Selasa, 16 November 2010

Serial Guru di Mata Mbok Siti segera Dibukukan

Akibat banyak permintaan dari kawan-kawan yang turut menikmati serial Guru di Mata Mbok Siti, serial itu akan dibukukan sebagai kenangan dan bermanfaat bagi guru-guru lainnya. Tentu, buku serial itu akan menarik jika para pembaca memberikan komentar di sembarang seri. Komentar itu, nantinya juga akan turut dimasukkan ke dalam buku.

Garduguru yakin, para pembaca dan penikmat serial pendidikan itu mempunyai banyak persepsi dan pandangan yang berangkat dari serial itu. Untuk itu, sangat tepat jika komentar itu dituangkan ke dalam salah satu serial panjang.

Seri ke-100 sangat dekat untuk dinikmati. Jadi, mulai sekarang sudah ancang-ancang untuk menata serial itu agar segera terbit. Janji garduguru, jika sudah sampai 100 seri, serial akan diterbitkan.

Komentar Anda ditunggu.

Guru di Mata Mbok Siti (88)

Setelah air bergelombang keras dalam panci di atas tungku batu bata itu, Mbok Siti bergegas mengambilnya dengan gayung batok kelapa untuk dimasukkan ke gelas yang di dalamnya sudah terdapat bulir teh dan gula. Aku bergegas mengambil alih tugas itu dengan memasukkan ke gelas. Mbok Siti hanya tersenyum.

"Ini teh manis yang ternikmat, Mbok", pujiku. Lalu, aku mencoba untuk mendinginkan teh manis itu ke atas piring karena memang benar-benar panas. Kuseruput pelan-pelan dengan mulutku yang sudah tidak tahan untuk menikmati teh manis itu. Terasa segar air teh manis sedikit panas terasa di perut ini.

"Kalau masih ingin, buat lagi ya anakku", kata Mbok meminta agar aku membuat lagi. Aku tersipu. Namun, aku membuat lagi karena dorongan ingin menikmati teh manis kembali.

"Rasa teh ini sempurna", gumamku.

 "Teh manis itu memang nikmat jika di minum saat mendung begini, anakku", kata Mbok Siti. Kenikmatan seperti itulah yang juga harus diciptakan guru ketika meramu bahan ajar, media, tempat, dan kegembiraan murid-murid. Murid pasti akan ketagihan akan kenikmatan belajar yang diciptakan oleh guru. Kepandaian guru meramu sajian mengajar menjadi sebuah kekuatan yang mampu menanamkan kesan di ingatan murid. Sampai kapan pun, murid akan membawa kesan itu dan kesan yang dibawa ditambatkan dalam perilaku murid dalam kehidupan kelak.

Guru di Mata Mbok Siti (87)

Begitu hangatnya ketika mendung aku duduk di depan perapian di dapur berlantai batu bata tua rumah Mbok Siti. Di perapian itu, entah berapa kali masakan telah dimatangkan sehingga nikmat di santap. Sungguh nikmat memegang kayu untuk dimasukkan ke lorong kecil berabu dan merah jingga api bernapas di tungku tua itu. Aku membalik kayu berkali-kali untuk melihat pertama api memerahkan sinarnya dari dinding kayu belah.

"Tungku ini sudah teramat tua, setua rumah ini, anakku", kata Mbok Siti sambil tersenyum melihat tingkahku memegangi kayu bakar. Berkat tungku itu, api dan kayu bekerja sama untuk memberikan energi panas yang dapat mengubah makanan mentah menjadi matang. Andai tidak ada tungku ini, api di kayu bakar tidak akan terfokus sehingga panasnya ke mana-mana. Begitu pula, guru haruslah dapat menjadi tungku yang baik sehingga mampu menyatukan energi muridnya dengan energi materi pelajaran menjadi sebuah kekuatan yang dapat mematangkan jiwa dan pikiran murid itu sendiri.

Guru di Mata Mbok Siti (86)

"Anakku, jadilah guru yang mampu masuk ke relung hati muridmu bukan  mampu masuk hanya ke pikiran dan alat indra muridmu", kata Mbok Siti mantap sambil mengumpulkan kayu bakar. Aku hanya diam sambil memahami isi pernyataan bermakna itu. Pernyataan seperti inilah yang membuatku terus berguru ke Mbok Siti meskipun wanita tua itu tidak bergelar sarjana bahkan doktor. Menurutku, semua orang itu guru jika mampu memberikan sesuatu. Mbok Siti inilah sang guru pribadiku.

"Dalam relung hati murid terdapat jiwa yang berkembang dari waktu ke waktu sehingga membentuk karakter dasar muridmu", tegas Mbok Siti saat meletakkan kayu bakar di sisi dapur. Lalu, wanita berpakaian sederhana itu duduk beralaskan batu bata di depan perapian. Aku juga segera duduk dengan mengambil batu bata sebagai alas dudukku.

"Kemampuan masuk ke relung hati siswa merupakan hal yang teramat penting dikuasai guru dengan cara praktik langsung bukan menghapalkannya", ujarnya. Lihat saja, banyak orang yang pikiran dan fisiknya bagus tetapi tidak punya jiwa sehingga mudah terombang-ambing antara berbuat baik dan berbuat jahat. Pada akhirnya, orang itu lebih mengarah ke perbuatan jahat karena angin jahat lebih kuat daripada angin baik. Tugas guru adalah memantapkan jiwa anak untuk berkembang di jalur baik sehingga murid itu kuat karakter baiknya.

Guru di Mata Mbok Siti (85)

Aku curiga dengan keberadaan Mbok Siti hari ini setelah kulihat rumah tutup tapi lampu depan masih menyala. Ada apa? Tidak biasanya, pukul 10 siang, rumah Mbok Siti masih menutup diri dari campuran udara dan sinar matahari siang ini.

Aku ketuk pintu pelan-pelan dengan bersuara sedikit keras untuk menyampaikan salam. Tiba-tiba, ada suara dari dalam, "Masuk, Nak. Dorong saja pintu itu", ujar Mbok Siti lirih. Pasti ada apa-apa, gumamku. Benar juga, ternyata Mbok Siti berbaring sakit.

"Mbok. Sakit apa, Mbok?" tanyaku.

"Enggak sakit, nak. Hanya sedikit kelelahan", jawab Mbok sambil sedikit menutupi kalau sakit. Aku yakin, Mbok Siti sedang sakit karena wajahnya pucat buram, tubunya tergeletak seakan susah diangkat, dan suaranya sangat lemah.

"Tidak usah risau, anakku", katanya lagi. Kadang orang harus berada dalam kondisi istirahat untuk menempatkan diri pada posisi merenung, melihat, dan memelihara diri sendiri. Kalau tidak kita sendiri yang melihat dan merasakan, lalu, siapa yang akan merasakan? Begitu pula, guru juga sekali waktu perlu beristirahat untuk berada dalam posisi merenung sehingga dapat melihat, merasakan, dan mengenali perubahan diri. Lalu, ketika, sehat, hasil renungan diri itu menjadai penyegar tindakan guru dalam beraktivitas.

"Sudah minum obat, Mbok?" tanyaku menganjurkan.

"Sudah, anakku. Obat itu sudah saya minum sesuai anjuran dokter. Sekarang sudah agak lumayan perkembangan sakit ini", kata wanita yang tidak pernah mengeluh itu.

Kamis, 04 November 2010

Guru di Mata Mbok Siti (84)

Pohon mangga di kiri rumah Mbok Siti menggiurkan hati. Betapa tidak. Buah ranum besar-besar dan menua menantang tangan untuk memetiknya. Apalagi, buah itu sangat pendek yang dapat dijajah oleh tangan sependek apapun. Aduhai menantang untuk dikuasai rasa manisnya. Aku tertegun lama melihatnya namun tak jua mulut berucap meminta ke Mbok Siti.

"Kalau ingin buah mangga, ambil saja, anakku", kata Mbok Siti dengan kalem. Aku terkaget-kaget dan langsung memberikan mimik meminta tanpa ucap apapun. Aku langsung meraihnya.

"Buah itu wujud kebanggaan pohon mangga yang telah mampu menghasilkan buah untuk dinikmati manusia", ujar Mbok yang sederhana itu. Pohon mangga itu menampakkan keikhlasan ketika buah mangga tidak menjadi miliknya lagi. Begitu pula, guru harus mampu sampai taraf menghasilkan buah yang bermanfaat berupa siswa yang matang dengan ikhlas, sabar, dan melaju. Meskipun, pohon mangga itu, mungkin, sebelumnya tidak pernah berbuah. Pohon itu sangat sabar dan ikhlas melaju tumbuh bersama waktu.

Sastra Anak, Mau Dibawa ke Mana?

Inilah fakta yang membanggakan Indonesia dari sudut kekuatan potensi anak-anak dalam menulis. Betapa tidak. Saat ini, bermunculan sastra karya anak-anak secara menggila karena ada ratusan judul cerpen, puisi, dan novel karya anak-anak baik yang dibukukan maupun dimuat di media massa. Jika dikatakan revolusi, inilah revolusi menulis di Indonesia dari sisi usia dini sudah berkarya. Lihat saja, Fais sebagai penulis puisi, Ataka penulis novel berseri, Izzati penulis novel paling prduktif, Aini penulis cerpen, dan anak-anak lainnya. Mereka bertubi-tubi menghiasi jagat sastra anak di Indonesia.
Tentunya, semua pihak berharap bahwa di dunia anak harus terus bergulir karya-karya sastra sampai kapan pun sehingga mampu menghiasi dunia sastra anak di Indonesia. Jangan sampai, hadirnya sastra anak karya anak tersebut hanya sebatas euforia atau kegembiraan sesaat saja untuk saat ini. Lalu, ke depan, sastra anak karya anak menyusut bahkan tenggelam di makan perkembangan zaman. Perlu diingat, gangguan kreativitas juga menyerbu anak-anak Indonesia melalui budaya instan, konsumerisme, pragmatis, dan nina bobok. Gangguan kejam yang dapat memasung kreativitas anak itu perlu dihalangi bahkan dijauhkan dari kehidupan sejati anak-anak.
Lalu, resep apakah yang mampu melanggengkan kreativitas anak-anak dalam tulis-menulis sehingga muncul tersendiri aliran sastra karya anak? Bagaimanakah resep itu mampu menjawab secara jitu ketakutan akan perkembangan sastra anak karya anak? Jawabnya, ada di pundak generasi Indonesia semuanya. Ingatlah bahwa anak-anak merupakan pilar pelapis masa depan bangsa karena hidup selalu berkembang dan bergantian.