Berikut ini tabel perbandingan pola mengajar konvensional dengan pola multimetode.


Tabel 3: Perbandingan Pola Mengajar

Pola Konvensional


Pola Multimetode

· Guru berceramah apapun materinya





· Guru mealkukan berbagai cara seperti: kata kunci, skema, resume, gambar, menyusun potongan konsep, isian lanjutan, analogi, permainan, dst.




IV
Mari kita lihat pengalaman masa lalu. Mungkin tidak semua orang dapat menjadi Thomas Alpha Edison yang menggemparkan dunia dengan 1093 paten dan hasilnya sampai kini digunakan oleh manusia di dunia ini tanpa memandang suku, bangsa, dan negara. Akan tetapi, jika setiap bayi didorong dengan hangat, mereka dapat memiliki gairah tak terpuaskan akan petualangan dan eksplorasi yang sama dengan Edison, yang dapat memotivasi para penemu dan ilmuwan besar. Edison adalah siswa yang aktif secara mandiri dan berada dalam lingkungan belajar aktif meskipun tanpa dunia sekolah formal. Suasana belajar aktif perlu diatur strategi dan konsepsinya dengan cara menciptakan kiat-kiat tertentu.
Hal itu dapat diciptakan dan dikondisikan kepada siswa. Siswa dapat belajar dengan sangat baik jika berada dalam kondisi ideal dengan kasih sayang, kehangatan, dorongan, dan dukungan. Bila hal itu terus berlanjut, kesenangan dan kecepatan belajar dapat melekat erat dalam diri siswa (Dryden dan Vos, 2000:281). Keberhasilan usaha seperti yang tergambar di atas salah satunya ditentukan oleh metode pembelajaran yang dibangun guru. Pembelajaran kreatif dapat menjadi solusi menuju siswa yang manusiawi dan mencapai prestasi terkuatnya.












Daftar Pustaka


Ardiana, Leo Idra, 2001. Pembelajaran Kontekstual. Makalah.

Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice-Hall.

Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Depdikbud. 1993. Kurikulum Bahasa Indonesia di MA/MA. Jakarta: Depdikbud.

De Porter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.

---------. 1999. Quantum Bussines. Bandung: Kaifa.

---------. 2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.

Dryden, Gordon dan Vos, Jeanette. Revolusi Cara Belajar (bagian I dan II). Bandung: Kaifa.

Fakih, Mansur, dkk. 2001. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis. Jogyakarta: Insist dan Read Book.

Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis (terj. Hartoyo). Semarang: IKIP Semarang Press.

Gardner, Howard. 2003. Kecerdasan Majemuk. Batam: Interaksara.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Nur, Muhammad. 2000. Strategi-Strategi Pembelajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, Unesa.

Rooijakkers, 1982. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia.

Silberman, Melvin L. 2004. Active Learning. Bandung: Nusa Media.

Sindhunata (ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Jogyakarta: Kanisius.
Suyatno dan Subandiyah, Heny. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Modul Pelatihan Guru Terintegrasi Berbasis Kompetensi.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.

Suyatno. 2005. Permainan Penunjang Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grasindo.

Shor, Ira dan Freire, Paolo. 2001. Menjadi Guru Merdeka, Petikan Pengalaman. (terjemahan Nashir Budiman). Jogyakarta: LKIS.

Guru dengan Ilmu Jet Li


Technorati Profile

Oleh Suyatno

Lihatlah Jet Le, dia pandai memainkan jurus kapan pun dan di mana pun dengan aneka jurus berdasarkan konteksnya sehingga memenangkan pertandingan demi kebaikan dan nilai kepahlawanan. Jika musuhnya menggunakan jurus ular, Jet Li mengimbangi jurus tersebut dengan jurus elang. Jika musuhnya menggunakan jurus sengatan lebah, Jet Li menggunakan jurus asap. Begitulah, seterusnya Jet Li memberikan tingkat penyesuaian yang tinggi.
Begitu pula, guru inovatif hendaknya selalu mampu memainkan berbagai jurus metodenya untuk mencapai tujuan belajar siswa. Guru tidak hanya berkutat pada empat jurus saja, yakni ceramah, diskusi, tanya jawab, dan penugasan melainkan dia harus mempunyai stok jurus metode yang sangat banyak. Dengan demikian, dalam kondisi apapun, guru dapat memainkan pembelajaran secara menarik dan menyenangkan bagi pembelajar. Guru yang beraneka jurus yang demikian itu layak disebut sang master.
Kenalilah karakter siswa kemudian kenalilah arah pembelajaran. Setelah itu, tentukan jurus apa yang akan digunakan setelah melihat konteks belajarnya. Andai jurus yang digunakan ternyata terhalang oleh hujan, sang guru dapat memilih jurus lain asalkan siswa dapat mencapai tujuannya. Oleh karena itu, guru tidak perlu terpaku dan terlena hanya di jurus tertentu saja.
Guru bukanlah pengikut aliran sehingga tidak perlu fanatik terhadap sebuah jurus. Guru itu pengguna jurus. Sebagai pengguna jurus, guru bebas untuk memilih dan menggunakan jurus apa saja yang penting pembelajaran dapat mencapai tujuan dengan cara menarik dan menantang bagi siswa. Bagaimana komentar Anda?

Media Flip Chart

Technorati Profile
Oleh Suyatno

Flip Chart merupakan media yang cukup lama digunakan dalam metode ceramah dalam setiap variasi presentasinya. Namun, media tersebut dapat digunakan dalam metode pembelajaran inovatif apapun karena fungsinya sebagai media. Bahkan, flip chart dapat dikatakan sebagai teknik karena aplikasi pembelajaran di kelas bertumpu pada flip chart tersebut. Lalu, bagaimanakah flip chart itu?
Flip chart adalah kumpulan ringkasan, skema, gambar, tabel yang dibuka secara berurutan berdasarkan topik materi pembelajaran. Bahan flip chart biasanya kertas ukuran plano yang mudah dibuka-buka, mudah ditulisi, dan berwarna cerah. Untuk daya tarik, flip chart dapat dicetak dengan aneka warna dan varasi desainnya.
Cara penggunaan flip chart bergantung metode apa yang akan digunakan. Kalau metode ceramah, flip chart langsung dibuka sesuai dengan topik pembicaraan untuk diterangkan atau ditulisi hal-hal yang perlu dituliskan. Untuk metode kuantum, flip chart dapat berupa nyanyian, kata-kata bijak, atau apa saja yang mendukung kemeriahan kelas dan bukan merupakan pusat konsentrasi belajar siswa. Flip chart tidak langsung digunakan melainkan dapat menjadi variasi penekanan materi ajar. Dalam metode CTL, flip chart dapat dipakai sebagai gambar model untuk dikonstruksi pembelajar sehingga mendapatkan inkuirinya setelah menggali informasi gambar flip chart melalui berbagai pertanyaan belajar. Begiulah seterusnya.
Jauh sebelum teknologi OHP, slide film, dan LCD memasuki ruang belajar, flip chart sudah digunakan untuk media presentasi guru. Sampai saat ini, flip chart juga masih digunakan karena kepraktisannya. Ketika pembelajaran di alam terbuka yang jauh dari aliran listrik, flip chart sangat tepat untuk membantu presentasi guru. Bendel flip chart mudah dibawa ke mana saja bergantung tempat presentasi. Suyatno