Jumat, 29 Maret 2013

Ekstrakurikuler Wajib Kepramukaan

Ketika mendikbud, Muhamad Nuh, menyatakan bahwa ekstrakurikuler kerpamukaan wajib diikuti siswa pada Oktober tahun lalu, banyak pihak yang pro dan kontra. Pihak pro menyatakan bahwa kepramukaan akan menjadi wadah bagi pendidikan karakter secara terpadu dan berbasis praktik langsung sehingga dianggap sangat penting. Sedangkan, yang kontra lebih memandang sisi tumpang tindih antara formal dan nonformal, alias legalitas dan kedudukan yang diperbincangkan.

Dalam dunia kepramukaan, ada istilah pramuka, gerakan pramuka, dan kepramukaan. Pramuka mengacu pada sosok subjek yang terdidik atau orangnya. Istilah gerakan pramuka mengacu pada organisasi yang menaungi dan mengelola keterlaksanaan. Istilah kepramukaan mengacu pada hal ihwal tentang pendidikannya. Nah, dari sisi itu, Mendikbud sangat benar. Yang diwajibkan itu kegiatan yang mengandung pola pendidikan berbasis kepramukaan.Posisi pendidikannya berada di ekstrakurikuler bukan di intrakurikuler. Artinya, kepramukaan bukan berada dalam pendidikan formal tetapi tetap di batas nonformal lewat kegiatan ekstrakurikuler.

Betapa pendidikan karekter bangsa itu harus didesain secara struktural sehingga dapat membudaya. Di mana pun, pendidikan itu harus lewat desain jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal dan terarah. Untuk itu, ekstrakurikuler perlu digariskan agar tidak terjadi simpang-siur pelaksanaanya. Nah, kepramukaan menjadi wajib bagi siswa berarti semua siswa boleh memilih ekstra lain tetapi untuk kepramukaan akan wajib diikutinya.

Suatu hari, akan terlihat, sosok manusia yang ahli basket tetapi sikap dan jiwanya berdimensi Dasa Darma. Penari, pemusik, peneliti, dan bakat lainnya akan bergerak berdasarkan karakter bagus yang berdimensi Dasa Darma. Begitulah seterusnya.

Berkaitan dengan hal di atas, saat ini, amatlah tepat jika Pusdiklatda Kepramukaan Jawa Timur merumuskan model ekstrakurikuler wajib kepramukaan ke dalam buku panduan (Desember 2012 s.d. Maret 2013). Workshop dilakukan untuk menghasilkan tujuh buku tentang pedoman kepramukaan di SD, SMP, SMS/SMK, panduan kursus KMD, KML (Siaga, penggalang, penegak dan pandega). Hasil workshop berupa buku yang siap digunakan oleh para pendidik dan pembina kepramukaan.

Senin, 11 Maret 2013

Pemimpin "Tahi Kucing Rasa Coklat" (Bagian 1)

Masih ingatkah dengan lagu Gombloh yang menyatakan  cinta itu sama dengan “tahi kucing rasa coklat”? Lagu itu menginspirasi bahwa jika sudah manaruh cinta, apapun akan terasa nikmat. Bahkan tahi yang bahu, busuk, dan penuh kuman pun akan terasa coklat yang nikmat itu.

Nah, pemimpin pun, saat ini, banyak yang tahi kucing rasa coklat. Seolah-olah kepemimpinannya berasa coklat tetapi sebenarnya kepemimpinan yang ditunjukkan berasa tahi. Pemimpin yang berasa tahi itu biasanya busuk, bau, dan penuh kuman. Pemimpin busuk itu tidak pernah segar dan menyegarkan. Orang lain tidak dapat menikmati kesegarannya. Malah, orang lain mendapatkan kebusukan yang harus segera dipendam agar tidak menyebar bau tidak sedap. Bau itu menyengat hidung dengan cara memaksa namun tidak sesuai dengan syaraf bau yang dimiliki seseorang. Penuh kuman itu mempunyai makna penyebarluasan hal negatif dan merusak yang dengan cepat ditiru oleh orang lain.

Berikut ini ciri-ciri pemimpin tahi kucing rasa coklat.

(1) Kemewahan. Kemewahan harus menjadi ciri seorang pemimpin agar dapat dilihat wah oleh orang lain. Kemewahan itu memunculkan anggapan kehebatan. Jadi, siapa yang penuh kemewahan dia akan mendapatkan sanjungan kehebatan. Oleh karena itu, jangan kaget dengan pemimpin yang menggunakan jam rolex, mobil mewah, rumah megah, pesiar ke luar negeri, dan lainnya. Penggunaan pernik mahal itu merupakan penanda kemewahan. Dia tidak peduli rakyat miskin dan melarat karena rakyat itu bukan pemimpin melainkan yang dipimpinnya. Kemewahan menjadi sebuah syarat pemimpin tahi kucing.

(2) Penampilan. Penampilan menjadi satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemimpin tahi kucing. Karena ke mana-mana akan disorot oleh media massa yang mabuk tahi kucing itu, dia harus menjaga penampilan. Oleh karena itu, dia harus masuk keluar restoran asing, mahal, dan prestise. Hotel merupakan halaman keseharian sebagai tempat bermainnya. Omongan dijaga. Menghujat diperlukan tetapi harus yang telak.

(3) Senyum. Senyum itu nomor satu karena dilihat orang lain. Meskipun rakyat susah, pemimpin itu harus tetap senyum karena sekali lagi, media akan selalu menyorotinya. Meskipun dituduk korupsi dan bahkan telah jelas dipidana korupsi, pemimpin tahi kucing harus tetap senyum. Senyum itu membawa sengsara, bukan pernyataan yang penting. Yang palin penting, keluarkan senyum meski dirimu susah. (Dimuat di www.kompasiana.com/senin, 11 Maret 2013)

Pemimpin "Tahi Kucing Rasa Coklat" (Bagian 2)

Menindaklanjuti bagian satu, pemimpin tahi kucing rasa coklat itu juga mempunyai peribahasa yang dipegang teguh karena dapat memberikan inspirasi baginya. Agar tahi yang disandangnya tidak terlihat tahi tetapi terlihat coklat, pemimpin tahi kucing rasa coklat mengidentikkan dirinya sebagai coklat meskipun sebenarnya tahi, yang busuk, bau, dan penuh kuman.

Peribahasa yang digunakan pemimpin tahi kucing rasa coklat tertera di bawah ini.

(1) Lempar batu sembunyi tangan. Peribahasa tersebut sering digunakan untuk melemparkan isu tetapi dia tidak mau menanggung akan dampak isu itu. Bahkan, setelah isu merebak, dia tidak mengakuinya. Dia harus mempunyai stok batu yang banyak agar mudah melempar-lempar isu. Meskipun, isu itu terjadi dalam dirinya, dia tetap menganggap dirinya coklat. Peribahasa “Lempar batu sembunyi tangan” ditulisnya besar-besar dalam halaman buku kehidupannya. Tujuan melempar batu untuk memperkeruh, agar terkenal, dan menggunakan sebagai alat untuk melihat perkembangan.

(2) Buruk muka cermin dibelah. Peribahasa yang satu ini banyak digunakan jika ternyata keburukan dihujat kepadanya. Pemimpin tahi kucing rasa coklat yang mendapatkan isu negatif akan segera menyalahkan orang lain. Bahkan, dia telah menyiapkan kambing hitam sebagai senjatanya. Dia itu buruk tetapi tidak mau mengakui keburukannya. Dia itu busuk tetapi kebusukan itu dituduhkan ke orang lain.

(3)  Air besar batu bersibak. Pemimpin tahi kucing rasa coklat akan segera menyelamatkan diri apabila terjadi kerusuhan atau keributan. Dia akan cepat lari dengan pura-pura tidak terlibat. Larinya akan tunggang langgang dengan seribu alasan. Dia tidak berani berada di tengah keributan atau menengkan keributan karena memang seonggok tahi yang tidak mempunyai rasa nikmat.

(4) Habis manis sepah dibuang. Jika berteman, pemimpin tahi kucing rasa coklat selalu mengukur dengan untuk rugi. Jika teman sudah tidak manis lagi, dia harus membuangnya. Baginya, sepah tidak akan menguntungkan lagi sehingga harus cepat-cepat dibuang.

(5) Menjilat air ludah sendiri. Pemimpin tahi kucing rasa coklat tidak segan-segan untuk menjilat ludah sendiri. Bahkan, ludah itu diminumnya dengan menggelegak. Dia teramat munafik. Jika untuk kepentingannya, tidak masalah jika sesuatu yang sudah dia janjikan diubah begitu saja penepatan janji itu.

Masih banyak peribahasa yang dianut oleh pemimpin tahi kucing rasa coklat. Apaun bentuk peribahasa itu akan dipakainya asal dapat menyelamatkan, menguatkan, dan membanggakannya. Yang namanya tahi akan selamanya tahi. Namun, pemimpin tahi kucing rasa coklat tidak akan pernah merasakannya. (Dumuat di Kompasiana.com/Senin/11 Maret 2013)

Sabtu, 09 Maret 2013

Pmbelajaran Inovatif di Wapik

Mengapa para guru harus bingung dengan model pembelajaran inovatif untuk siswanya? Jangan bingung. Cobalah guru meng-ATM-kan informasi praktik yang baik. ATM yang dimaksud adalah Amati, Tiru, Modifikasi. Nah, praktik pembelajaran yang baik itu ada di www.wapikweb.org secara detail. Di laman milik bank dunia divisi pendidikan itu, terdapat 500 artikel praktik yang baik, 90 video pembelajaran, dan 20 panduan.

Banyak artikel yang ditulis berdasarkan pengalaman praktik yang baik dari guru di seantero pelosok. Lihat saja, ada guru yang mengajarkan fisika di SMP dengan menulis novel, pembelajaran fotosintesis dengan merebus air, penggunaan alat deteksi siswa dalam mencontek, musikalisasi puisi dengan alat sederhana, dan banyak lagi. Di laman itu, terdapat foto dan langkah praktisnya sehingga mudah dipelajari guru lain.

Sampai saat ini, pengunjung laman itu meningkat tajam. Jika di April 2012 yang lalu pengunjung harian hanya 30 peng-klik, sekarang mencapai 550 pengunjung per hari. Itu menandakan bahwa praktik yang baik mulai digemari oleh guru-guru di Indonesia. Ke depan, tampaknya pengunjung akan terus meningkat karena Unesa (Universitas Negeri Surabaya) turut menyebarluaskan. Bahlan, Unesa merupakan mitra tetap implementatisi Wapik.

Pengalaman guru di Wapik terlihat sangat khas dan menampakkan model pembelajaran khas Indonesia. Mereka dengan alat sederhana mampu mendongkrak minat dan prestasi siswa. Teori pembelajaran dari Barat yang selama ini diagung-agungkan tampaknya kurang membumi jika merunut model pembelajaran guru yang terdapat di Wapik. Oleh karena itu, banyak dosen yang menindaklanjuti praktik pembelajaran yang baik dengan melakukan pelatihan penulisan bagi mereka dan para guru di sekitarnya. Semoga informasi ini bermanfaat. (Dimuat Kompasiana.com kolom edukasi pada Sabtu, 9 Maret 2013)

Selasa, 05 Maret 2013

Tips Mencari Guru Hebat

Kita semua pada hakikatnya berada dalam kondisi belajar meskipun era bersekolah atau berkuliah telah lewat. Bukankah belajar itu sepanjang hayat? Kapan pun, di mana pun, orang harus senantiasa belajar untuk menjadi lebih baik. Lihat saja, pemain sepakbola profesional, Messi, Rodaldo, dan yang lainnya, meskipun gajinya tinggi, setiap akan bertanding, mereka selalu belajar melalui pelatihan menjelang pertandingan.

Dalam belajar, tentu, kita semua memerlukan guru yang hebat agar nilai belajar kita meningkat. Berikut ini tips untuk memilih guru agar kita hebat.

(1) Pilihlah guru yang lebih pintar dari kita. Jangan memilih guru bodoh atau sama pintarnya dengan kita. Jika ingin belajar menata rumah, carilah guru yang pintar menata rumah. Kalau ingin belajar menata hati, pilihlah guru yang pintar menata hati. Begitulah seterusnya. Dia harus lebih pintar dari kita.

(2) Pilihlah guru yang kaya metode dan media. Guru yang kaya metode dapat menentukan sebatas apa dia mengajari kita. Cara dia mengajar selalu melihat kondisi, situasi, dan arah materi yang akan disampaikan. Jika kita sedang sedih, guru akan menggunakan metode yang mampu menghibur tanpa menambah kesedihan. Jika kita dalam suasana kantuk, guru dapat memilih metode yang membuat kita segar dalam belajar.

(3) Pilihlah guru yang mempunyai kehormatan. Guru yang mempunyai kehormatan selalu menjaga situasi belajar. Dia tidak akan pernah menceritakan siswanya ke orang lain tentang keburukan kita belajar. Rahasia siswa dipegang betul oleh guru hebat. Dia selalu hormat kepada siswanya. Dia tidak membeda-bedakan derajat siswa. Dia tidak akan pernah berbuat senonoh dengan siswanya.

(4) Pilihlah guru yang sabar. Guru sabar selalu sadar kalau siswa belum bisa. Dia tidak akan marah meskipun siswa salah menerapkan. Kesalahan siswa dibenarkan dengan sabar.

(5) Pilihlah guru yang suka membimbing. Guru yang suka membimbing akan selalu setia mendampingi sampai siswa bisa. Pembimbingannya selalu berguna dan mudah dipahami.

(6) Pilihlah guru yang dapat dipercaya. Guru yang demikian itu mampu menakar problematikan siswanya. Dia mengukur batas materi yang harus diterima siswanya berdasarkan usia, pengalaman, kapasitas, dan perilaku siswanya. Ibarat dokter yang mengerti takaran obat yang dipercaya oleh pasiennya, guru juga harus dipercaya atas resep ucapannya.

Belajar yang baik harus mampu menyadari bahwa guru memegang peran penting. Meskipun autodidak, bukan berarti, keberadaan guru tidak ada. Buku itu guru kita. Alam itu guru kita. Pengalaman itu guru kita. Hanya saja, kita tidak menyadarinya kalau itu guru kita. Tukang becak itu guru kita asal dia mampu mengajari ilmu perbecakan dan membuat kita cepat pandai. Marilah belajar dalam dunia kehidupan ini dengan guru hebat.

Senin, 04 Maret 2013

Batas Selera Kepuasan Seseorang



Sampai di penghujung manakah batas selera kepuasan seorang manusia? Itulah pertanyaan yang memberikan kepastian terhadap wilayah sebuah kepuasan setiap manusia. Dengan pertanyaan itulah, dunia berkembang silih berganti memberikan asas kemanfaatan dalam kepuasan yang hidup. Kepuasan disusuli kepuasan yang lainnya sampai memperkokoh sebuah kehidupan.
Lihat saja, sebuah gedung dibangun tidak berhenti pada fungsi semata tetapi dibangun sampai pada taraf makna. Dari sebuah makna itulah, sebuah gedung dikenali lebih mendalam dan tertahan dalam memori seseorang dibandingkan dengan gedung lain yang berdiri tanpa makna. Ketika seseorang disodori gambar gedung tertentu, seketika itu pula seseorang menyebutkan nama gedung. Kemudian, terlahirlah bangunan yang mudah dikenali karena bermakna, seperti gedung DPR, menara Petronas, rumah gadang, rumah joglo, kampus UI, dan gedung yang lainnya.
Unesa saat ini mulai merambah ke makna sebuah sarana dengan mempercantik diri yang berdasarkan aksentuasi tertentu dan memberikan memori tersendiri bagi yang melihatnya. Dunia bentuk dan fungsi akan dilampaui sampai ke ujung jauh dari sebuah makna di Unesa. Tak ayal, kelak, makna berbagai sarana di Unesa akan dikenang semua orang hanya dengan melihat gambarnya atau hanya mendengar namanya semata.
Kantin tidak sekadar bentuk kantin dan berfungsi untuk melepas dahaga dan lapar semata. Kantin di Unesa memberikan makna “baseball” yang mengindikasikan buah manis atau olahraga permainan yang bernuansa kerja sama, kekompakkan, dan persahabatan. Ranunesa tidak sekadar bentuk tangkapan air dan berfungsi sebagai penampung air tetapi memberikan makna tertentu bagi yang menikmatinya. Gedung PPG tidak sekadar gedung yang berfungsi melainkan sebuah gedung yang memberikan aksentuasi tersendiri bagi yang melihat dan menimkamti gedung tersebut.
Bermain-mainlah sampai ke makna agar dunia mengakui kekhasan yang dihasilkannya. Makna bangunan akan memberikan arti yang melebihi dari sebatas bentuk dan fungsi. Untuk itu, teruslah mengisi makna dalam segala ikhtiar sampai pada terbentuknay sebuah ciri khas. Unesa ke depan tentu membangun berdasarkan makna yang dimunculkan sehingga memberikan nuansa tersendiri dari nuansa-nuansa yang pernah ada. 9Suyatno)

Metonimia Perang dari Seorang Anas

 Oleh Suyatno
(Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana.com, pada 27 Februari 2013, pukul 14.00)

Kata-kata yang diucapkan seorang Anas penuh dengan metonimia perang. Dalam metonimia itu terbersit dikotomis baik-buruk, salah-benar, dan terlibat-bebas. Lihat saja kata “sengkuni; nabok nyilih tangan; adigang, adigung, adiguno; dan kata lainnya.” Anas menyampaikan metonimia keburukan untuk menandakan dia bukan keburukan itu sendiri. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, seorang AU terlibat dalam konteks metonimia itu. Kalau tidak ada yang “Sengkuni” berarti dia sendiri yang Sengkuni. Kalau tidak ada yang “nabok nyilih tangan”, berarti dia sendiri yang nabok nyilih tangan. Begitulah pergulatan dikotomis dalam sebuah metonimia.
Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Parera (2004:121) menyebut metonimia sebagai hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Misalnya, “rokok kretek” dikatakan “belikan saya kretek”. Metonimia menurut Parera (2004:121-122) dapat dikelompokkan bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.
Dalam metonimia Anas, terlihat relasi atribut, tokoh, dan perbuatan. Untuk itu, dapat digunakan kalimat “Dia sengkuni; Orang itu ‘nabok nyilih tangan; Pailul seorang yang ‘adigang, adigung, adiguno.” Kalimat tersebut bermakna memanaskan karena ada unsur dikotomis. Unsur dikotomis itu dapat dimaknai sebagai pembelaan, perlawanan, dan peperangan.
Metonimia termasuk bagian dari metafora. Artinya, seseorang dapat bersembunyi di sebuah metafora untuk menutupi, memperhalus, atau bahkan memperkasar sebuah makna. Jika demikian, daya bayang yang dibangun seorang Anas berunsur emosional, panas, dan keruh. Daya bayang itu tidak akan pernah mampu mendinginkan khalayak umum. Bukankah tugas pemimpin itu mendinginkan dengan ketulusan dan keikhlasan kepemimpinan yang sebenarnya?