Rabu, 24 Februari 2010

Anak Jalanan dan Eksklusi Sosial

Oleh John Haba, Peneliti PMB-LIPI
(Sumber : Suara Pembaruan, 26 Januari 2010)

Anak jalanan (anjal), sudah lama menyita perhatian penentu kebijakan di Departemen Sosial dan pemerintahan daerah di kota-kota besar. Diasumsikan, jumlah anjal di 12 kota besar di Indonesia sebanyak 100.000 jiwa tahun 2009, dan jumlah terbesar diperkirakan berada di Ibukota. Anjal selalu terkait dengan kriteria yang dikenakan kepada mereka oleh pemerintah, yaitu anak yang berusia 5-18 tahun, yang menghabiskan sebagai besar waktunya di jalan, untuk mencari nafkah, atau berkeliaran di jalan raya atau tempat-tempat umum. Waktu yang dihabiskan sekitar 4 jam per hari, pola pengalokasian waktu serupa terus dilakukan hingga mereka menemukan sumber nafkah lain, atau lingkungan sosial yang dapat menampung mereka.

Eksistensi anjal terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarga, kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain. Terdapat empat tipe anjal yaitu: anjal yang masih tinggal dengan orangtua, anjal yang memiliki orangtua tetapi tidak tinggal dengan mereka, anjal yang tidak memiliki orangtua, tetapi tinggal dengan keluarga tertentu, dan anjal yang tidak memiliki orangtua dan tidak tinggal dengan keluarga. Pekerjaan utama anjal adalah pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanja di toko atau pasar dan peminta-minta.

Fenomena anjal ini serta-merta membangun pertanyaan, siapakah sejatinya yang mesti bertanggung jawab atas mereka? Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen, Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara". Diktum konstitusi ini jelas memberikan kewenangan pada negara untuk mengurus dan bukannya untuk menangkapi anjal. Atensi utama pada pemeliharaan, penanganan dan pemberdayaan, tampaknya belum dipahami secara merata di semua instansi pemerintah tentang mandat konsitusi untuk memperhatikan kelompok marginal; seperti fakir miskin dan anak telantar. Landasan konstitusional dengan indikator terukur tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34 Ayat 2 bahwa "Negara mengembangkan suatu jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".

Eksklusi Sosial

Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia agar lebih bermartabat, menjadi antitesis dengan kondisi objektif mutu hidup manusia Indonesia saat ini, dan secara khusus masa depan dan perlakuan terhadap anjal. Martabat (integrity) manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan, dan mutu hidup mayoritas manusia Indonesia yang masih di bawah standar minimum. Di Indonesia, jaringan sosial sangat minim dikembangkan lintas institusi negara, institusi keagamaan, institusi etnis, dan institusi golongan. Penangan fakir miskin dan anjal masih menjadi dominasi lembaga pemerintah (Kementerian Sosial); dan institusi lainnya didaulat untuk ikut berpartisipasi, sebab ketiadaan dana, daya dan sumberdaya manusia yang memadai. Sekat-sekat kelembagaan dalam menangani kelompok marjinal, seperti anjal tampaknya belum berubah sejak rezim Orde Baru, di mana hegemoni dan dominasi negara begitu menonjol.

Keberadaan anjal dan fakir miskin tidak terlepas dari peranan dan kebijakan negara, yang belum tuntas dan komprehensif ditangani. Keberpihakan negara terhadap para pemilik modal, penguasa dan makelar tanah dan makelar kasus, tanpa berpihak pada anjal dan kelompok marjinal, berdampak pada semakin banyaknya warga negara Indonesia yang hidup tanpa martabat. Integritas tidak selalu harus dipertautkan dengan kepemilikan material, tetapi martabat mempunyai kaitan dengan hak-hak dasar manusia untuk diperlakukan dan ditangani secara manusiawi. Kebijakan yang berpihak kepada kelompok penguasa dan para kapitalis merupakan sumber bencana sosial, yang tidak kalah dahsyatnya dari bencana alam. Proses peminggiran masyarakat secara sistematik jelas tampak pada keberpihakan pemerintah pada para elit dan pemilik modal, dan menomorduakan Anjal dan fakir miskin. Proses yang direncanakan atau tidak direncanakan masuk ke ranah eksklusi sosial dengan dampak masif dan sulit diatasi, sebagaimana tantangan anjal bagi pemerintah saat ini.

Ambiguitas pendekatan terhadap anjal masih terasa parsial dan mengedepankan ego sektoral setiap institusi, yang belum sanggup disinergikan menjadi satu kekuatan nasional, untuk memerangi akar kemiskinan dan eksklusi sosial yang semakin parah. Program inklusi sosial untuk membawa balik anjal ke lingkungan hidup yang memadai sangat minim, dan penanganan saat ini terkesan kosmetik, dan tidak membedah akar permasalaham eksklusi sosial, termasuk anjal. Fungsi "Rumah Singgah" sebagai wadah berkumpul anjal hanyalah program sejenak dan tidak akan mereduksi akumulasi anjal, apabila kebijakan yang "pro poor", program inklusif bagi anjal dan fakir miskin tidak tersinergikan secara nasional, maka program penanganan Anjal akan terkesan populis. Nyatanya, keberadaan Anjal dan fakir miskin di Indonesia adalah juga buah dari pembangunan nasional yang parsial, temporer, dan sektoral semata.

Tips Kecil untuk mengencerkan Otak Siswa

Para ilmuwan dari University of California, Berkeley, AS, pernah meneliti otak tikus. Mereka menemukan, otak tikus tumbuh sebesar 4 persen saat mereka dipaksa menjalankan tugas mental setiap hari, misalnya mencari jalan keluar dari lorong yang berliku, memanjat tangga, dan bersosialisasi dengan tikus lain.

Nah, otak tikus saja bisa dilatih untuk tumbuh, apalagi otak manusia. Makin dilatih, otak kita pasti kian tajam. Kehilangan daya ingat dalam jumlah tertentu pada usia berapa pun adalah wajar, sama seperti terjadinya perubahan pada organ tubuh lain. Yang penting, jangan malas untuk rajin melatih otak kita agar daya ingat tetap kuat sepanjang masa.

Ini caranya:
1. Latih kemampuan mengamati. Perhatikan lingkungan sekitar. Rekam dalam pikiran apa yang Anda lihat, mulai dari yang paling sederhana dan diteruskan dengan observasi yang lebih rumit.

2. Asah indra. Bisa dilatih dengan membedakan rasa makanan yang disukai dan yang tidak. Menyadari bau dan aroma di sekitar atau bunyi-bunyian yang ada di jalan atau mungkin rasa panas atau dingin udara di sekitar Anda.

3. Hafalkan nama teman-teman dan pasangkan nomor teleponnya. Ada berapa yang bisa diingat? Latih supaya bisa mengingat lebih banyak.

4. Pelajari sesuatu yang baru. Banyak membaca dan berkenalan dengan hal-hal lain yang mungkin bukan bidang Anda, bisa bahasa asing, pengetahuan tentang komputer, dan lain-lain.

5. Gunakan tangan supaya mengikuti petunjuk otak. Misalnya bermain gitar, mengetik tanpa melihat tuts, mengerjakan prakarya dari kayu, atau berlatih menulis halus.

6. Tekuni hobi. Gunakan kesempatan untuk mengembangkan hobi Anda.

7. Pelajari dan hafalkan tanggal-tanggal penting, menyangkut anggota keluarga, teman, atau perayaan tertentu.

8. Hafalkan sesuatu yang Anda sukai. Bisa jadi itu puisi, lagu, kalimat dari sebuah buku atau kata-kata seseorang. Sebisa mungkin juga usahakan agar kalimat yang digunakan adalah bahasa asing.

9. Latihan menghafal urutan angka berderet panjang, misalnya 32145687390282930498. Ini adalah bentuk latihan memperbaiki daya ingat jangka pendek. Lakukan dengan mengelompokkan atau memecah bilangan itu menjadi beberapa bagian, misalnya 3214568 kemudian 7390282 dan terakhir 930498.

10. Ingat perjalanan pribadi. Apa yang sedang Anda kerjakan satu jam lalu, minggu lalu pada hari Rabu pukul 10.00, misalnya. Dengan siapa, di mana, dan seterusnya.

11. Ingat dan teliti ulang pengeluaran harian. Apa yang Anda beli kemarin? Berapa uang yang ada dalam dompet Anda sekarang? Kapan Anda terakhir mengambil uang tunai, dan seterusnya.

Latihan-latihan ini akan memungkinkan sel otak tetap aktif dan jaringan penghubung antarsel otak semakin rapat. Kegiatan mental yang menantang meningkatkan jumlah sirkuit aktif atau sinapsis dalam otak. Semakin banyak sirkuit, semakin banyak asosiasi, makin besar pula kemampuan mengingat. @ (sumber: Kompas. com/abd)

Sabtu, 13 Februari 2010

PAUD: Bermainlah Jangan Memberikan Pelajaran

Munculnya beragam sarana belajar prasekolah membuat orangtua seakan berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sana. Sayangnya tidak semua tempat tersebut memberi pengajaran sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Dikhawatirkan, hal ini bisa mengganggu perkembangan anak itu sendiri.

Usia 0-5 tahun dianggap sebagai masa kritis bagi anak. Masa tersebut sering diistilahkan sebagai golden years atau tahun emas bagi anak. Ini berarti bila pada usia tersebut diajarkan suatu nilai atau perilaku, ajaran tersebut akan lebih mudah diterima dan diserap oleh sang anak.

Tak heran kalau banyak orangtua kemudian mulai menyekolahkan anaknya sedari dini. Ketatnya persaingan untuk bisa masuk sekolah unggulan membuat orangtua merasa perlu mempersiapkan pendidikan yang lebih bagi anaknya.

Hal ini tidak sepenuhnya salah. “Hanya, prinsip mengikuti perkembangan anak tetap harus dipegang. Dengan begitu, orangtua tahu materi apa yang perlu diajarkan sesuai dengan usianya,” ujar Dra. Ike R. Sugianto, Psi., psikolog anak dari Klinik Anakku Jakarta.

Proses belajar bagi anak usia prasekolah, 0-6 tahun bukan dikategorikan sebagai belajar sesungguhnya yang meliputi membaca, menghitung, dan menulis. Bagi anak seusia tersebut, metode pengajaran harus dalam kerangka bermain.

Meski begitu, merangsang dan memperkenalkan pengetahuan dan keterampilan baru tetap bisa dilakukan. Anak bisa diperkenalkan pada olahraga hingga seni.

Lewat Permainan
Menstimulasi anak dengan pengetahuan sedari dini pun sebaiknya dilakukan tanpa paksaan. Cara mengajar yang benar, seperti lewat beragam permainan dan disesuaikan dengan kemampuan serta perkembangannya, akan membuat anak suka dan malah haus belajar.

Namun, kerap tidak disadari bahwa proses belajar yang tidak mengikuti perkembangan akan berdampak tidak baik bagi anak. Sebaliknya, bila pada masa itu anak mendapat stimulasi yang baik, perkembangannya pun akan menjadi baik. Stimulasi di usia dini dibutuhkan guna merangsang seluruh aspek yang ada pada anak. Maksudnya supaya talenta yang ada pada anak bisa dioptimalkan.

Salah satu bentuk rangsangan tersebut adalah lewat permainan. Menurut Dra. Mayke S. Tedjasaputra, MSi., psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan UI, bermain merupakan dunia kerja anak usia 0-6 tahun yang tergolong dalam early childhood atau anak usia dini.

Bermain termasuk rangsangan utama dalam perkembangan anak. Dengan bermain, secara tidak langsung anak belajar sesuatu. Bermain sambil belajar ini sesungguhnya bisa dilakukan sendiri oleh orangtua di rumah. Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan waktu, orangtua lantas mengalihkannya ke sebuah lembaga.

“Jadi, kalau ditanya apakah sekolah itu bagus bagi anak usia dini atau tidak, saya akan bilang bagus. Tentu saja selama metodenya benar,” ujar Ike.

Maksudnya, cara-cara yang diajarkan untuk anak berusia tiga tahun harus berbeda dengan yang berumur 5 tahun. Tidak boleh disamaratakan. Sebab, bila pendekatan yang diberikan sudah salah, anak tidak dapat berkembang dengan baik.

Harus Berjenjang
Pola stimulasi yang dilakukan terhadap anak juga harus dibedakan berdasarkan usia. Misalnya saja untuk belajar menulis. Sebelum menulis, anak harus dipersiapkan terlebih dahulu.

Caranya adalah dengan memberi rangsangan bagi anak usia 0-3 tahun agar koordinasi tangan menjadi lebih bagus. Hal ini bisa dilakukan dengan misalnya mengajak bermain lilin, memindahkan kancing, atau menyendok pasir.

Kemudian pada usia 3-4 tahun, anak mulai belajar memegang pensil. Anak usia ini juga bisa diajarkan untuk menyambung dua titik. “Tidak bisa misalnya anak berusia dua atau tiga tahun tiba-tiba sudah dipaksa untuk menulis. Bila hal ini terjadi, anak bisa stres dan akhirnya takut menulis,” kata Ike.

Itu sebabnya, Ike mengingatkan pentingnya stimulasi seluruh aspek yang ada pada anak secara berjenjang. Untuk bisa membaca dan menulis dibutuhkan banyak komponen, seperti koordinasi motorik halus dan kemampuan persepsi visual.

Obsesi orangtua yang menginginkan anaknya pintar membaca, menulis, dan berhitung juga mengambil porsi kesalahan dalam pendidikan prasekolah. Menilik alasannya, orangtua berharap agar anaknya sudah siap saat harus masuk sekolah dasar. Apalagi, saat ini banyak sekolah dasar yang melakukan tes masuk.

Tentu saja hal ini tidak tepat. Menurut Cara Djalil, Kepala Sekolah Kisdports Pondok Indah, Jakarta, biarlah proses belajar yang menyangkut membaca, menulis, dan berhitung dilakukan saat anak masuk sekolah dasar.

Belum Ada Kurikulum
Inti dari pendidikan prasekolah memang bermain dan bukan belajar. Dalam permainan itu tentu bisa saja disisipkan pembelajaran. Contohnya, saat anak bermain pasar-pasaran, tanpa disadari mereka mempelajari proses jual beli. Tidak hanya itu, mereka juga belajar mengenal sayur, buah, atau barang-barang yang ada di pasar, selain tentunya belajar berkomunikasi.

Sayangnya, sejauh ini menurut Ike, belum ada kurikulum nasional untuk masa prasekolah. Kondisi tersebut pula yang membuat kurikulum di setiap sekolah usia dini berbeda-beda. Tak sedikit dijumpai adanya tambahan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Mandarin bagi anak-anak prasekolah. Padahal, pemberian bahasa kedua bagi anak usia 0-7 tahun tidak sepenuhnya tepat.

“Saya tetap berpatokan bahwa bahasa ibu harus dikuasai terlebih dahulu. Setelah itu baru bisa mempelajari bahasa lain. Dan hal ini berlaku bagi anak yang tidak mempunyai gangguan verbal atau bahasa,” papar Ike. Dikhawatirkan ada anak-anak yang memiliki gangguan komunikasi, sehingga tidak bisa merangkai kata-kata dengan baik.

Banyak hal yang bisa didapat dari pendidikan prasekolah. Selain belajar bersosialisasi, anak juga belajar mengikuti instruksi secara massal serta melatih disiplin. Keadaan tersebut umumnya kadang tidak didapat dari pendidikan di rumah. Menurut lulusan Fakultas Psikologi UI ini, “Ya, kalau bisa dituntun secara detail dan disiplinnya pun diajarkan dengan baik di rumah, sebenarnya tidak ada masalah lagi.” @ Diana Yunita Sari

Calistung (Membaca, Menulis, dan Berhitung) Jangan Diajarkan di TK

Pengenalan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) tidak diperkenankan untuk diajarkan secara langsung sebagai pembelajaran kepada para anak didik di taman kanak-kanak.

Calistung harus dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan sambil bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Selain itu, juga tidak dibenarkan siswa TK dites dan diuji terlebih dulu untuk melanjutkan ke tingkat sekolah dasar.

Demikian ditegaskan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Suyanto kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (12/2/2010), terkait adanya pembelajaran calistung di TK dan tes uji anak didik TK sebelum masuk SD, terutama di sekolah-sekolah swasta.

"Tidak boleh ada calistung di TK kecuali diajarkan hanya pada tataran pedagogis saja, dan tidak benar kalau ada sekolah yang memberikan tes. Itu bukan praktik yang baik," ujar Suyanto.

Suyanto menuturkan, seperti tertuang dalam Surat Edaran dari Dirjen Dikdasmen Nomor: 1839/C.C2/TU/2009 yang ditujukan kepada para gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia, TK seharusnya hanya menciptakan lingkungan yang kaya dengan beragam bentuk keaksaraan yang akan lebih memacu kesiapan anak didiknya untuk memulai kegiatan calistung di tingkat lanjutan, yaitu sekolah dasar.

Dia menambahkan, pendekatan bermain sebagai metode pembelajaran di TK hendaknya disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik, yaitu secara berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih dominan) menjadi belajar seraya bermain (unsur belajar mulai dominan).

"Jadi, semacam tingkat persiapan sehingga anak didik tidak merasa canggung untuk menghadapi pendekatan pembelajaran pada jenjang pendidikan selanjutnya di SD," ujarnya.

Super Teacher Digagas Mahasiswa

Sekali menjadi guru, jadilah guru yang sebenar-benarnya guru. Jangan setengah-setengah atau hanya seolah-olah menjadi guru. Itulah yang dikehendaki mahasiswa FBS Unesa Surabaya sehingga muncul acara seminar nasional "Menjadi Guru kreatif, inovatif, dan inisiatif".

Seminar yang dilaksanakan Minggu, 13 Februari di Gedung Sawunggaling Kampus Unesa di Lidah Wetan menghadirkan pakar pendidikan Dr. Suyatno, M.Pd.; pakar budaya, Prof. Dr. Budi Darma, M.A.; dan pakar enterpreneur pendidikan Guntur dari UKM di Surabaya. Peserta yang 700 orang itu terpukau dan merasa yakin menjadi guru yang benar-benar guru.

Pada kesempatan itu pula, hadir rektor Unesa yang memberikan sambutan dan sekaligus membuka seminar. "Pendidikan harus berada di jalur pembentukan karakter bangsa dan budi pekerti yang akhlakul karimah", kata Prof. Dr. Haris Supratno, rektor Unesa.

Jumat, 05 Februari 2010

IPDN Reformasi Pola Pendidikannya

Reformasi di internal IPDN terjadi setelah mencuatnya kabar tewasnya praja IPDN, Cliff Muntu, pada 2007 silam. Peristiwa ini menyentakkan publik, termasuk presiden ketika itu. Melalui rapat kabinet, kemudian diputuskan beberapa kebijakan mendasar, diantaranya merubah kurikulum IPDN dan menghentikan penerimaan praja baru selama setahun.

Kini Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) terus berbenah diri. Perbaikan kurikulum pengajaran disempurnakan untuk menghilangkan praktik kekerasan yang selama ini telah dianggap sarat dengan IPDN. Jadi, kini sudah ada kurikulum pengajarannya sendiri, begitu juga pengasuhan dan pelatihannya.

Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi, di Sumedang, Kamis (4/2/2010) menuturkan, kurikulum pengajaran di IPDN kini telah dirombak total dari tiga tahun sebelumnya. Hubungan antara aspek akademik serta pengasuhan yang dulunya saling mengintervensi, kini menjadi saling mengisi.

"Jadi, kini sudah ada kurikulum pengajarannya sendiri, begitu juga pengasuhan dan pelatihannya. Pola hubungannya konsentrat, saling mengisi satu sama lainnya. Dahulu kan hanya bersinggungan. Makanya sering terjadi bentrokan satu sama lain, saatnya kuliah malah bentrok dengan pengasuhan, dan lain sebagainya," paparnya.

Dengan pola kurikulum yang baru ini, aspek pengajaran, pengasuhan dan pelatihan ditempatkan sama-sama pentingnya. Dahulu, sebelum sistem kurikulum IPDN dirombak total, yang lebih mendominasi adalah pengasuhan. Aspek yang satu ini menguasai lebih separuh waktu praja di lingkungan kampus.

"Sekarang, pengasuhnya pun dari unsur profesional. Ada standar kompetensinya," ujarnya. Standar kompetensi yang sama juga diterapkan di unsur staf dosen dan pelatih. Dulu, mereka yang bekerja sebagai pengasuh pada umumnya adalah alumni jebolan IPDN yang tidak dibekali kompetensi khusus.

Menurut Nyoman, IPDN masih sangat dibutuhkan sebagai lembaga pendidikan kepamongprajaan yang menghasilkan para lulusan yang akan menjadi kader aparatur di dalam negeri, khususnya dalam konteks otonomi daerah.

"Di tingkat I, mereka (praja) dituntut mahir di dalam urusan pemerintahan tingkat desa. Tingkat II di Kecamatan. Tingkat III, paham tentang aspek pemerintahan dan manajemen. Lalu, di tingkat IV, yang terakhir, mahir di dalam urusan pemerintahan provinsi dan nasional serta menjadi problem solver (pemecah masalah) di dalam kaitannya dengan otda," papar Nyoman menjelaskan standar tingkatan kompetensi yang ingin dicapai dari tiap praja. (Sumber: Kompas.com)

Cara Terapkan Pembelajaran Budi Pekerti

Banyak cara menerapkan ilmu budi pekerti di sekolah. Hanya saja, cara-cara itu harus dengan pendekatan-pendekatan yang bisa membuat anak didik selalu berinteraksi dengan baik di sekolah, baik itu dengan guru maupun teman-temannya. Anak diajarkan secara langsung tentang pentingnya mental berkompetisi yang harus menjunjung tinggi kreatifitas dan sportifitas.

Demikian dikatakan oleh sosiolog Fisip Universitas Indonesia Paulus Wirutomo kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (5/2/2010). Olahraga misalnya, kata Paulus, punya dampak pendidikan budi pekerti yang baik, sehingga lucu dan aneh jika ada sekolah yang tidak bisa memfasilitasi anak didiknya berolahraga.

"Olahraga akan mengembangkan sportifitas si anak. Dengan memainkan sepakbola atau bola basket misalnya, anak akan diajarkan secara langsung betapa pentingnya berkompetisi yang menjunjung tinggi kreatifitas dan sportifitas," ujarnya.

Pendidikan lingkungan yang diberikan secara langsung juga sangat tepat dijadikan sebagai media ajar ilmu budi pekerti. Sebutlah misalnya, kata dia, pendidikan lingkungan yang dimasukkan dalam mata pelajaran biologi dan ilmu sosial.

"Ketika si guru berbicara soal menyayangi tanaman atau hewan, di situlah nilai-nilai moral bisa dimasukkan. Ketika bicara soal air, guru bisa berbicara soal menjaga lingkungan sungai, di mana ikan-ikan di sungai akan mati jika sungai dicemari sampah atau zat kimia," kata Paulus.

Selain olahraga dan lingkungan, kesenian juga menjadi bagian yang tak bisa disepelekan oleh guru dan sekolah. Berkesenian, menikmati kesenian, serta memelihara kesenian itu sendiri akan menjadi tahapan anak didik dalam menyelami ilmu budi pekerti.

"Seni itu akan menjadi penyeimbang mereka dari bidang akademik. Emosinya akan terjaga oleh seni, daya imajinasi dan kreatifitasnya juga akan muncul karena terbiasa memainkan produk-produk seni, dan keinginannya menjaga seni dari kepunahan pun dengan sendirinya akan muncul," ujar Paulus.

Untuk itu, Paulus menambahkan, menerapkan ilmu budi pekerti tidak cukup dengan menyiapkan hanya fasilitas fisik saja, melainkan juga kreatifitas para tenaga pendidiknya. "Dan kurikulum di sekolah pun harus memfasilitasinya dengan baik, apalagi karena ilmu budi pekerti ini perlu diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran," tambahnya.(Sumber: Kompas.com)

Metode Membaca dan Menulis Tepat untuk Siswa Perempuan

Jika siswa laki-laki tidak suka ceramah, siswa perempuan malah suka dengan metode ceramah yang pada akhirnya dilanjutkan ke kegiatan membaca dan menulis. Gurian menyebutkan bahwa otak anak perempuan penuh rahasia. Beberapa rahasia di balik otak anak perempuan menurutnya antara lain:

- Corpus callosum atau penghubung jaringan antar bagian otak pada perempuan rata-rata lebih besar hingga 25 % pada saat akil balig. Ini memungkinkan terjadikan komunikasi saling-silang dalam otak yang membuat mereka kerap berkomunikasi sendiri.

- Memiliki konektor lebih kuat dalam lobes atau salah satu bagian dari otak. Manfaat konektor ini memungkinkan seorang anak perempuan menyimpan memori sensualitas lebih detil dan punya kemampuan mendengar dan membedakan nada suara dengan lebih baik. Tak heran, mereka lebih terampil dalam mengerjakan tugas-tugas tertulis.

- Memiliki hippocampus atau area penyimpan memori dalam otak yang lebih besar. Ini sangat menguntungkan bagi kemampuan belajar anak perempuan, terutama untuk pelajaran bahasa.

- Selain lebih aktif, prefrontal cortex atau bagian otak lain dari seorang anak perempuan juga berkembang lebih awal. Hal tersebut cenderung menjadikan anak perempuan tidak impulsif.

- Anak perempuan lebih mudah mengatur emosi dan bicaranya, karena mereka lebih sering menggunakan area korteks.

Berdasarkan pengamatannya dari beberapa rahasia di balik otak anak perempuan itu, Gurian menyimpulkan, tentu sangat bisa dimengerti jika anak perempuan lebih cakap membaca dan menulis. Hal itu bisa dibuktikan pada anak perempuan sejak mereka balita dan sepanjang usianya dewasa.

Membaca dan menulis tidak akan menyulitkan seorang anak perempuan. Mereka bisa duduk tenang lebih lama, mendengar dan mengenali nada suara, serta berbicara dalam hati.

Di sisi lain, dengan volume darah yang mengalir ke otak perempuan lebih banyak 15 persen dari otak laki-laki, hal itu sangat mendorong otak mereka dengam mudah melalui proses-proses stimulasi, membaca dan menulis, yang melibatkan tekstur, nada suara, serta aktivitas kejiwaannya dengan baik.

Siswa Laki-Laki Tidak Suka Metode Ceramah

Ternyata, siswa laki-laki sangat tidak suka dengan guru yang mengajar melalui cara ceramah. Gurian, dalam bukunya berjudul Boys and Girls Learn Differently!: A Guide for Teachers and Parents, menuturkan bahwa perbedaan struktur otak antara anak laki-laki dan perempuan sangat berperan besar memengaruhi pola belajar dan kerja otak mereka masing-masing. Namun begitu, sebetulnya perbedaan itu tidak berlaku secara mutlak pada semua kasus dan tidak ada yang buruk dari semua perbedaan itu.

Seperti halnya otak anak perempuan, otak anak laki-laki pun punya misteri. Area korteks SISWA LAKI-LAKI lebih banyak dimanfaatkan sebagai fungsi spesial mekanis, anak laki-laki akan lebih suka menggerakkan obyek, mulai dari bola, mainan, atau bahkan tangan dan kakinya sendiri.

Otak pada anak laki-laki tidak hanya memiliki lebih sedikit serotonin, melainkan juga oxytocin atau zat pengikat. Zat inilah yang menurut Gurian menyebabkan anak laki-laki bersikap lebih impulsif, yang jelas-jelas berlawanan dengan sikap perempuan, yang bisa duduk tenang curhat pada sahabatnya.

Gurian menyimpulkan, otak siswa laki-laki dibentuk untuk melakukan pembaharuan dan reorientasi setelah sebelumnya harus melewati tahap istirahat (rest). "Inilah perbedaan nyata yang mudah sekali terlihat. Hal itu karena aliran darah ke dalam otak anak laki-laki bukan saja lebih sedikit, tetapi juga didesain tersegmentasi," kata dia.

Tidak heran, kata Gurian, anak laki-laki mudah sekali mengantuk. Gurian menambahkan, otak anak laki-laki cenderung lebih cocok mengenali simbol, bentuk-bentuk abstraksi, diagram, gambar, dan obyek bergerak ketimbang kata-kata yang monoton. Bagi seorang anak laki-laki, metode ceramah akan diartikannya sebagai waktu istirahat.

Untuk itu, Gurian menyimpulkan, misteri-misteri yang ada di balik rahasia otak anak laki-laki tersebut akan menyebabkan mereka:
-lebih unggul dalam Matematika dan Fisika, terutama ketika subyek itu diajarkan secara abstrak di depan kelas
-lebih tertarik pada permainan-permainan (games) ketimbang perempuan
-mudah terlibat masalah karena sifatnya yang impulsif
-mudah atau cepat bosan
-tak mampu menjadi pendengar yang baik
-tidak telaten memenuhi tugas
-kurang cocok belajar secara verbal yang selama ini kerap terjadi di kelas-kelas (sekolah) konvensional yang lebih mengedepankan pola belajar satu arah

Wayang, Keris, dan Batik Indonesia Bersertifikat Dunia (Unesco)

Bangsa Indonesi perlu bangga karena warisan budaya tak benda yakni wayang, keris, dan batik mendapatkan pengakuan dunia melalui Unesco. Tentunya, pengakuan itu terus dijaga melalui apresiasi karya melalui segala bidang, termasuk pendidikan di sekolah. Satu sertifikat lagi, yakni "Best Practices" untuk upaya pelestarian warisan budaya tak benda melalui pelatihan batik juga diberikan. Keempat sertifikat tersebut diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dari Unesco kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono untuk kemudian diserahkan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik di Kantor Kementerian Kesra, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat, 5 Februari 2010.

Dalam acara penyerahan sertifikat tersebut juga hadir Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu serta Ketua Harian Indonesia untuk UNESCO, Arif Rahman, dan perwakilan Menteri Pendidikan Nasional. Dalam sambutannya, Marty Natalegawa mengatakan, keempat sertifikat UNESCO tersebut merupakan penghargaan dari dunia yang hanya akan diberikan jika ada kesungguhan dari bangsa untuk menjaganya. Dikatakan Marty, warisan budaya Indonesia merupakan soft power Indonesia.

"Kami kementerian luar negeri akan terus mengedepankan kekayaan budaya Indonesia, soft power Indonesia ke dunia," ujarnya. Hal senada dikatakan Menko Kesra Agung Laksono. Selaku penerima sertifikat dia mengatakan, warisan budaya yang diakui harus dijaga dan diwariskan. Selain itu juga harus dipikirkan bagaimana warisan tersebut membawa manfaat bagi pengembangan ekonomi kreatif masyarakat. "Jika tidak dijaga, bisa saja sertifikat itu dimabil kembali," ujar Agung Laksono.

Pemerintah melalui Kementerian Kesra akan membentuk Kelompok Kerja Warisan Dunia untuk menangani situs warisan dunia dan mata budaya tak benda (Sumber: Kompas.com)

Kamis, 04 Februari 2010

Prinsip-prinsip Penelitian Tindakan Kelas

Tiga tahap PTK adalah prakarsa, pelaksanaan, dan diseminasi (Burns, 1999: 207-208). Butir-butir tentang prakarsa yang perlu dipertimbangkan dalam PTK Anda (Burns, 1999: 207):

1. Sejauh dapat dilakukan, agenda PTK tindakan hendaknya ditarik dari kebutuhan-kebutuhan, kepedulian dan persyaratan yang diungkapkan oleh semua pihak Anda sendiri, sejawat, kepala sekolah, murid-murid, dan/atau orangtua murid) yang terlibat dalam konteks pembelajaran/kependidikan di kelas/sekolah Anda;

2. PTK Anda hendaknya benar-benar memanfaatkan keterampilan, minat dan keterlibatan Anda sebagai guru dan sejawat;

3. PTK Anda hendaknya terpusat pada masalah-masalah pembelajaran kelas Anda, yang ditemukan dalam kenyataan sehari-hari. Namun demikian, hasil PTK Anda daapt juga memberikan masukan untuk pengembangan teori pembelajaran bidang studi Anda;

4. Metodologi PTK Anda hendaknya ditentukan dengan mempertimbangkan persoalan pembelajaran kelas Anda yang sedang diteliti, sumber daya yang ada dan murid-murid sebagai sasaran penelitian.

5. PTK Anda hendaknya direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara kolaboratif. Tujuan, metode, pelaksanaan dan strategi evaluasi hendaknya Anda negosiasikan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) terutama penelitian Anda, sejawat, murid-murid, dan kepala sekolah (yang mungkin diperlukan dukungan kebijakannya).

6. PTK Anda hendaknya bersifat antardisipliner, yaitu sedapat mungkin didukung oleh wawasan dan pengalaman orang-orang dari bidang-bidang lain yang relevan, seperti ilmu jiwa, antropologi, dan sosiologi serta budaya. Jadi Anda dapat mencari masukan dari teman-teman guru atau dosen LPTK yang relevan.

Dalam PTK, butir-butir pelaksanaan di bawah harus dipertimbangkan (Burns, 1999: 207-208):

1. Anda sebagai pelaku PTK hendaknya berupaya memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakannya. Upayakan mendapatkan dari pemimpin dukungan dan bantuan secara terus menerus dalam tahap-tahap pelaksanaan, diseminasi, dan tindak-lanjut penelitiannya.

2. PTK Anda selayaknya dilakukan dalam kelas sendiri.

3. PTK Anda akan berjalan dengan baik jika terkait dengan program peningkatan guru dan pengembangan materi di sekolah atau wilayah sendiri.

4. PTK Anda hendaknya dipadukan dengan komponen evaluasi.

Dalam tahap diseminasi PTK perlu dipertimbangkandua butir berikut (Burns, 1999: 208)

1. Bentuk pelaporan hasil penelitian tindakan ditentukan oleh audiens sasaran. Jika audiens sasarannya adalah guru-guru bahasa Inggris di SD, misalnya, bentuk laporannya berbeda dengan jika audiens sasarannya adalah pendidik guru bahasa Inggris di universitas.

2. Jaringan kerja dan mekanisme yang tersedia di dalam lembaga pendidikan Anda hendaknya digunakan untuk menyebarkan hasil penelitian terkait. Misalnya, penyebaran hasil penelitian dilakukan lewat simposium guru, sarasehan MGMP, atau seminar daerah.

Tantangan Guru di Kota Semakin Berat

Perkembangan tekhnologi yang pesat, kadang membuat kesenjangan sosial. Termasuk kesenjangan antara guru dan anak didiknya, terutama dalam penguasaan tekhnologi komonunikasi.

“Ini tantangan terberat guru-guru yang ada di kota, termasuk Surabaya, adalah kesenjangan pemahaman terhadap komunikasi. Makannya pemerintah Kota harus memfasilitasi para guru, untuk mendapatkan pelatihan dan upadate pengetahun tentang Informasi dan Tekhnologi”, kata Wakil Walikota Arif Afandi saat menjawab pertanyaan peserta Seminar Jaringan Masyarakat Pendidikan Jawa Timur di Wisma Guru Jawa Timur, 13 Desember 2009.

Arif yang ayah ibunya seorang guru, mengaku sangat paham kondisi guru tertutama yang ada di daerah-daerah. Namun sekarang, kondisi guru sudah lebih baik, terutama dari kesejahteraan. “Saya sudah pernah mengusulkan kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, agar masalah Guru Tidak Tetap (GTT) mendapat prioritas. Bukan langsung diterima sebaai PNS, tetapi benar-benar diperhatikan dan mendapat penanganan serius”, kata Calon Walikota Dari Partai Demokrat ini yang juga pernah mengusulkan masalah GTT ke mantan Juru Bicara Presiden, Andi Malarangeng.

Seminar dengan tema “Penguatan dan Perkembangan Demokratisasi di Jawa Timur” menghadirkan empat pembicara, yaitu Martono, Ketua Pusat Kajian Konstitusi, Ikwan Sumadi, Ketua PGRI Jawa Timur, Arif Afandi, Wakil Walikota Surabaya dan dari Bakaesban Pol Pemprop Jatim. “Saya heran, kenapa para guru mengankat tema Politik dalam seminar ini?” Tanya Arif Afandi .

Namun Ketua PGRI Jawa Timur, Ikhwan Hadi menjelaskan, bahwa guru juga harus melek politik. Meski dalam prakteknya dilarang menjadi simpatisan dan berpolitik praktis, pengetahuan dinamika politik di daerah sangat penting. “Jadi kalau guru terlibat dalam politik praktis memang tidak boleh. Namun saat memasuki bilik suara, uru harus menentukan pilihannya. Kalau tidak, justru guru masuk dalam jajaran golput dan itu tidak baik”, kata penggati H. Matajit itu.

Saat dibuka sesi Tanya jawab, para peserta justru banyak mengarahkan pertanyaan kepada Wakil Walikota Surabaya, Arif Afandi. Termasuk pola kebijakan terhadap nasib guru, jika terpilih menjadi wakikota Surabaya. “Menurut saya, masalah guru di Surabaya yang paling penting adalah managerialnya. Potensi guru tinggal mengelola, termasuk bagaimana memberi pengharagaan terhadap guru yang berprestasi. Sekarang kan era kopetitif, bagi mereka yang tidak berprestasi janan harap mendapatkan kenaikan pangkat atau pengharagaan lainnya”, kata mantan Pimred Jawa Pos ini.

Bahkan Arif merencanakan, ke depan Sekolah Dasar harus mempunyai Tata Usaha sendiri. Sedang masalah kebersihan sekolah, tidak harus merekrut pesururh sebagai PNS, melainkan bisa diberikan kepada rekanan. “Ini semata-mata memnfokuskan maslah, Guru sebagai pendidik janan sampai direpotkan masalah-masalah adimistratif”, kata Arif.

Kriteria Penelitian Tindakan Kelas

Benarkah PTk harus memenuhi kriteria tertentu? Benar. Seperti layaknya penelitian, PTK harus memenuhi kriteria validitas. Akan tetapi, makna dasar validitas untuk penelitian tindakan condong ke makna dasar validitas dalam penelitian kualitatif, yaitu makna langsung dan lokal dari tindakan sebatas sudut pandang peserta penelitiannya (Erickson, 1986, disitir oleh Burns, 1999). Jadi kredibilitas penafsiran peneliti dipandang lebih penting daripada validitas internal (Davis, 1995, disitir oleh Burns, 1999). Karena PTK bersifat transformatif, maka kriteria yang cocok adalah validitas demokratik, validitas hasil, validitas proses, validitas katalitik, dan validitas dialogis, yang harus dipenuhi dari awal sampai akhir penelitian, yaitu dari refleksi awal saat kesadaran akan kekurangan muncul sampai pelaporan hasil penelitiannya (Burns, 1999: 161-162, menyitir Anderson dkk,1994).

Validitas: demokratik, hasil, proses, katalitik, dan dialoguis

Validitas Demokratik berkenaan dengan kadar kekolaboratifan penelitian dan pencakupan berbagai suara. Dalam PTk, idealnya Anda, guru lain/pakar sebagai kolaborator, dan murid-murid Anda masing-masing diberi kesempatan menyuarakan apa yang dipikirkan dan dirasakan serta dialaminya selama penelitian berlangsung. Pertanyaan kunci mencakup: Apakah semua pemangku kepentingan (stakeholders) PTK (guru, kolaborator, administrator, mahasiswa, orang tua) dapat menawarkan pandangannya? Apakah solusi masalah di kelas Anda memberikan manfaat kepada mereka? Apakah solusinya memiliki relevansi atau keterterapan pada konteks kelas Anda? Semua pemangku kepentingan di atas diberi kesempatan dan/atau didorong lewat berbagai cara yang cocok dalam situasi budaya setempat untuk mengungkapkan pendapatnya, gagasan-gagasannya, dan sikapnya terhadap persoalan pembelajaran kelas Anda, yang fokusnya adalah pencarian solusi untuk peningkatan praktik dalam situasi pembelajaran kelas Anda. Misalnya, dalam kasus penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran bahasa Inggris, pada tahap refleksi awal guru-guru yang berkolaborasi untuk melakukan penelitian tindakan kelas, siswa, Kepala Sekolah, dan juga orang tua siswa, diberi kesempatan dan/atau didorong untuk mengungkapkan pandangan dan pendapatnya tentang situasi dan kondisi pembelajaran bahasa Inggris di sekolah terkait. Hal ini dilakukan untuk mencapai suatu kesepatakan bahwa memang ada kekurangan yang perlu diperbaiki dan kekurangan tersebut perlu diperbaiki dalam konteks yang ada, atau juga disebut kesepakatan tentang latar belakang penelitian. Selanjutnya, diciptakan proses yang sama untuk mencapai kesepakatan tentang masalah-masalah apa yang ada, yaitu identifikasi masalah, dan tentang masalah apa yang akan menjadi fokus penelitian atau pembatasan masalah penelitian. Kemudian, proses yang sama berlanjut untuk merumuskan pertanyaan penelitian atau merumuskan hipotesis tindakan yang akan menjadi dasar bagi perencanaan tindakan, yang juga dilaksanakan melalui proses yang melibatkan semua peserta penelitian untuk mengungkapkan pandangan dan pendapat serta gagasan-gagasannya. Proses yang mendorong setiap peserta penelitian untuk mengungkapkan atau menyuarakan pandangan, pendapat, dan gagasannya ini diciptakan sepanjang penelitian berlangsung.

Validitas Hasil mengandung konsep bahwa tindakan kelas Anda membawa hasil yang sukses di dalam konteks PTK Anda. Hasil yang paling efektif tidak hanya melibatkan solusi masalah tetapi juga meletakkan kembali masalah ke dalam suatu kerangka sedemikian rupa sehingga melahirkan pertanyaan baru. Hal ini tergambar dalam siklus penelitian pada Gambar 1 di bawah, di mana ketika dilakukan refleksi pada akhir tindakan pemberian tugas yang menekankan kegiatan menggunakan bahasa Inggris lewat tugas ‘information gap’, ditemukan bahwa hanya sebagian kecil siswa menjadi aktif dan sebagian besar siswa merasa takut salah, cemas, dan malu berbicara. Maka timbul pertanyaan baru, ‘Apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi agar siswa tidak takut salah, tidak cemas, dan tidak malu sehingga dengan suka rela aktif melibatkan diri dalam kegiatan pembelajaran?’ Hal ini menggambarkan bahwa pertanyaan baru timbul pada akhir suatu tindakan yang dirancang untuk menjawab suatu pertanyaan, begitu seterusnya sehingga upaya perbaikan berjalan secara bertahap, berkesinambungan tidak pernah berhenti, mengikuti kedinamisan situasi dan kondisi. (Mohon dicermati uraian masing-masing tahap dan kesinambungan masalah yang timbul). Validitas hasil juga tergantung pada validitas proses pelaksanaan penelitian, yang merupakan kriteria berikutnya.

Validitas Proses berkenaan dengan ‘keterpercayaan’ dan ‘kompetensi’, yang dapat dipenuhi dengan menjawab sederet pertanyaan berikut: Mungkinkah menentukan seberapa memadai proses pelaksanaan PTK Anda? Misalnya, apakah Anda dan kolaborator Anda mampu terus belajar dari proses tindakan tersebut? Artinya, Anda dan kolaborator secara terus menerus dapat mengkritisi diri sendiri dalam situasi yang ada sehingga dapat melihat kekurangannya dan segera berupaya memperbaikinya. Apakah peristiwa atau perilaku dipandang dari perspektif yang berbeda dan melalui sumber data yang berbeda agar terjaga dari ancaman penafsiran yang ‘simplistik’ atau ‘rancu’?

Dalam kasus penelitian tindakan kelas bahasa Inggris yang disebut di atas, para peneliti dapat menentukan indikator kelas bahasa Inggris yang aktif, mungkin dengan menghitung berapa siswa yang aktif terlibat belajar menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi lewat tugas-tugas yang diberikan guru, dan berapa banyak bahasa Inggris yang diproduksi siswa, yang bisa dihitung dari jumlah kata/kalimat yang diproduksi dan lama waktu yang digunakan siswa untuk memproduksinya, serta adanya upaya guru memfasilitasi pemelajaran siswa. Kemudian jika keaktifan siswa terlalu rendah yang tercermin dalam sedikitnya ungkapan yang diproduksi, guru secara kritis merefleksi bersama kolaborator untuk mencari sebab-sebabnya dan menentukan cara-cara mengatasinya. Kalau diperlukan, siswa yang tidak aktif didorong untuk menyuarakan apa yang dirasakan sehingga mereka tidak mau aktif dan siswa yang aktif diminta mengungkapkan mengapa mereka aktif. Perlu juga ditemukan apakah ada perubahan pada diri siswa sesuai dengan indikator bahwa para siswa berubah lewat tindakan pertama berupa pemberian tugas ‘information gap’ dan tindakan kedua berupa pembelakuan kriteria penilaian, dan perubahan pada diri guru dari peran pemberi pengetahuan ke peran fasilitator dan penolong. Begitu seterusnya sehingga pemantauan terhadap perubahan hendaknya dilakukan secara cermat dan disimpulkan lewat dialog reflektif yang demokratik.

Perlu dicatat bahwa kompetensi peneliti dalam bidang terkait sangat menentukan kualitas proses yang diinginkan dan tingkat kemampuan untuk melakukan pengamatan dan membuat catatan lapangan. Dalam kasus penelitian tindakan kelas bahasa Inggris yang dicontohkan di atas, misalnya, kualitas proses akan sangat ditentukan oleh wawasan, pengetahuan dan pemahaman sejati peneliti tentang (1) hakikat kompetensi komunikatif, (2) pembelajaran bahasa yang komunikatif yang mencakup pendekatan komunikatif bersama metodologi dan teknik-tekniknya, dan (3) karakteristik siswanya (intelegensi, gaya belajar, variasi kognitif, kepribadian, motivasi, tingkat perkembangan/pemelajaran) dan pengaruhnya terhadap pembelajaran bahasa asing. Jika wawasan, pengetahuan dan pemahaman tersebut kuat, maka peneliti akan dapat dengan lebih mudah menentukan perilaku-perilaku mana yang menunjang tercapainya perubahan yang diinginkan dengan indikator yang tepat, dan juga perilaku-perilaku mana yang menghambatnya.

Namun demikian, hal ini masih harus didukung dengan kemampuan untuk mengumpulkan data, misalnya melakukan pengamatan dan membuat catatan lapangan dan harian. Dalam mengamati, tim peneliti dituntut untuk dapat bertindak seobjektif mungkin dalam memotret apa yang terjadi. Artinya, selama mengamati perhatiannya terfokus pada gejala yang dapat ditangkap lewat pancainderanya saja, yaitu apa yang didengar, dilihat, diraba (jika ada), dikecap (jika ada), dan tercium, yang terjadi pada semua peserta penelitian, dalam kasus di atas pada peneliti, guru dan siswa. Dalam pengamatan tersebut harus dijaga agar jangan sampai peneliti melakukan penilaian terhadap apa yang terjadi. Seperti telah diuraikan di depan, perlu dijaga agar tidak terjadi penyampuradukan antara deskripsi dan penafsiran. Kemudian, diperlukan kompetensi lain untuk membuat catatan lapangan dan harian tentang apa yang terjadi. Akan lebih baik jika para peneliti merekamnya dengan kaset audio atau audio-visual sehingga catatan lapangan dapat lengkap. Singkatnya, kompetensi peneliti dalam bidang yang diteliti dan dalam pengumpulan data lewat pengamatan partisipan sangat menentukan kualitas proses tindakan dan pengumpulan data tentang proses tersebut.

Validitas Katalitik terkait dengan kadar pemahaman yang Anda capai realitas kehidupan kelas Anda dan cara mengelola perubahan di dalamnya, termasuk perubahan pemahaman Anda dan murid-murid terhadap peran masing-masing dan tindakan yang diambil sebagai akibat dari perubahan ini.

Dalam kasus penelitian tindakan kelas bahasa Inggris yang dicontohkan di atas, validitas katalitik dapat dilihat dari segi peningkatan pemahaman guru terhadap faktor-faktor yang dapat menghambat dan factor-faktor yang memfasilitasi pembelajaran. Misalnya faktor-faktor kepribadian (lihat Brown, 2000) seperti rasa takut salah dan malu melahirkan inhibition dan kecemasan. Sebaliknya, upaya-upaya guru untuk mengorangkan siswa dengan mempertimbangkan pikiran dan perasaan serta mengapresiasi usaha belajarnya merupakan faktor positif yang memfasilitasi proses pembelajaran. Selain itu, validitas katalitik dapat juga ditunjukkan dalam peningkatan pemahaman terhadap peran baru yang mesti dijalani guru dalam proses pembelajaran komunikatif. Peran baru tersebut mencakup peran fasilitator dan peran penolong serta peran pemantau kinerja. Validitas katalitik juga tercermin dalam adanya peningkatan pemahaman tentang perlunya menjaga agar hasil tindakan yang dilaksanakan tetap memotivasi semua yang terlibat untuk meningkatkan diri secara stabil alami dan berkelanjutan. Semua upaya memenuhi tuntutan validitas katalitik ini dilakukan melalui siklus perencanaan tindakan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.

Validitas Dialogik sejajar dengan proses review sejawat yang umum dipakai dalam penelitian akademik. Secara khas, nilai atau kebaikan penelitian dipantau melalui tinjauan sejawat untuk publikasi dalam jurnal akademik. Sama halnya, review sejawat dalam PTK berarti dialog dengan guru-guru lain, bisa lewat sarasehan atau dialog reflektif dengan ‘teman yang kritis’ atau pelaku PTK lainnya, yang semuanya dapat bertindak sebagai ‘jaksa tanpa kompromi’.

Kriteria validitas dialogis ini dapat juga mulai dipenuhi ketika penelitian masih berlangsung, yaitu secara beriringan dengan pemenuhan kriteria demokratik. Yaitu, setelah seorang peserta mengungkapkan pandangan, pendapat, dan/atau gagasannya, dia akan meminta peserta lain untuk menanggapinya secara kritis sehingga terjadi dialog kritis atau reflektif. Dengan demikian, kecenderungan untuk terlalu subjektif dan simplistik akan dapat dikurangi sampai sekecil mungkin. Untuk memperkuat validitas dialogik, seperti telah disebut di atas, proses yang sama dilakukan dengan sejawat peneliti tindakan lainnya, yang jika memerlukan, diijinkan untuk memeriksa semua data mentah yang terkait dengan yang sedang dikritisi.

Ciri Guru dengan Kepribadian Matang

Banyak guru yang mengajar dan mendidik, namun tidak banyak guru yang mempunyai kepribadian matang. Akibat guru tidak matang secara kepribadian, siswa menjadi objek tumpahan ketidakmatangan itu sehingga siswa tidak akan pernah meraih suksesnya.

Kepribadian yang matang merupakan label positif bagi guru yang dianggap telah mencapainya. Sayang, banyak guru tidak pernah berpikir menjadi matang. Padahal, kepribadian matang merupakan ukuran perkembangan kepribadian yang sehat bagi seorang guru.

Kepribadian yang matang diartikan secara berbeda-beda. Hal itu tercermin dari beberapa pendapat berikut ini. Matang diartikan sebagai kepribadian sabar, tidak berlebihan dalam mengekspresikan emosi, dan pandai mengelola hubungan dengan orang lain. Ada juga yang mengartikan kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan dengan bijaksana dan kemampuan memenuhi tugas-tugas perkembangan masa dewasa dengan baik, seperti memiliki pekerjaan dan filsafat hidup yang mantap, kondisi batin yang stabil, dan sebagainya. Berdasarkan kajian psikolog Gordon W. Allport (1897-1967)ciri guru dengan kepribadian matang sebagai berikut.

1. Perluasan Perasaan Diri
Ketika guru menjadi matang, ia mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri. Tidak cukup sekadar berinteraksi dengan sesuatu atau seseorang di luar diri. Lebih dari itu, ia harus memiliki partisipasi yang langsung dan penuh, yang oleh Allport disebut "partisipasi autentik".

Dalam pandangan Allport, aktivitas yang dilakukan harus cocok dan penting, atau sungguh berarti bagi orang tersebut. Jika menurut kita mengajar itu penting, mengerjakan pekerjaan itu sebaik-baiknya akan membuat kita merasa enak, dan berarti kita menjadi partisipan autentik dalam pekerjaan itu. Hal itu akan memberikan kepuasan bagi diri guru. Guru yang semakin terlibat sepenuhnya dengan berbagai aktivitas, orang, atau ide, ia lebih sehat secara psikologis. Hal ini berlaku bukan hanya untuk mengajar, melainkan juga hubungan dengan keluarga dan teman, kegemaran, dan keanggotaan dalam politik, agama, dan sebagainya.

2. Relasi Sosial yang Hangat
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang lain, yaitu kapasitas untuk mengembangkan keintiman dan untuk merasa terharu. Orang yang sehat secara psikologis mampu mengembangkan relasi intim dengan orangtua, anak, pasangan, dan sahabat. Ini merupakan hasil dari perasaan perluasan diri dan perasaan identitas diri yang berkembang dengan baik.

Jenis kehangatan yang lain, yaitu perasaan terharu, merupakan hasil pemahaman terhadap kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Guru sehat memiliki kapasitas untuk memahami kesakitan, penderitaan, ketakutan, dan kegagalan yang merupakan ciri kehidupan manusia.

Hasil dari empati semacam ini adalah kesabaran terhadap tingkah laku orang lain dan tidak cenderung mengadili atau menghukum. Orang sehat dapat menerima kelemahan manusia, dan mengetahui dirinya juga memiliki kelemahan. Sebaliknya, orang neurotis tidak mampu bersabar dan memahami sifat universal pengalaman-pengalaman dasar manusia.

3. Keamanan Emosional
Kualitas utama guru sehat adalah penerimaan diri. Mereka menerima semua segi keberadaan mereka, termasuk kelemahan-kelemahan, dengan tidak menyerah secara pasif terhadap kelemahan tersebut. Selain itu, kepribadian yang sehat tidak tertawan oleh emosi-emosi mereka, dan tidak berusaha bersembunyi dari emosi-emosi itu. Mereka dapat mengendalikan emosi, sehingga tidak mengganggu hubungan antarpribadi. Pengendaliannya tidak dengan cara ditekan, tetapi diarahkan ke dalam saluran yang lebih konstruktif.

Kualitas lain dari kepribadian sehat adalah "sabar terhadap kekecewaan". Hal ini menunjukkan bagaimana seseorang bereaksi terhadap tekanan dan hambatan atas berbagai keinginan atau kehendak. Mereka mampu memikirkan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama.

Guru yang sehat tidak bebas dari perasaan tidak aman dan ketakutan. Namun, mereka tidak terlalu merasa terancam dan dapat menanggulangi perasaan tersebut secara lebih baik daripada kaum neurotis.

4. Persepsi Realistis
Guru sehat memandang dunia secara objektif. Sebaliknya, Guru neurotis kerapkali memahami realitas disesuaikan dengan keinginan, kebutuhan, dan ketakutan mereka sendiri. Guru sehat tidak meyakini bahwa orang lain atau situasi yang dihadapi itu jahat atau baik menurut prasangka pribadi. Mereka memahami realitas sebagaimana adanya.

5. Keterampilan dan Tugas
Allport menekankan pentingnya mengajar dan perlunya menenggelamkan diri di dalam pekerjaan tersebut. Guru perlu memiliki keterampilan yang relevan dengan pekerjaannya, dan lebih dari itu harus menggunakan keterampilan itu secara ikhlas dan penuh antusiasme.

Komitmen pada orang sehat atau matang begitu kuat, sehingga sanggup menenggelamkan semua pertahanan ego. Dedikasi terhadap pekerjaan berhubungan dengan rasa tanggung jawab dan kelangsungan hidup yang positif. Pekerjaan dan tanggung jawab memberikan arti dan perasaan kontinuitas untuk hidup. Tidak mungkin mencapai kematangan dan kesehatan psikologis tanpa melakukan pekerjaan penting dan melakukannya dengan dedikasi, komitmen, dan keterampilan.

6. Pemahaman Diri
Memahami diri sendiri merupakan suatu tugas yang sulit. Ini memerlukan usaha memahami diri sendiri sepanjang kehidupan secara objektif. Untuk mencapai pemahaman diri yang memadai dituntut pemahaman tentang dirinya menurut keadaan sesungguhnya. Jika gambaran diri yang dipahami semakin dekat dengan keadaan sesungguhnya, individu tersebut semakin matang.

Demikian juga apa yang dipikirkan seseorang tentang dirinya, bila semakin dekat (sama) dengan yang dipikirkan orang-orang lain tentang dirinya, berarti ia semakin matang. Orang yang sehat terbuka pada pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran diri yang objektif.

Guru yang memiliki objektivitas terhadap diri tidak mungkin memproyeksikan kualitas pribadinya kepada orang lain (seolah orang lain negatif). Ia dapat menilai orang lain dengan seksama, dan biasanya ia diterima dengan baik oleh orang lain. Ia juga mampu menertawakan diri sendiri melalui humor yang sehat.

7. Filsafat Hidup
Guru yang sehat melihat ke depan, didorong oleh tujuan dan rencana jangka panjang. Ia memiliki perasaan akan tujuan, perasaan akan tugas untuk bekerja sampai tuntas sebagai batu sendi kehidupannya. Allport menyebut dorongan-dorongan tersebut sebagai keterarahan (directness).

Keterarahan itu membimbing semua segi kehidupan seseorang menuju suatu atau serangkaian tujuan, serta memberikan alasan untuk hidup. Kita membutuhkan tarikan yang tetap dari tujuan yang bermakna. Tanpa itu mungkin kita mengalami masalah kepribadian.

Kerangka dari tujuan-tujuan itu adalah nilai, yang bersama dengan tujuan sangat penting dalam rangka mengembangkan filsafat hidup. Memiliki nilai-nilai yang kuat merupakan salah satu ciri orang matang. Orang-orang neurotis tidak memiliki nilai atau memiliki nilai yang terpecah-pecah dan bersifat sementara, yang tidak cukup kuat untuk mempersatukan semua segi kehidupan.

Suara hati berperan dalam menentukan filsafat hidup. Allport mengemukakan perbedaan antara suara hati yang matang dengan suara hati tidak matang. Yang tidak matang, suara hatinya seperti pada kanak-kanak: patuh dan membudak, penuh larangan dan batasan, bercirikan perasaan "harus".

Guru yang tidak matang berkata, "Saya harus bertingkah laku begini." Sebaliknya, guru yang matang berkata, "Saya sebaiknya bertingkah laku begini." Suara hati yang matang adalah perasaan kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan orang lain, dan mungkin berakar dalam nilai-nilai agama atau etis.

Ajaklah Siswa Optimistis agar Otaknya Encer

Tokoh dalam film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi selalu digambarkan optimistis dalam segala hal di kehidupannya. Ujung-ujungnya, tokoh film itu encer otaknya. Rata-rata, orang yang bahagia saat ini karena dulunya sangat optimistis. Hal itu bukan muskil tetapi sebuah realitas. Andai guru mampu membingkai optimistis siswanya dengan baik sehingga mampu menatap mimpi masa depan dengan gembira tentu siswanya juga akan menuai keberhasilan.

Otak belakang yang jauh di belakang mata itu menjadi aktif ketika orang berpikir mengenai hal baik yang terjadi di masa depan. Semakin optimistis seseorang, area itu semakin cerah. Itu tampak dalam pemindaian otak sebagaimana dilaporkan ilmuwan dalam studi kecil yang dipublikasi secara online di The Journal Nature.

Bagian sama dari otak yang disebut rostral anterior cingulate cortex (rACC) kelihatan mengalami gangguan ketika orang depresi, demikian kata Elizabeth Phelps dari New York University dan Tali Sharot of University College London yang ikut dalam penelitian itu.

Para ahli dalam penelitian itu melakukan pemindaian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap 15 orang ketika mereka sedang memikirkan kemungkinan di masa depan. Ketika partisipan memikirkan soal kejadian baik, baik rACC maupun amigdala yang terlibat dalam respon emosi dan ketakutan diaktifkan. Namun, korelasi dengan optimisme terbesar ada pada cingulate cortex.

“Studi yang sama juga menemukan bahwa orang cenderung berpikir bahwa kejadian bahagia sudah dekat dan terlihat lebih jelas dibandingkan kejadian jelek, bahkan ketika mereka tidak punya alasan untuk mempercayainya,” sebut Phelps. Psikolog sudah lama menyebut itu sebagai bias optimisme, tetapi studi terbaru memberikan detail-detail baru. Ketika para peneliti meminta subjek untuk berpikir mengenai 80 kejadian berbeda di masa depan yang mungkin baik, buruk atau netral, mereka kesulitan berpikir negatif atau bahkan netral mengenai masa depan.

“Contohnya, ketika diminta memikirkan potongan rambut di masa depan, orang membayangkan potongan rambut terbaik dalam hidup mereka, bukannya potongan rambut biasa,” kata Phelps. “Studi itu dinilai masuk akal dan menarik bersama-sama bagian baru dan berbeda dari riset soal optimisme dan otak,” kata Dan Schacter, profesor psikologi dari Harvard University yang tak tergabung dalam penelitian itu.

Sebenarnya membiarkan otak untuk berpikir optimistis itu merupakan hal baik. “Sebab jika Anda pesimistis mengenai masa depan, Anda tidak akan termotivasi melakukan tindakan,” kata Phelps. Sudah saatnya, guru senantiasa berpikir positif dan membudayakan siswanya untuk optimistis.

Selasa, 02 Februari 2010

Kualitas Kepala Sekolah dan Pengawas Kurang

Upaya peningkatan mutu sekolah selama ini terganjal antara lain karena minimnya kualitas dan kemampuan kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam mengembangkan sekolah dan siswa. Untuk itu proses perekrutan dan seleksi kepala sekolah dan pengawas sekolah akan diperketat dengan mensyaratkan perlunya memiliki kemampuan managerial sebagai kemampuan dasar.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Sabtu (30/1/2010), mengakui peran pengawas sekolah belum optimal. Padahal peran pengawas sekolah lebih penting dan lebih kuat daripada pegawai di dinas pendidikan karena pengawas sekolah seharusnya memahami apa yang diperlukan dalam menilai kinerja secara akademik, managerial, dan kewirausahaan kepala sekolah.

"Fungsi pengawas sekolah ini yang belum kokoh. Hubungan pengawas sekolah dengan kepala sekolah juga belum sekohesif yang kita harapkan," kata Fasli seusai meluncurkan Program Penguatan Kemampuan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah 2010 di Jakarta.

Jika pengawas sekolah dibekali kemampuan supervisi yang berkualitas, kualitas kepala sekolah pun akan meningkat. Seperti halnya pengawas sekolah, menurut Fasli kepala sekolah juga harus dibekali kemampuan mengelola sekolah secara profesional sehingga akan terlihat perkembangan sekolahnya. Untuk memaksimalkan kemampuan kepemimpinan kepala sekolah, kata Fasli, kepala sekolah harus diberikan kebebasan sebagai manager pendidikan dan tidak terkooptasi oleh birokrasi dan politik. Jika terganggu oleh birokasi dan politik , kepala sekolah akan lumpuh dan tidak akan bisa optimal dalam mengembangkan kemampuan sekolahnya.

"Harus berani memisahkan mana yang nanti bisa masuk birokrasi dan mana yang otonomi di tingkat sekolah. Cukup diawasi oleh komite sekolah dan profesinya seperti kepala sekolah dan pengawas . Kegagalan kerap terjadi karena kepala sekolah dicampuri macam-macam," kata Fasli.

Kepala sekolah yang tidak mampu mengembangkan kemampuan sekolah dan anak didiknya akan berpengaruh pada pemberian insentif dan bantuan dana atau program dari pemerintah. " Kinerja yang buruk itu akan otomatis terkait dengan pembiayaan atau insentif lain seperti pemberian fasilitas laboratorium komputer, pelatihan di luar negeri, dan lain-lain. Kalau kepala sekolahnya canggih, guru pasti akan termotivasi dan tidak lagi malas," kata Fasli.

Sesuai fungsinya, kepala sekolah harus dapat memaksimalkan visi anak didik dan memanfaatkan berbagai peluang. Pasalnya, belajar bukan hanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan saja tetapi mengajak anak didik untuk belajar menjalani kehidupan. Oleh karena itu selain sebagai manager, kepala sekolah juga harus menjadi wirausaha pendidikan yang akan memaksimalkan sumber daya yang ada dan mencari sumber-sumber pembiayaan operasional sekolah di luar uang pembayaran dari siswa.

Regulasi
Untuk meningkatkan kualitas kepala sekolah dan pengawas sekolah, Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Surya Dharma menyebutkan pada tahun 2010 akan ada penguatan kemampuan 30.000 kepala sekolah dan pengawas sekolah.

Saat ini terdapat 250.000 kepala sekolah dan 25.000 pengawas sekolah di seluruh Indonesia. Selama tahun 2009 hingga sebelum 100 hari program kerja mendiknas, terdapat lebih dari 19.000 kepala sekolah yang dilatih. "Harapannya, di tahun 2014 tidak ada kepala sekolah yang tidak kita kenal kompetensinya. Mereka harus memberdayakan dirinya terus menerus," kata Surya. Upaya penguatan ini harus didukung regulasi yang mengatur tentang perekrutan dan seleksi kepala sekolah dan pengawas sekolah. Untuk itu, kini tengah dilakukan finalisasi revisi Permendiknas No 162 Tahun 2003 tentang penugasan guru seba gai kepala sekolah dan finalisasi rancangan Permendiknas tentang seleksi dan perekrutan pengawas sekolah.

Mengajar Siswa Perempuan Berbeda dengan Siswa Laki-Laki

Jangan samakan mengajar siswa laki-laki dengan siswa perempuan meskipun mereka berada dalam satu kelas. Guru bijak pasti mengerti bahwa kedua jenis kelamin itu berbeda karakter dan berbeda struktur otaknya. Struktur otak yang berbeda itu antara siswa laki-laki dan perempuan sangat berperan besar pengaruhnya pada pola belajar dan kerja otak mereka masing-masing, meskipun sebetulnya perbedaan itu tidak berlaku secara mutlak pada semua kasus.

Demikian dikatakan oleh Michael Gurian dalam bukunya berjudul Boys and Girls Learn Differently!: A Guide for Teachers and Parents. Dia menjelaskan, berdasarkan pengamatannya dari positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance imaging (MRI) yang mengurai struktur otak dengan sangat detail, otak keduanya memiliki sistem belajar yang berbeda satu sama lain.

Gurian lalu membuka tabir perbedaan tersebut berdasarkan pengamatannya. Fokus pertama yang menjadi perhatiannya adalah otak siswa perempuan yang penuh rahasia. Beberapa rahasia di balik otak siswa perempuan menurutnya antara lain:

- Corpus callosum atau penghubung jaringan antarbagian otak pada perempuan rata-rata lebih besar hingga 25% pada saat akil balig. Hal itu memungkinkan terjadinya komunikasi saling-silang dalam otak yang membuat mereka kerap berkomunikasi sendiri.

- Memiliki konektor lebih kuat dalam lobes atau salah satu bagian dari otak. Manfaat konektor ini memungkinkan seorang siswa perempuan menyimpan memori sensualitas lebih detail dan mempunyai kemampuan mendengar dan membedakan nada suara dengan lebih baik. Tak heran, mereka lebih terampil dalam mengerjakan tugas-tugas tertulis.

- Memiliki hippocampus atau area penyimpan memori dalam otak yang lebih besar. Hal itu sangat menguntungkan bagi kemampuan belajar siswa perempuan, terutama untuk pelajaran bahasa.

- Selain lebih aktif, prefrontal cortex atau bagian otak lain dari seorang siswa perempuan juga berkembang lebih awal. Hal tersebut cenderung menjadikan siswa perempuan tidak impulsif.

- Anak perempuan lebih mudah mengatur emosi dan bicaranya, karena mereka lebih sering menggunakan area korteks.

Berdasarkan pengamatannya dari beberapa rahasia di balik otak siswa perempuan itu, Gurian menyimpulkan, tentu sangat bisa dimengerti jika siswa perempuan lebih cakap membaca dan menulis. Hal itu bisa dibuktikan pada anak perempuan sejak mereka balita dan sepanjang usianya dewasa. Membaca dan menulis tidak akan menyulitkan seorang siswa perempuan. Mereka bisa duduk tenang lebih lama, mendengar dan mengenali nada suara, serta berbicara dalam hati.

Di sisi lain, dengan volume darah yang mengalir ke otak perempuan lebih banyak 15 persen dari otak laki-laki, hal itu sangat mendorong otak mereka dengan mudah melalui proses-proses stimulasi, membaca dan menulis, yang melibatkan tekstur, nada suara, serta aktivitas kejiwaannya dengan baik.