Kamis, 31 Juli 2008

Cara Praktis Membuat Buku Ajar bagi Guru

Oleh Suyatno

Membakar buku sebuah kejahatan,
tetapi ada yang lebih jahat
dibanding membakar buku,
yakni tidak membaca buku
(Joseph Brodsky)


Buku ajar seharusnya dibuat oleh guru untuk kepentingan pembelajaran di kelas. Namun, banyak guru yang tidak membuat buku ajar untuk muridnya. Buku ajar yang digunakan di kelasnya merupakan buku yang dibuat oleh orang lain, di tempat lain, dan tidak disesuaikan dengan konteks siswa yang ada. Akibatnya, banyak siswa yang belajar mengonsumsi bahan ajar terasa di awan, susah memahami, dan sangat bergantung isi teks. Bagaimana tidak. Siswa yang di daerahnya tidak ada kereta api, justru buku ajar yang ada mengupas kereta api bukan kapal laut yang digunakan siswa sehari-hari. Meskipun kereta api perlu diketahui siswa, pengalaman dan pengetahuan pertamanya tentang transportasi yang bagus tentunya berkaitan dengan kapal laut.

Buku ajar merupakan barang wajib yang harus dibuat guru. Buku itu harus menarik(eye catching) dan digemari siswanya sehingga mampu mendongkrak motivasi belajar siswa. Buku ajar tidak boleh kaku karena akan ditinggalkan siswa. Perwajahan buku memberikan inspirasi bagi siswa. Buku ajar perlu direkayasa sehingga bagus, menarik, dan penuh daya selera bagi pembacanya. Dengan begitu, buku ajar dapat mempermudah proses belajar-mengajar guru pada siswa.

Menurut Prof Yohanes Surya, Ph D, buku pelajaran yang mencerdaskan ialah buku yang dapat membuat anak-anak belajar jadi asyik, mudah, dan menyenangkan. Sehingga belajar tidak lagi menjadi sangat sulit. Contoh saja fisika, ketika orang mengatakan fisika,yang terbayang di kepala mereka adalah rumus. Hal itu yang seharusnya diubah. Diperlukan cara penyusunan buku-buku fisika agar tak melulu memuat rumus. Ia menitik pentingkan ulasan ilmu fisika bukan bergantung pada rumus, melainkan konsep. Karena itu, peran rumus dapat diganti dengan logika. Surya mencontohkan: “misal ada suatu benda dengan kecepatan lima meter per detik. Berapa jaraknya dalam lima detik. Untuk menjawab ini, cukup dengan logika. Lima meter per detik berarti dalam satu detik benda tersebut bergerak sejauh lima meter. Kalau lima detik, tinggal dikali saja dengan lima. Tidak perlu rumus apapun.”

Berikut cara praktis menulis buku ajar yang disukai siswa.

Sederhanakan
Isi buku ajar sebaiknya disederhanakan konsepnya sehingga mudah dipahami siswa. Rumus lebih sulit dipahami daripada logika rumus itu. Kata tertentu lebih susah dipahami di bandingkan kata lain yang akrab dengan anak. Gunakan bahasa yang sederhana dan lugas yang sesuai dengan bahasa siswa.

Gunakan Bahasa Baku
Penulis buku ajar haruslah menguasai tata bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga memberikan makna tunggal untuk pengungkapan konsep. Kata baku lebih mengacu kepada konsepnya dan berlogika. Penguasaan bahasa merupakan syarat pertama setelah penguasaan bidang ilmu yang akan ditulis sehingga mampu mengungkapkan pikiran dengan jelas, cermat dan mudah dipahami.

Mulailah dari Dekat
Yang dimaksud dari dekat adalah aspek yang ada dalam lingkungan siswa. Umpamanya, guru akan menulis unsur tanah, materi buku ajar dimulai dari tanah yang pernah dilihat siswa. Jika kita dapat memulai buku dari yang dikenal siswa, konsep yang akan diberikan akan mudah dikenali dan dipahami siswa.

Buatlah Peta Pikiran
Untuk mempermudah menjaring cakupan materi buku ajar yang akan ditulis, peta pikiran dapat membantunya. Tulislah topik utama di tengah kemudian buatlah topik-topik terkait untuk melingkari topik utama. Peta pikiran sangat membantu penulis untuk membuat kerangka buku ajar.

Bersoleklah di Perwajahan
Perwajahan buku, termasuk pilihan huruf, tabel, ilustrasi, dan warna yang digunakan perlu disolek agar menarik bagi siswa. Perwajahan yang baik akan memberikan motivasi pembaca untuk membaca dan membaca terus. Sebaliknya, buku yang jelek dalam perwajahan akan dijauhi siswa karena membosankan.

Rabu, 30 Juli 2008

Guru di Mata Mbok Siti (6)

Pagi-pagi, aku sudah berada di teras dapur rumah Mbok Siti karena memang sudah dijanjikan untuk datang. Benar juga, kopi dan ubi goreng sudah disiapkan di meja kecil dari kayu jati yang tampak reyot. "Wah, anakku sudah siap rupanya", celetuk Mbok Siti. Aku balas dengan senyum simpul malu-malu.

"Anakku, ubi goreng itu menjadi enak dimakan setelah diolah, diproses, dan dihidangkan", kata Mbok dengan pakaian kemerahan dan tampak segar. Dalam pengolahan terdapat konsentrasi dengan tujuan tunggal agar ubi dapat dimakan dengan lezat. Andai dalam pengolahan terdapat kesalahan sedikit saja, rasa ubi akan lain. Begitu pula, jika guru tidak mempunyai kemampuan mengolah, memproses, dan menghidangkan menu pembelajaran, tentu, pembelajaran akan hambar, tidak lezat, dan bisa jadi tidak dapat dinikmati oleh siswa. Guru harus dapat mengukur seberapa apik menu yang harus dihidangkan di hadapan siswa dalam konteks tertentu.

Guru tidak sekadar memberikan bahan ajar semata. "Dia harus mengetahui ukuran sajian bahan yang pas bagi anak", katanya berseloroh. Lihat saja, Kursi yang kamu duduki pasti serasa nyaman karena dibuat dengan ukuran yang pas bagi orang yang akan duduk. Ubi ini juga terasa lezat karena mempunyai tingkat kematangan yang sesuai, gurih, dan enak.

Selasa, 29 Juli 2008

Melihat Pola Penanganan Kinerja Guru di India

Oleh Suyatno

Pembinaan guru yang tersistem dan terarah ternyata mampu memberikan pengaruh bagi cara mengajar dengan baik dan meningkatkan prestasi siswa. Hal itu terlihat di India dalam program peningkatan guru-gurunya. Guru India terpantau secara rinci dan harus mengikuti pelatihan berstandar dari fase rendah ke fase tinggi, siapapun dia, dan dimanapun dia berada. Bandingkan dengan di Indonesia, pelatihan guru tidak tersistem dan terserah guru dalam berlatih.

Pada awalnya, guru di India sangat tidak meyakinkan untuk meningkatkan SDM rakyat India. Kemudian, muncullah pertanyaan dari pemerintah India, yakni "Bagaimana sistem pendidikan dapat memberi perubahan pada guru dan dalam skala besar? Padahal jumlah sekolah, terutama SD meningkat drastis dari 0,84 juta dalam tahun 1999-2000 menjadi 1,04 juta dalam tahun 2005-2006, dan jumlah guru meningkat dari 3,2 juta dalam tahun 99-00 menjadi 4,17juta dalam tahun 05-06. Hal tersebut merupakan peningkatan yang besar dan fantastis. Namun, kenyataannya jumlah peningkatan itu tidak beriring dengan peningkatan pembelajaran yang mampu mendongkrak mutu anak. Pembelajaran tetap saja pada tingkat yang sangat rendah.

Padahal, Pemerintah India selalu melakukan pelatihan bagi guru [in-service] yang rata-rata 20 hari dalam setahun di bawah Program PUS India, Sarva Shiksha Abhiyan. Salah satu realisasi yang muncul adalah tidak adanya kesepakatan dan kejelasan bagaimana ‘pelatihan guru yang baik’ juga karena tidak adanya kesepakatan dan mengenai bagaimana mengajar yang baik.

Nilai ujian siswa dapat dicapai meskipun tanpa didukung guru dalam mengajar dengan baik. Untuk mengatasinya, diperlukan asesmen dan strategi terencana guna meningkatkan kualitas mengajar dan belajar bagi guru. Upaya itu digencarkan secara nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah India dengan dukungan dari UNICEF dalam program ADEPTS [Advancement of Educational Performance through Teacher Support] Program ADEPTS dimulai dengan sebuah pertemuan badan penasihat yang dihadiri oleh beberapa negara bagian di India untuk menyetujui draf ‘standar kinerja’ untuk guru, pelatih dan institusi pendukung guru dari kecamatan sampai tingkat provinsi. Menariknya, konsensus pertama yang dihasilkan adalah keberagaman kelompok siswa adalah faktor utama yang diperhatikan. Menurut raapat itu, anak mempunyai latar belakang sosial ekonomi, etnis, bahasa, dan tingkat kemiskinan yang berbeda yang memengaruhi kemampuan mereka bersekolah. Di India, peningkatan pendaftaran telah menyadarkan anak-anak yang secara tradisi tidak pernah bersekolah seperti anak cacat, pekerja anak, kelompok imigran, anak perempuan dari masyarakat tertentu dan lainnya dari kelompok yang paling marginal untuki bersekolah.

Memang sebelum ADEPTS dilaksanakan, Kelas, pedagogi, kurikulum dan bahan pelajaran masih belum dapat menganggap pentingnya hubungan keragaman latar belakang siswa, sebagai akibatnya mereka mengorbankan yang lemah dan kualitas pendidikan secara keseluruhan tetaplah buruk.

Program ADEPTS adalah menciptakan kepemilikan dan mengubah cara yang ‘masuk akal’ dalam diskusi dengan para praktisi. Program itu dimulai dari sebuah pertemuan untuk menimbulkan persepsi baru bahwa tempat kerja guru yaitu sekolah adalah satu kesatuan penting dari hubungan dan proses. Berikutnya, peserta dalam proses tersebut, termasuk guru-guru, terikat pada pertanyaan: "Apa yang kita inginkan untuk melihat yang sedang dikerjakan guru?" Banyak jawaban yang muncul dari pertanyaan ini, dan yang penting adalah kesepakatan. Kesepakatan yang muncul adalah sekolah mempunyai empat dimensi yang harus menyatu, yakni fisik [atau menciptakan lingkungan fisik yang kondusif], kognitif [memungkinkan pembelajaran melalui interaksi], sosial [berpusat pada hubungan, etika] dan organisasional [sekolah sebagai sebuah badan, dalam kaitannya dengan masyarakat]. Keempat aspek itu menjadi ‘pernyataan standar’, dengan daftar yang mereka pegang sebagai indikatornya.


Dengan pernyataan standar itu, tahap berikutnya adalah mengukur tingkat kinerja saat ini. Tim pusat kemudian melaksanakan ‘kunjungan siswa ke negara bagian lain’ ke ratusan sekolah dan struktur-struktur pendukungnya. Di seluruh negeri, ada sebuah kesadaran bahwa kinerja guru di dalam kelas pada kenyataannya berada pada tingkat yang sangat rendah dan perlu untuk ditingkatkan secara dramatis.

Kemudian, guru di India ditingkatkan dengan berdasarkan pada beberapa kunci dasar yang disepakati sebagai berikut.

Pertama, motivasi utama bagi para guru adalah mengalami kesuksesan di kelas. Inilah persyaratan minimal yang harus dipenuhi guru sebelum menerapkan standar-standar lainnya.

Kedua, guru harus berubah dengan lebih banyak menerapkan praktik daripada melalui teori.

Ketiga, guru mempunyai kesempatan untuk belajar Kesempatan belajar itu direncanakan dalam untuk pengembangan guru, yang dibagi fase triwulanan, setiap fasenya mempunyai angka indikator yang sangat terbatas untuk dicapai [4-8]. Ketika guru mencapai satu indikator, dia berkesempatan ikut pelatihan ke fase yang lebih tinggi. Institusi pendukung juga bekerja sama dengan para guru dan berjalan berdampingan satu sama lain.

Keempat, Standar dan indikator kinerja guru diarahkan ke langkah nyata yang dapat diterapkan secara aktual oleh para guru.

Dalam beberapa bulan, lebih dari 15 negara bagian di seluruh negeri baru-baru ini telah berinisiatif melaksanakan ADEPTS dalam cara yang berbeda dalam memperbaiki pelatihan, mengadakan pertemuan tahap lokal para guru untuk memilih dan menerapkan standar, dan mengembangkan materi pendukung.

sumber: ww.idp-europe.org/eenet/newsletter5_indonesia

Karakter Guru di Manapun Harus Sama

Oleh Suyatno

Karakter guru di manapun harus sama baik dari segi pemikiran, perasaan, perbuatan, sikap, dan keterampilannya. Ibarat seseorang yang akan bermain wayang orang, jika dia melakonkan tokoh Janaka di sebuah pentas pertunjukan, seluruh pikiran, perasaan, dan peran di panggung sepenuhnya seperti Janaka. Siapapun dia, berkarakter apapun dia sebagai manusia, jika diperankan sebagai Janaka, perilaku di pertunjukkan berubah menjadi karakter Janaka, tenang, sopan, bijaksana, pemberani, pembela, dan sifat yang lainnya.

Begitu pula, siapapun dia, karakter apapun dia, jika menjadi guru, segala perilaku, pikiran, perbuatan, dan cara asuh ke siswa harus seperti guru. Dengan demikian tidak akan ada guru pemarah, jahat, jauh dari siswa, tidak bersahabat, tanpa perencanaan, malas, dan sebagainya karena sikap yang demikian memang tidak ada dalam karakter guru.

Kondisi sekarang, perbedaan karakter guru sangat menonjol. Sekolah A diasuh guru yang suka marah. Sekolah B diajar oleh guru yang lincah dan ramah. Sekolah C dikembangkan oleh guru yang tidak mau maju dan tradisional. Jika ada 100 sekolah, berarti akan ada 100 bahkan lebih jenis karakter gurunya. Hal demikian menandakan bahwa guru sejati dengan satu karakter tidak terbentuk dengan baik. Peran guru tidak dapat dimainkan oleh mereka yang akan berperan sebagai guru dalam pertunjukan di panggung sekolah.

Andai semua orang yang akan berperan sebagai guru mau dan harus melepaskan karakter asli sebagai pribadi manusia kemudian saat di sekolah memakai dan memasang karakter baru, yakni karakter guru, pendidikan di Indonesia akan maju dan bermutu. Sekolah di manapun akan mempunyai kualitas yang sama karena diasuh oleh guru yang berperan sama. Saat di rumah, sosok manusia yang akan berperan menjadi guru boleh berkarakter aslinya karena sebagai pribadi. Namun, ketika dia berada di sekolah, karakter asalnya berubah menjadi karakter guru.

Lihatlah polisi, saat dia belum menjadi polisi mungkin berkarakter pemarah, p[emalas, tidak suka mengamati, dan sebagainya, kemudia, ketika sudah menjadi polisi, dia harus berkarakter polisi sejati. Begitu pula dengan sosok dokter, manusia yang menjadi dokter tentunya harus berkarakter dokter meskipun diperankan oleh manusia beraneka karakter. Guru sebagai sebuah profesi juga harus diperankan sebagai guru meskipun yang menjadi guru beraneka latar belakang karakter manusia.

Kapan kondisi itu terwujud sempurna?

Jumat, 25 Juli 2008

Mengajar dengan Ilmu Tukang Jahit

Oleh Suyatno

Marilah kita tengok tukang jahit saat akan menjahit sebuah kemeja milik pelanggannya. Dia pasti melihat dan mengukur terlebih dahulu ukuran yang pas untuk tubuh pelanggannya sehingga cocok dan tepat dikenakan sesuai pemilik baju itu. Penjahit itu pasti tidak mau jika disuruh langsung menjahit sebelum mengetahui ukuran dan model yang dikehendaki bagi pemiliknya. Tahap pertama yang dilakukan tukang jahit adalah identifikasi kain dan ukuran.

Begitu pula, mengajar dengan baik dapat dilakukan guru dengan mengidentifikasikan siswanya dengan tepat. Identifikasilah tingkat kecerdasan siswa, gaya belajar, kebiasaan, dan aspirasi siswa yang akan turut serta di kelas yang akan dimasuki guru. Kemudian, dari hasil identifikasi itu, guru melakukan perencanaan yang matang dan sesuai. Bisa jadi, setelah direncanakan, siswa yang sebelumnya duduk di depan dapat dipindah ke tengah, siswa yang suka bercuap-cuap tanpa isi dipindah ke depan, dan siswa yang kurang pandai disandingkan dengan siswa pandai.

Ketika pola baju dibuat dengan dicocokkan ukuran tubuh pemiliknya, tukang jahit masih merencanakan dengan model baju yang berkembang sekarang. Begitu pula guru, dalam merencanakan juga melihat konteks anak yang terjadi saat ini. Guru selalu melihat kesenangan dan kegemaran anak berkaitan dengan model anak-anak sekarang. Contohnya, jika guru merencanakan pembelajaran dengan menggunakan lagu, lagu yang dipilih adalah lagu yang disukai anak-anak saat ini.

Setelah baju selesai dijahit dan pemiliknya mengambil baju itu, tukang jahit pasti menilakan pemiliknya untuk mencoba labih dahulu. Evaluasi hasil ujicoba itu ditindaklanjuti dengan menjahit ulang jika ada yang salah atau jika benar tukang jahit tersenyum sambil menunggu pemilik itu datang lagi untuk menjahitkan. Guru juga harus menawarkan ke siswa tentang pembelajaran yang telah disampaikan dengan cara merefleksikan. Jika ada siswa yang masih belum paham dan mengerti, guru jangan enggan untuk mengulangi dengan disesuaikan karakter anak.

Jangan sampai, guru mengajar tanpa tahu siapa yang akan diajar. Guru langsung masuk kelas dan menyampaikan materi tanpa melihat sebatas apa siswa dalam menerima materi. Guru yang baik hendaknya kuat dalam mengidentifikasi siswanya sebelum pembelajaran dimulai. Selanjutnya, guru menyusun formula tepat untuk proses pembelajaran. Selamat mencoba.

Kamis, 24 Juli 2008

Guru, Dengarlah Suara Anak Indonesia 2008

Guru saat ini lebih dipermudah tugasnya dengan adanya komunitas anak yang mengarah ke peningkatan sumber daya anak-anak. Hanya saja, guru perlu mencermati suara anak-anak untuk digunakan sebagai inspirasi dalam mengajar di kelas. Guru, degarlah suara anak Indonesia 2008 agar dapat lebih memantapkan aspirasi anak.

Dua anak, Ida Ayu Upawita Dewi dari Bali dan Ahmad Syukri dari Sumatera Barat, sebagai perwakilan dari Kongres Anak Indonesia mendapat kesempatan membacakan Suara Anak Indonesia 2008 pada perayaan Puncak Hari Anak Nasional di Plaza Arsipel, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (23/7. Mereka dengan lantang membacakan lima dari enam butir yang seharusnya ada pada rumusan aspirasi anak hasil kongres di Bogor, Selasa kemarin, di depan tamu undangan, termasuk Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Keenam butir rumusan aspirasi anak tersebut antara lain berbunyi. Pertama, kami anak Indonesia bercita-cita menjadi anak yang kreatif, cerdas, berkualitas, dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan diskriminasi.

Kedua, kami anak Indonesia membutuhkan perlindungan dari bahaya tembakau agar kami dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.

Ketiga, kami anak Indonesia bertekad untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran cara hidup sehat, hak kesehatan, reproduksi, agar kami terhindar dari bahaya penyakit menular, HIV dan AIDS serta penggunaan NAPZA.

Keempat, kami anak Indonesia bertekad mempersatukan anak bangsa yang berada di daerah terpencil, daerah perbatasan, daerah terisolir dengan adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai.

Kelima, kami anak Indonesia bertekad untuk menyuarakan aspirasi kami melalui forum anak daerah yang akan ditindaklanjuti melalui Kongres Anak Indonesia secara berkelanjutan, sebagai wadah saling berbagi informasi dan pendidikan demokrasi yang santun sejak dini untuk membangun solidaritas anak bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keenam, kami anak Indonesia menyuarakan perlunya dibentuk kementerian anak untuk merespon kebutuhan anak Indonesia.

Menurut Icha, anggota panitia kongres, butir keenam ini tidak dibacakan karena aturan protokoler. "Sebenarnya ada enam butir, cuma karena permintaan protokoler hanya dibacakan lima butir. Alasannya karena butir keenam terlalu politis," ujar Icha.

Dalam kesempatan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendorong Gubernur, Bupati, walikota dan menteri untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak Indonesia dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan perdagangan.

"Mereka membutuhkan pengasuhan dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan rumah tangga. Asuh dengan penuh tanggung jawab, hentikan tindakan negatif, tidak terpuji,diskriminas i, dan perdagangan anak," kata Presiden Yudhoyono saat memberikan sambutan pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (23/7).

Selain membutuhkan perlindungan, menurut Presiden Yudhoyono anak-anak Indonesia memerlukan peningkatan kualitas pendidikan sehingga bisa memiliki daya saing yang tinggi di masa mendatang.

"Kalau kita bicara anak, bukan hanya perlindungan, tapi bagaimana mendidik dan menyiapkan mereka menjadi kader bangsa. Dalam kaitan ini jalur pendidikan amat penting, mari kita asuh bimbing, agar ahlak budi pekerti baik, agar jasmani, fisik anak-anak kita sehat dan kuat," jelasnya.

Sumber: Kompas.com

Metode Alam untuk Membangun Keberanian Siswa


Oleh Suyatno

Alam dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang menarik dan menantang siswa sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Berkat sentuhan dan pelibatan alam dalam membentuk pribadi siswa, banyak siswa yang mengalami perubahan yang sangat drastis. Alam mampu menggembleng siswa dari penakut menjadi berani, dari pemalu menjadi percaya diri, dari semaunya menjadi penuh disiplin diri, dan dari watak yang lembek menjadi watak yang kuat. Tentunya, alam dikemas dengan perencanaan yang matang sehingga benar-benar memberikan manfaat yang maksimal.

Garduguru pada tiga tahun yang lalu, pernah menggunakan metode alam bebas untuk mengangkat keterpurukan siswa SMA Kusumanegara di Karangpilang Surabaya. Sejumlah 40 soswa diajak ke gunung untuk bereksplorasi diri dan berintrofeksi dengan model kegiatan yang melibatkan alam secara total. Hasilnya, ke-40 siswa itu lulus 100% UAN. Padahal, di atas kertas, siswa tersebut dipastikan tidak akan lolos UAN karena kenakalan dan rendah motivasi. Siswa SMA Kusumanegara berasal dari sekolah lain (mutasi) karena dikeluarkan atau tidak naik kelas. Sekolah itu merupakan sekolah tampungan daripada tidak sekolah.

Banyak pula, siswa yang mengalami perkembangan sangat baik setelah diajak ke alam dengan metode alam secara intensif. Untuk itu, guru perlu melirik alam sebagai salah satu metode pembelajarannya. Yang paling penting bagi guru adalah perencanaan pembelajaran yang kuat. Antisipasi alam dengan segala kemungkinannya. Lihatlah alam yang ada akan memberikan manfaat apa dalam pembelajaran. Guru jangan hanya sekadar menggunakan alam tanpa perencanaan yang matang. Yang perlu dilihat adalah keadaan sesungguhnya alam itu, arah angin, kerentanan tanah, risiko yang akan terjadi, dan manfaat apa yang dapat dipetik.

Pepohonan yang ada di alam dapat dijadikan bahan untuk pembandingan tumbuhan. Kontur naik turun tanah di alam dapat digunakan untuk membangun keberanian atau apa saja asalkan dapat mencapai tujuan pembelajaran. Alam akan memberikan yang terbaik kepada kita asalkan kita dapat memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya.

Rabu, 23 Juli 2008

Guru di Mata Mbok Siti (5)

"Anakku, mengapa kamu bersedih hari ini?", lerai Mbok Siti sambil duduk santai menghadap ke pekarangan di depan pintu sebelah kanan. "Tidak bersedih Mbok, hanya saja Aku melamunkan burung prenjak di atas daun kelapa itu", kataku pelan saat duduk di kanan Mbok Siti. Burung Prenjak mempunyai gurunya sendiri yang mampu mengajari secara alamiah makan, minum, berkembang biak, membuat sarang, terbang, dan berkicau.

Guru burung prenjak itu ada dalam nalurinya yang digembleng dengan alam burung. Prenjak satu dengan yang lainnya sama-sama terampilnya. Prenjak satu dengan yang lainnya sama-sama berkembangnya. Begitupula, manusia seharusnyalah berkembang seirama dengan manusia lainnya. "Namun, dalam manusia terdapat naluri mendiskriminasi sehingga ada yang dapat unggul dan ada pula yang terpaksa mengkerdil", ujar MBok Siti.

Banyak Koruptor, Siapa Gurunya?

Oleh Suyatno

Tampaknya seperti puncak gunung es, semakin jauh dibongkar kasus korupsi di Indonesia, semakin banyak pula kasus yang mencuat. Hampir tiap hari, masyarakat dijejali berita korupsi dari level paling kecil sampai level raksasa yang berbilang triliun. Kasus demi kasus memaksa kita bahwa di sekitar kita bahkan diri kita dilumuri korupsi. Dapatkah korupsi hengkang dari bumi Indonesia?

Korupsi tampaknya tidak dapat hengkang dari alam kita karena merupakan karakter manusia yang terbentuk dari korupsi kecil-kecilan menjadi korupsi yang sesungguhnya. Kalau korupsi diantisipasi untuk diekcilkan tingkat signifikannya, bisa jadi dapat terealisasi. Namun, kalau dihapus sama sekali tampaknya jauh panggang dari api.

Jalan untuk mengecilkan tingkat korupsi dan bahkan meniadakan dari sanubari rakyat kita adalah jalan pendidikan. Lewat bangku pendidikan, semua guru bersatu dan kompak untuk mengajarkan bahwa korupsi itu nista dan serendah-rendahnya manusia. Guru sebagai anutan siswa mampu berbuat untuk menguatkan pribadi anak agar jauh dari korupsi.

Hanya saja, guru perlu perencanaan yang matang agar konsep korupsi benar-benar dipahami oleh siswanya. Siswa mengalami perubahan sikap setelah disentuh oleh guru. Kemudian, saat proses pembelajaran berlangsung, guru perlu mengemas materi korupsi dengan apik, bagus, dan sesuai dengan alam pikiran anak. Jangan lupa, adakan evaluasi sejauh mana siswa paham, menegerti, dan melakukan perbuatan nonkorupsi.

Cobalah guru mulai masuk ke konsep korupsi lewat korupsi kecil yang dialami siswa. Contoh, keterlambatan siswa atau guru, PR yang hanya dikerjakan sebagian, jam belajar yang tidak sesuai dengan jadwalnya, tatatertib sekolah yang dibelokkan siswa, dan seterusnya. Kebiasaan datang terlambat ke sekolah merupakan contoh korupsi yang kalau dibiarkan akan menjadi sebuah perilaku siswa sesungguhnya. Begitulah seterusnya.

Andai guru piawai, bisa jadi, budaya antikorupsi itu menjadi bagian dari hidup siswa. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur malam, siswa selalu diajari dalam keadaan bebas korupsi. Tiap malam menjelang tidur, siswa merenungkan dirinya tentang seharian yang dilewatinya apakah mengandung korupsi. Guru dapat menjadi pelopor antikorupsi agar kelak penjara Indonesia tidak dipenuhi oleh koruptor.

Selasa, 22 Juli 2008

Pungkas Tri Baruno, Guru Semangat Kaum Muda


Belajar dapat melalui pemodelan orang lain. Pemodelan itu memberikan inspirasi baru bagi orang yang mengamati, mendalami, dan mengkreasikan model yang pernah didengar dan dilihat secara langsung. Pungkas Tri Baruno juga merupakan guru bagi kaum muda, terutama semangatnya mendaki gunung. Semangat itu menjadi buku teks bagi kaum muda yang akan mendaki gunung sehingga tidak mengulangi kejadian yang dialami Pungkas.

Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Prof.Dr.dr. Azrul Azwar, MPH, menganggap pendakian ke puncak Mt McKinley di Alaska yang dilakukan Pungkas Tri Baruno, tidaklah sia-sia. Pungkas bersama Hartman Nugraha, keduanya Pramuka Penegak dari Kwartir Cabang Jakarta Barat, telah berhasil mencapai puncak Mt McKinley setinggi 20.320 kaki dan mengibarkan Bendera Merah Putih serta Bendera Tunas Kelapa, lambang Gerakan Pramuka.

Keduanya telah berhasil membuktikan bahwa kaum muda Indonesia mempunyai semangat serta kemampuan dan tak kalah dengan kaum muda dari negara-negara lainnya. Walaupun kondisi cuaca kurang bersahabat karena berangin cukup kencang dan suhu mencapai minus 25 derajat Celcius. "Adik Pungkas adalah pahlawan bagi Gerakan Pramuka," ujar Azrul Azwar sambil menambahkan bahwa seluruh jajaran Gerakan Pramuka turut berduka cita dengan meninggalnya Pungkas.

Pungkas meninggal dunia dalam perjalanan turun ke camp di ketinggian 17.400 kaki. Saat 10 menit lagi menjelang camp, tiba-tiba Pungkas jatuh terduduk. Teman-temannya segera mendekati Pungkas, "Ayo, tinggal 10 menit lagi kita sampai ke camp." Pungkas bangkit dan mencoba berjalan, tetapi jatuh lagi.

Setelah diperiksa nadinya tidak ada denyutan, maka segera dilakukan pertolongan CPR (cardiopulmonary resuscitation), pertolongan nafas buatan. Dua kali dicoba, namun tak berhasil. Oleh tim medis yang ada, kemudian diberikan suntikan 2 dosis ephinephrin untuk mencegah cardiac arrest, namun tak berhasil juga.

Pungkas adalah salah satu anggota Tim Ekspedisi Tunas Indonesia yang diberangkatkan Gerakan Pramuka untuk mendaki Mount McKinley dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 100 tahun Gerakan Kepanduan Sedunia. Menurut rencana, Gerakan Pramuka akan mengirim sejumlah anggotanya yang telah berpengalaman mendaki gunung untuk mencapai puncak-puncak tertinggi di dunia mulai 2008 ini.

Sebelum memulai pendakian, para calon anggota tim telah melakukan persiapan dan latihan di berbagai tempat selama berbulan-bulan. Latihan dipimpin langsung oleh para pendaki gunung berpengalaman di Indonesia yang juga telah pernah mendaki gunung-gunung bersalju di luar negeri.

Guru, Hindari Kekerasan kepada Anak

Oleh Suyatno

Secara yuridis formal perintah melindungi anak-anak dari kekerasan sudah diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahkan, Pasal 28 B atau 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Di sisi lain, berbagai macam dan ragamnya pelanggaran terhadap hak anak yang semakin tidak terkendali, mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Guru sebagai orang yang langsung berhadapan dengan anak tentunya menjadi pelopor antikekerasan kepada anak jangan malah sebaliknya.

Guru perlu paham bahwa pelanggaran terhadap hak anak dewasa ini semakin tidak terkendali dan mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta dan tidak tersembunyikan lagi.

"Kekerasan terhadap anak (fisik, psikis, dan seksual), selain tidak tersembunyikan lagi, juga membawa dampak yang permanen dan berjangka panjang. Karena itu, penanggulangannya perlu disegerakan, sekarang," kata Seto Mulyadi di saat Kongres Anak Indonesia VII/2008 di Bogor.

Sementara itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah ketika membuka Kongres Anak Indonesia menegaskan, jika menginginkan Indonesia yang lebih baik ke depan, tidak ada pilihan, anak-anak harus dari sekarang bekerja keras dan belajar. "Kita gagal membangkitkan semangat kerja keras dan belajar dengan tekun. Kita tidak seperti bangsa Korea, yang semula negaranya miskin, sekarang menjadi bangsa yang maju dan masyarakatnya sejahtera," katanya.

Guru juga perlu tahu bahwa sepanjang Januari-Juni 2008 ada 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis dan 12.726 anak korban kekerasan seksual di rumah, sekolah, dan lingkungan sosial anak. Sementara 70.000 sampai 95.000 anak diculik dan diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial. "Ada 1.589 anak usia di bawah 5 tahun positif HIV/AIDS. Sebanyak 101 anak di antaranya ditemukan DKI Jakarta (data Komisi Perlindungan Anak). Ada 136 anak menjadi korban penculikan, 18 anak di antaranya ditemukan dalam keadaan meninggal. Enam anak meninggal dalam bentuk mutilasi. Anak korban narkoba dan rokok juga banyak. Data menunjukkan, 800.000 anak menjadi korban peredaran narkoba. Sebanyak 15.800 anak remaja sekolah di DKI korban peredaran narkoba, 800 anak di antaranya adalah usia sekolah dasar. Sedangkan anak-anak yang merokok, usia 13-15 prevalensinya 24,5 persen (laki-laki) dan 2,3 persen (perempuan).

Guru sebagai orang yang dipandang dekat dengan anak di sekolah perlu membentuk sebuah gerakan ramah anak. Guru-guru harus kompak untuk tidak melakukan kekerasan hanya untuk memahamkan materi kepada anak. Sentuhlah anak dengan ramah dan sesuai dengan jiwanya, niscaya anak akan berkembang dengan hati mulia. Kekerasan sudah menjadi bagian masa lalu. Guru perlu mengubur dalam-dalam pola kekerasan itu. Mulailah dengan babak baru. Babak mengajar dengan ramah.

Senin, 21 Juli 2008

Guru di Mata Mbok Siti (4)

Guru itu ada di mana-mana dan kapan pun. Setiap apa yang kamu dengar, lihat, rasa, pikir, dan batinkan dapat menjadi gurumu. "Asalkan, semua itu bermanfaat bagi dirimu," ujar Mbok Siti pelan saat di dapur sambil menggoreng ubi jalar untuk kudapan sore hari.

Bara api yang kita lihat itu juga dapat menjadi guru. Lihatlah, kekuatan api yang membara dapat mematangkan ubi jalar. "Jika kamu mempunyai kekuatan berpikir tentu akan mampu menghasilkan sesuatu yang dahsyat bagi diri dan orang lain", tambahnya sambil menggerakkan alat goreng untuk membalik ubi di wajan penggorengan. Jadilah bara api yang mampu mematangkan benda yang ada di dalamnya.

Bandingkan dengan api korek ini, bara itu melebihi kekuatan apinya. Korek ini menjadi pemantik bagi bara itu. Nah, pemantik juga merupakan awal pembuka terjadinya sesuatu yang lebih besar. "Cobalah menjadi pemantik bagi gagasan yang lebih besar", tambah Mbok Siti.

Darah Daging Guru Metode Ceramah, Benarkah?

Oleh Suyatno

Metode ceramah yang ditandai oleh guru aktif, siswa pasif, kelas formal, tenang, dan sedikit tegang, banyak digunakan oleh guru hampir di semua tingkatan. Para guru menganggap bahwa metode ceramah merupakan senjata ampuh mereka dalam mengenalkan ilmu. Metode tersebut dieksplorasi melalui pola-pola yang berkutat pada siswa pasif.

Ada beberapa alasan para guru menggunakan metode ceramah. alasan tersebut adalah (1) metode ceramah merupakan metode yang paling dipahami guru, (2) jumlah siswa terlalu banyak, (3) metode ceramah tidak memerlukan media atau aspek lain yang terlalu rumit, (4) siswa akan ramai jika digunakan metode selain ceramah, dan (5)metode ceramah mampu menuntaskan materi yang disajikan. Metode ceramah menjadi pilihan utama guru meskipun para guru sudah ditatar metode lainnya yang dipandang lebih kreatif dan inovatif.

Guru yang berkutat pada ceramah dan menafikkan metode lainnya tentunya akan menemukan berbagai benturan. Betapa tidak. Siswa sekarang berbeda dengan siswa zaman dahulu. Dulu, tradisi lisan menjadi landasan berpikir dan berpola manusia. Sekarang, tradisi lisan sudah tergantikan dengan tradisi praktik, tulis, dan perpaduan audio, visual, dan kinestetis.

Sabtu, 19 Juli 2008

Kebodohan Guru Jika Anggap Siswa Bodoh

Oleh Suyatno

Kebodohan yang paling tinggi tingkatnya adalah menganggap orang lain bodoh. Begitu pula, guru yang anggap siswanya bodoh merupakan guru yang berada dalam level kebodohan tingkat tinggi. Bodoh bukan berarti gagal dan pandai bukan berarti sukses. Kebodohan dan kepandaian merupakan sesuatu yang relatif. Hari ini bodoh besok pandai. Hari ini pandai lusa tidak sukses. Oleh karena itu, semua siswa tidak bodoh karena dia pandai dalam potensi yang dimilikinya.

Winston Churchillnegarawan, ahli pidato, ahli strategi, mantan perdana menteri, dan pemenang nobel 1953 pernah tidak naik kelas 6 sekolah dasar. Guru-gurunya menganggapnya bodoh. Masa kecilnya dihabiskan oleh ketololan dan kebodohan yang tidak perlu. Begitu pula, Thomas Alva Edison, pemegang lebih 1000 hak paten, penemu bola lampu, dan jutawan saat kelas 3 SD dikeluarkan dari sekolah karena selalu mendapatkan nilai jelek dan guru sekolahnya selalu mengeluh. Akibat ibu yang tetap menganggap Edison seorang yang pandailah, Edison menjadi pandai. Riwayat Marlyin Monroe, Sylvester Stallon, Walt Disney, Charles Darwin, dan tokoh yang lain juga mengatakan bahwa mereka masa sekolahnya dianggap bodoh.

Anggapan bodoh dari guru-guru para tokoh di atas merupakan kekonyolan yang luar biasa. Hanya karena guru tidak menemukan titik sentuh untuk membuka diri yang sebenarnya dalam anak itu, guru langsung mengecap bodoh. Tiap anak mempunyai titik sntuh sendiri-sendiri yang kadang belum terlihat saat di sekolah.

Kemampuan guru dalam mencermati potensi siswa sesuai dengan titik sentuhnya sangat diperlukan. Guru perlu jam terbang dalam mencermati titik sentuh siswa. Di samping itu, guru perlu terus memacu diri dengan melalui membaca, berdiskusi, berkarya, dan berani mengidentifikasi titik sentuh siswa.

Terlalu banyak siswa yang telah dianggap bodoh oleh gurunya. Siswa yang berkejiwaan rendah akan segera turut memvonis dirinya bodoh selamanya akibat ucapan gurunya. Jadi, jika siswa dianggap bodoh, dia akan dapat lebih bodoh. Sebaliknya, ada pula siswa yang awalnya disebut bodoh dan pada saat lain, dia terlecut untuk membuktikan kalau dirinya sebenarnya pandai. Tampaknya, jumlah yang menganggap dirinya bodoh seterusnya jauh lebih banyak dibandingkan yang berubah menjadi nberprestasi.

Kecerdasan guru tentunya ditentukan oleh keberanian dia menganggap siswanya pandai meskipun dalam keadaan yang saat itu kurang mampu. Keberanian seperti itu sangat diperlukan dalam kondisi saat ini. Lawanlah kebodohan dengan keberanian menyebut semua siswanya pandai.

Jumat, 18 Juli 2008

Identifikasi Tangan Siswa sebagai Acuan Guru Bertindak


Guru hebat tentunya harus mempunyai kekuatan dalam melihat perkembangan psikologis siswa sehinggan pembelajaran yang dimainkan dapat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Dalam penguasaan perkembangan psikologis itu, guru dapat menggunakan tanda-tanda awal yang melekat dalam diri siswa, seperti wajah, bentuk tubuh, gerakan, dan energi mereka.

Selain wajah dan bentuk tubuh, tangan juga merupakan kunci yang membedakan setiap orang. Tangan dapat membuka rahasia bagaimana siswa menangani dirinya sendiri. Guru dapat bermula dari tangan siswa untuk menindaklanjuti pembelajaran yang berlangsung. Berikut tanda-tanda tersebut.

Menggunakan tangan kanan
Ia seorang yang rasional dan logis. Ia unggul dalam hal perhitungan, tapi kurang memberi perhatian pada estetika.

Menggunakan tangan kiri
Ia orang yang kreatif, intuitif dan memiliki kemampuan konseptual yang bagus.

Jari-jari panjang
Menunjukkan ia orang yang sangat peka terhadap sentuhan dan menyukai detail.

Jari-jari pendek
Ia adalah orang yang agresif, ulet dan bisa menjadi pemimpin yang baik.

Berkuku panjang
Ia orang yang bisa memberikan rangsangan pada partnernya. Ia juga mampu memberikan kesenangan dan kesedihan sekaligus.

Berkuku pendek
Ia orang yang mudah gugup dan mudah menyerah.

Tangan kiri lebih panjang
Segala tindakannya berdasarkan firasat atau alasan yang abstrak.

Tangan kanan lebih panjang
Apa pun yang ia lakukan berdasarkan pemikiran yang logis.

Boneka sebagai Pemicu Gagasan Siswa

Oleh Suyatno

Boneka yang tersebar di toko-toko dengan aneka bentuk lucu dan menarik dapat digunakan guru sebagai pemicu munculnya gagasan siswa berkaitan dengan topik pembelajaran. Siswa mampu mengaitkan bentuk boneka dengan gagasan-gagasan yang menarik dan mengasyikkan sehingga eksplorasi materi pembelajaran dapat berada dalam aspek kedalaman dan keluasan. Guru perlu menggunakan boneka tersebut agar kondisi kelas hidup dan bernapas.

Pada pembelajaran dengan topik kerusakan lingkungan hidup, misalnya,siswa diberi boneka beraneka macam untuk digunakan sebagai media dialog. Siswa berpasangan sambil memegang boneka. Siswa pertama mengajukan pertanyaan seputar kerusakan lingkungan dan siswa kedua menjawabnya. Begitu seterusnya. Kemudian, siswa mencatat hal yang dibicarakan. Hasil kelompok pasangan itu dapat dipadukan di kelompok yang agak besar (satu kelompok 4 orang atau 6 orang). Wakil kelompok melaporkan ke diskusi kelas. Begitu pula dengan pelajaran lainnya.

Dalam memainkan boneka, kreasi guru sangat diperlukan sehingga dapat menghidupkan kelas. Guru memberikan suara yang berbeda-beda sesuai dengan jenis boneka. Kalau boneka harimau, guru memberikan suara auman yang menyerupai harimau sambil mengatakan isi topiknya. Kalau boneka burung, guru bersuara mirip burung dalam menyampaikan isi pelajaran. Begitulah seterusnya.

Jika boneka di sekolah tidak tersedia, siswa dapat diminta untuk membawa boneka yang dimiliknya. Namun, guru juga tetap membawa boneka sebagai contoh semata. Boneka yang dibawa siswa dapat dipertukarkan dengan boneka milik teman sehingga muncul dinamika kelas. Jangan lupa, tiap boneka perlu diberi tanda pemiliknya agar tidak terjadi keributan setelah pembelajaran berlangsung.

Pada prinsipnya, seseorang akan dapat mengeluarkan gagasan dengan baik jika gagasan itu dibungkus melalui aspek lain. Siswa akan lancar berbicara jika mereka berbicara seolah-olah bukan dirinya. Goyangan tangan sambil memegang boneka memberikan kesempatan siswa untuk memunculkan gagasan. Tarikan tangan sebagai simbol boneka itu hidup memberikan kesempatan siswa memunculkan gagasan.

Kamis, 17 Juli 2008

Guru di Mata Mbok Siti (3)

Oleh Suyatno

Aku sebenarnya ragu juga bertanya terus kepada Mbok Siti. Namun, kawanku, DJoko Adi Waluyo menitipkan pertanyaan. terpaksa, aku beranikan bertanya. "Lho, mengapa ragu bertanya anakku", ujar Mbok Siti lirih. "Waduh, Kok Tahu ya Mbok Siti dengan angan-anganku?", batinku. Semua indera ini adalah alat untuk menangkap gejala termasuk menangkap batin seseorang. "jadi, pakailah telinga untuk melihat, pakailah mata untuk mendengar, dan pakailah pikiran untuk berjalan", jelas Mbok Siti.

"Nah, pertanyaan kawanmu itu tentang apa?", pancing Mbok Siti sambil menunjukkan gigi ompongnya. Kawanku bercerita bahwa anaknya menangis saat pertama sekolah, menjerit minta jurusan IPA, anaknya minta ditunggu di sekolah saat bersekolah, dan dia membelikan buku anaknya namun keliru. "itu pertanyaanku, Mbok?", kataku pelan.

Itu bukan pertanyaan tetapi kenyataan. "Jawabnya, jadilah guru yang mengerti tentang kehendak", jawab Mbok Siti. Semua terjadi karena kehendak anak yang tidak dikehendaki dan tanpa terkehendaki orang di luar anak itu. Anak ngomel, menangis, marah, merajuk, dan meminta merupakan sebuah kehendak anak yang tidak berada pada kesesuaian kehendak itu. "Nak, jadilah guru yang seirama dengan kehendak anak. Niscaya, anak tidak menagis melainkan gembiran.

Guru di Mata Mbok Siti (2)

"Nak, meski lama tidak bertemu sebenarnya tidak jadi mengapa, namun kedekatan tidak akan dekat jika ada hasrat yang berlagu kejauhan", sapa Mbok Siti saat aku menyusuri rumahnya setelah satu bulan tidak bersua. Pikiranmu adalah milikmu. Kaulah sang waktu yang mampu bertumpu pada kakimu. Ke mana maumu, itulah arah gurumu. "Jangan jauh-jauh mencari guru karena guru selain ada dalam dirimu juga ada dalam arah yang akan dituju", kata Mbok Siti yang tetap saja mengenakan baju hitam kusam seperti sebulan yang lalu.

Aku semakin penasaran dengan segala perkataan Mbok Siti. Justru Mbok Sitilah guru sejatiku, gumamku. "Bukan, aku bukan gurumu", cetus Mbok Siti. "Aku hanyalah perantara seperti pohon mengantarkan zat asam bagi kita. Seperti, matahari mengantarkan panas pada manusia", ujarnya mantap. Gurumu ada dalam arahmu.

Rabu, 16 Juli 2008

Agar Cinta Guru Tidak Berlalu dari Hati Siswa

Siapa yang tidak suka jika guru dicintai siswanya sepanjang hidupnya. Tentunya, siswa juga suka jika dicintai gurunya. Supaya hubungan berjalan mulus, antara guru dan siswa, ada rambu-rambu yang perlu guru ketahui agar cinta ssiswa tidak cepat berlalu. Ada beberapa kesalahan guru yang sering membuat siswa menjadi kehilangan selera dan malas melanjutkan hubungan meskipun berada di kelas.

1. Menjelek-jelekkan siswa
Bila guru hobi membicarakan kelakukan buruk siswa, bisa jadi siswa akan berpikir, kelak bila hubungan ini berakhir, guru akan berlaku sama terhadapnya. Bagaimana pun, siswa adalah seseorang yang pernah hadir dalam hidup guru dan guru menghabiskan banyak waktu bersama. Jadi, jangan sekali-kali menjelek-jelekkan siswa baik secara langsung di kelas maupun di tempat lain. Siswa mempunyai kekurangan merupakan hal yang wajar.

2. Gila pujian
Guru sering sekali bertanya, "bagaimana penampilanku?" Meski siswa sudah mengatakan bahwa guru itu baik, luarbiasa, ganteng, dan cantik, tapi bolak-balik guru mengajukan pertanyaan seputar penampilan tubuh. Berhentilah memancing pujian. Bukankah pujian seharusnya keluar dari hati yang tulus? Lagi pula, terlalu cerewet pada penampilan bisa menandakan guru tersebut terobsesi pada penampilan.

3. Posesif
Tahan keinginan untuk mengetahui setiap detail mengenai kegiatan siswa, apalagi mendesaknya dengan berbagai pertanyaan. Tanyakan saja kabar dan kegiatannya dengan kalimat yang manis dan wajar. Buang jauh-jauh sikap paranoid. Sadarilah bahwa siswa punya kehidupan sendiri, seperti keluarga dan kariernya. Karena itu berikan siswa kesempatan untuk menikmati "me time-nya".

4. Senang mengatur
Meski tujuan guru adalah untuk mengingatkan atau sebagai bentuk perhatian, tapi tahanlah keinginan untuk mengatur hal-hal yang harus dilakukan siswa. Ingat, guru adalah mitra siswa, bukan ibu atau bosnya.

Bambang DH, Sang Walikota, dalam Kubangan PSB yang Penuh Lumpur

Oleh Suyatno

Saya tertawa lebar ketika membaca berita bahwa Bambang DH, walikota Surabaya, mengatakan PSB on-line hanya kesalahan teknis. "Sistem PSB sudah benar hanya teknisnya salah", ujarnya bernada menutupi kesalahan PSB on-line tahun ini (Jawapos, 15 Juli 2008). Padahal, teknis salah disebabkan sistem yang salah. Bukankah sistem merupakan rancangan di atas kertas yang memerlukan aplikasi konkret di lapangan. Jika aplikasinya salah, sistem yang diciptakan perlu dipertanyakan karena tidak dapat dijalankan.

Dari tahun ke tahun, PSB On-line di Surabaya kacau-balau di saat menjelang hari terakhir pendaftaran. Kejadian itu menandakan bahwa sistem yang diciptakan tidak realistis dan tidak rasional dalam menghadapi data masuk secara bersama-sama, serentak, dan dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, Bambang DH perlu mereviu sistem penerimaan on-line secara total. Jangan sampai, Bambang DH hanya terjebak oleh berpikir bahwa sistem benar teknis salah. Bisa jadi, sistem salah teknis juga salah.

Dapat pula, kita menduga bahwa PSB on-line Surabaya penuh dengan intrik para orangtua yang akan main mata sehingga PSB on-line sengaja dikacaukan agar tidak terlihat kasat mata sekongkol oknum diknas dengan orangtua. Sekongkol itu berkutat pada uang pelicin, nepotisme, dan raja kecil yang harus dilayani.

daripada tiap tahun selalu rusak PSB-nya, Surabaya perlu mengambil kebijaksanaan baru berupa PSB melalui sekolah masing-masing. Biarkan sekolah belajar bertanggung jawab dengan melakukan seleksi sendiri. Berilah kepercayaan kepada sekolah untuk berbuat demi kemajuan sekolahnya. yang penting, para pengawas bekerja dengan ketat untuk mengawasi sekolah dalam PSB.

Bambang DH harus berpikir jernih sehingga tidak serta merta mengatakan bahwa sistem benar teknis salah setelah mendapatkan laporan bawahannya. Cobalah PSB on-line Surabaya dicek dengan mata kepala sendiri lalu analisislah. Setelah itu, pasti akan diketahui bahwa ternyata sistem salah dan teknis salah. Begitu khan Pak?

Senin, 14 Juli 2008

Guru di Hari Pertama Siswa Masuk Sekolah

Oleh Suyatno

Minggu ini adalah minggu pertama anak-anak bersekolah (kalau mengacu kalender Jawa Timur). Siswa baru masuk tentunya masih berkelana mencari kawan baru, persepsi baru, dan guru baru yang diharapkan melekat kuat dengan baik hati bagi anak-anak. Bagi anak-anak yang lama (belum waktunya mutasi sekolah baru)sikap penyesuaian tidak diperlukan meskipun mereka sangat dimungkinkan ganti kelas dan ganti teman sekelas. Kondisi itu sangat diketahi dan dipahami oleh guru dalam bersikap.

Apa yang seharusnya dilakukan guru di hari pertama siswa masuk sekolah? Guru yang arogan dan sok kuasa dapat dipastikan akan pasang badan dan siap mengumbar celoteh kemarahan untuk memunculkan kesan kalau dia berkuasa. Guru seperti itu selalu ditakuti siswa karena guru itu memang berperilaku menakut-takuti. Guru arogan bersifat semena-mena. Anak-anak dianggap sebagai objek yang siap disuruh-suruh, diomeli, dan dibentak-bentak. MOS (Masa Orientasi Siswa) dianggapnya sebagai Masa Omelin Siswa.

Lain lagi, guru yang santun. Dia akan menyelami posisi kejiwaan anak saat baru pertama masuk sekolah. Senyum diumbarnya untuk memasuki kejiwaan siswa. Kalimat bijak keluar dari mulutnya untuk memberikan gambaran kedamaian dan keasyikan bersekolah bagi siswa. Siswa dianggapnya sebagai mitra yang akan berjalan bersama-sama menyelami dunia pengetahuan.

Jumat, 11 Juli 2008

Multimedia Tingkatkan Hasil Belajar

Bagaimanapun, multimedia terbukti dapat meningkatkan hasil belajar bagi peserta didik. Hal itu membuktikan bahwa sumber belajar yang diperoleh peserta didik tidak saja melalui telinga alias ceramah tetapi melalui indera lainnya. Hal tersebut dibuktikan oleh pemenang Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) Ke-7 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Sugeng Priyanto dari Universitas Brawijaya, Malang.

Seperti yang telah dilaporkan Kompas.com, Rabu, 9 Juli 2008, di halaman Sains, Sugeng Priyanto membuktikan bahwa multimedia memberikan hasil belajar yang lebih dibandingan dengan monomedia. "Setelah pengujian statistik dan dilakukan perbandingan rerata hasil belajar, kelompok yang menggunakan aplikasi multimedia setelah perkuliahan mendapat rerata skor 7,37, sedangkan yang tidak mendapat 6,94," kata Sugeng dari Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Unbraw. Hasil penelitian Sugeng itu memperoleh penghargaan berupa uang Rp 12 juta dan polis asuransi dari hasil penelitiannya yang dinilai juri sebagai yang terbaik.

Ia menjadi pemenang pertama bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) PPRI yang diselenggarakan LIPI dengan judul penelitian "Aplikasi Multimedia sebagai Media Pembelajaran Interaktif pada Mata Kuliah 'Foundation of Nursing IV' Menggunakan 'Model Expository Teaching' terhadap Hasil Belajar Mahasiswa".

Jadi, dengan menggunakan multimedia dalam pengajaran, urainya, akan mampu mengondisikan suasana belajar yang bisa memaksimalkan proses penerimaan suatu informasi dengan lebih baik.

"Pada kelompok multimedia dibuatkan tampilan presentasi interaktif tentang 'Wound Care' berupa tampilan teks dan animasi tiga dimensi (3D) manusia secara singkat yang dilanjutkan dengan penjelasan anatomi kulit, stadium luka, dan video tentang tindakan keperawatan luka di RS," kata Sugeng kelahiran Jember 21 April 1986 itu.

Sugeng menggunakan sampel seluruh mahasiswa semester IV tahun ajaran 2007/2008 yang mengikuti perkuliahan Foundation of Nursing IV di Jurusan Keperawatan Unbraw yang kemudian ia kelompokkan menjadi dua, yakni kelompok yang menggunakan aplikasi multimedia dan yang tidak.

Sementara itu, model belajar "Expository Teaching", menurutnya adalah model pembelajaran yang baik, di mana dalam model ini dikenal tiga tahap. Pertama, mengarahkan pelajar pada materi yang akan dipelajari dan membantu mengingat kembali informasi yang terkait.

Tahap kedua, materi baru itu disampaikan dengan memberi ceramah, diskusi film, atau memberi tugas kepada pelajar. Tahap ketiga, dengan menggabungkan informasi baru ke dalam susunan pelajaran yang sudah direncanakan dan memberi kesempatan pelajar melontarkan pertanyaan untuk memperluas pengetahuan terkait.

Pengawas Pendidikan Kepulauan Riau Digembleng Pembelajaran Inovatif

Oleh Suyatno

Tanpa bicara yang penting bekerja, tanpa menunggu kuharus mampu. Itulah pernyataan yang dinyanyikan bersama oleh pengawas pendidikan Provinsi Kepulauan Riau saat mengikuti pelatihan pembelajaran inovatif. Suara lantang itu seolah menghunjam sanubari masing-masing untuk segera berubah dalam menjalani tugas kepengawasan.

Inovasi pendidikan dapat berawal dari kerja seorang pengawasnya yang mampu memainkan motivasi bagi guru mitra masing-masing. Salah satu bekal untuk itu adalah penguasaan metode pembelajaran yang inovatif. Ada 186 metode inovatif tetapi hanya 4 yang baru dikuasai oleh guru, yakni ceramah, diskusi, tanya jawab, dan penugasan. Dari ke-4 metode itu, hanya 1 yang dominan dijalankan, yakni ceramah.

Para pengawas Kepulauan Riau sangat antusias mengikuti pelatihan yang dilaksanakan empat hari itu. Garduguru kebagian memberikan materi inovasi pembelajaran selama 6 jam, dari pukul 07.30 s.d. 12.15. Peserta tampak mengikuti dengan hati. Mereka terbawa emosi yang dimainkan garduguru. Kinestetis, audio, dan visual peserta tergabung dalam mendalami metode inovatif yang disajikan dengan model partisipatori.

Oleh-Oleh Raimuna Nasional 2008

Oleh Suyatno

"Oleh-oleh saya kaonak", kata Usman, peserta dari Surabaya ketika ditanya garduguru. Ya Kaonak. Kaonak merupakan bentuk salaman dari peserta Papua dengan cara mengaitkan jari tangan yang dilipat di sela-sela jari kawan bersua lalu ditarik sampai bunyi "tok". Itulah wujud persahabatan kawan sebangsa dengan ragam unik masing-masing. Ada makna mendalam saat mereka berkaonak, yakni keselarasan rasa dan kesamaan senyum yang menyeruak menjadi sebuah keakraban. Andai semua generasi muda bersua dengan keakraban tentunya Indonesia akan tegak berlandaskan kebersamaan yang akrab.

Dari kaonak tersebut, terbersit bahwa tujuan Raimuna Nasional 2008 tercapai dari sisi brotherhood-nya. Indonesia akan bergerak maju dari sebuah persahabatan yang akrab. Bentuk salam lainnya yang bersifat khas daerah masing-masing juga menyembur dari Cibubur. Salam itu berupa kode tangan, yel, suara, dan warna kebanggaan masing-=masing yang melekat di kaos, topi, dan jaket mereka. Garduguru sangat takjub memperhatikan dunia keakraban alamiah dari kaum muda Indonesia.

Oleh-oleh berikutnya, Raimuna Nasional 2008 dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi oleh kader muda yang masih berusia 16 s.d. 25 tahun. Di usia yang masih muda itu, mereka mengaplikasikan manajemen dan kepemimpinan secara nyata. Benturan masalah, cercaan, makian, dan kesalahpahaman tentunya terjadi secara nyata yang mampu mereka hadapi. Itulah sebuah simulasi besar yang mampu memberikan percepatan belajar bagi anak-anak muda. Kelak, mereka akan menghadapi dunia manajemen yang lebih besar di dunia kerja dengan apik pula. Itulah sebuah harapan dan sekaligus impian.

Kampung tenda yang dibangun sangat rapi dan bersih dengan model tenda beraneka ragam. Sesekali terdengar nyanyian pramuka dan lagu anak muda dari dalam tenda. Suara cekikikan, humor, dan kalimat perintah juga muncul dalam relung tenda yang dibangun peserta. Gegap-gempita itu menandakan bahwa ada segumpal asa yang membumbung dari bingkai tenda mereka. Dengan melihat kondisi itu, garduguru rasanya ingin muda kembali. Tata kemah dengan strategi manajemen tapak kemah tampak telah mereka kuasai dari daerahnya. Kebersihan terlihat jelas di kanan dan kiri tenda. Aduh, inilah gambaran generasi yang berlatih mandiri di bawah payung dasadarma pramuka.

Hanya saja, peserta Raimuna Nasional 2008 telah dikepung dagangan dari segala penjuru. Uang mereka terhipnotis untuk ditumpahkan ke barang konsumtif. Bisnis merasuki alam pikiran peserta sebagai konsumen. Andai dagangan agak dijauhkan dan diganti dengan pajangan keberhasilan seorang kaum muda, hasilnya tentu akan juga melecut prestasi mereka. Buku-buku, majalah, koran, dan cetakan lainnya yang berisi tentang kepramukaan tidak lengkap. Hanya satu kios yang menyediakan buku pramuka, yakni kios dari Jawa Barat.

Tapi, inilah sebuah gelar anak muda yang patut diapresiasi. Inilah sebuah titik awal dari sebuah perjalanan anak bangsa. Bravo Pramuka!

Selasa, 08 Juli 2008

RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk Siapa?

Oleh Suyatno

Rencana pembelajaran merupakan kata wajib bagi seorang guru sebelum masuk kelas dengan harapan dapat memberikan nilai tambah pendidikan. Oleh karena itu, sangatlah wajar para guru saat ini sibuk dengan RPP dari waktu ke waktu. Kesibukan itu ditandai oleh guru yang membuat sendiri RPP untuk mengajar, guru yang pinjam RPP teman, Guru yang mengunduh RPP dari internet, dan guru yang memfotokopi RPP yang sudah ada. Itulah kesibukan seorang guru karena memang diwajibkan sekolah untuk mengumpulkan RPP.

Hanya saja, benarkah RPP yang diperoleh atau dibuat itu benar-benar dipakai guru untuk mengajar? Tampaknya, tidak ada data kuat untuk itu. RPP dibuat hanya untuk ditandatangankan ke kepala sekolah sebagai syarat administrasi seorang guru. Ketika mengajar, guru kembali ke gaya klasik tanpa persiapan sama sekali. RPP hanyalah RPP, yang penting masuk kelas, bercuap-cuap, lirik buku paket, dan habislah waktu mengajar.

Padahal, RPP dibuat untuk diterapkan di kelas saat guru mengajar. Saat mengajar, guru melihat RPP miliknya sambil memberikan catatan di RPP jika terjadi hal-hal yang dirasakan penting untuk dicatat. catatan tersebut pada kemudian hari digunakan untuk perbaikan RPP berikutnya. Dengan begitu, RPP selalu terbarui berdasarkan konteks mengajar dan belajar di kelas.

Jika pencatatan itu dilakukan dengan rutin dan seksama, guru tentunya tidak akan pernah kesulitan dalam membuat PTK, makalah pembelajaran, dan buku penunjang. Catatan mengajar sangat penting artinya bagi keberlangsungan prestasi dan kinerja guru.

Untuk itu, para kepala sekolah perlu menolak RPP jika rencana itu tidak diterapkan di sekolah dengan benar. Janagan sampai, justru kepala sekolah melakukan kompromi dengan pola seolah-olah RPP digunakan. Dari kelaslah, kemajuan pendidikan akan tampak berkembang.

Sabtu, 05 Juli 2008

Derap Kaki Pramuka Melangkah ke Tapak Sang Guru

Oleh Suyatno

Cibubur masih pagi, pepohonan berdiam diri menikmati sang pagi, tetapi derap kaki anak muda yang terlibat dalam Kemah Nasional bernama Raimuna Nasional 2008 melangkah ke sentra kegiatan hari itu. Garduguru sengaja datang ke lokasi pagi-pagi untuk turut menyapa kaum muda yang sedang berguru dengan alam. Tiap sentra kegiatan riuh oleh semangat dan kegembiraan peserta. mereka bernyanyi semangat sambil menunggu koordinasi pantia kegiatan.

Kaos lapangan beraneka warna menyelimuti punggung anak muda itu. Kaos warna-warni itu menandakan dinamika diri yang ingin mereka tunjukkan di arena akbar pramuka lima tahun sekali. Selang tiga puluh menit, sentra berkumpulnya anak muda itu kosong dan lengang. Mereka beranjak ke tempat kegiatan masing-masing. Ada yang jalan kaki sambil berderap baris santai dan ada yang menaiki bus yang menjelajah Kota Jakarta dan Gunung Puncak Cibodas.

Di tempat lain, di lapangan selatan tempat upacara tampak tenda santai yang mulai diisi oleh pramuka tua yang dahulu pernah ikut Raimuna dan sejenisnya. Mereka tampak akrab dan bersaudara. Memang, ciri pramuka pertama adalah persaudaraan. Garduguru menghampiri tenda itu sambil mengucap salam kawan lama. Ternyata, yang duduk di bawah tenda itu, kawan-kawan aktivis garduguru saat di pramuka.

Pembicaraan diawali dari segelas air mineral yang diteguk masing-masing. Tambah lama tambah panas pembicaraan itu. Topik utama adalah kelangsungan Gerakan Pramuka sebagai wadah yang menggembleng anak muda.

Alam adalah guru sesungguhnya yang memberikan gagasan untuk perubahan. hanya saja, mampukah alam dieksplorasi buku keilmuannya. Raimuna ini, mampukah menjadi guru yang ilmunya akan dibawa pulang oleh peserta se-Indonesia.

Saat posting ini dibuat, tanggal berada di angka 5 Juli 2008 pukul 11.00 siang dan garduguru masih berada di tengah diskusi. Lanjutannya, menyusul ya.

Jumat, 04 Juli 2008

Kemah Nasional Raimuna 2008 Tempat Berguru Kaum Muda

Oleh Suyatno

Gaung Raimuna Nasional 2008 tidak sehebat Jambore Nasional meskipun keduanya sama-sama perkemahan akbar untuk para pramuka. Kalau Jambore diperuntukkan bagi pramuka penggalang (usia 11--15 tahun), Raimuna merupakan perkemahan untuk pramuka penegak dan pandega (usia 16 s.d. 25 tahun). Keduanya merupakan ajang berguru para kaum muda untuk mengeksplorasi diri menjadi generasi multifungsi.

Raimuna Nasional kali ini diadakan 27 juni s.d. 7 Juli 2008, di Cibubur Jakarta yang diikuti oleh pramuka penegak dan pandega se-Indonesia. Tiap kabupaten dan kota mengirimkan 10 putera dan 10 puteri. Mereka berkiprah menggembleng diri, mencari sahabat baru, menjelajah, mengobservasi, dan memberikan masukan ke dalam memori sebuah pengalaman yang berarti bagi dirinya.

Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman berkemah dengan setting belajar alamiah jauh dari segala keperluan modern merupakan lahan menempa diri. Bukalah hati dan pikiran dan padukan dengan keselarasan alam merupakan kunci menguak ilmu yang berada dalam buku alam yang sesungguhnya. Nah, siapa yang mampu menyerap ilmu dari segala yang terkembang di alam perkemahan, dialah yang mampu menimba ilmu yang luar biasa.

Cibubur adalah lingkungan perkotaan dan sekaligus lingkungan pedesaan serta pegunungan. Konteks alam seperti itu sangat baik dijadikan guru bagi aak-anak muda. Hanya saja, kemasan yang menarik sangat diperlukan di lokasi itu.

Garduguru juga turut mengamati proses keberlangsungan belajar-mengajar dengan alam di Cibubur. Waktu dan ruang disempatkan untuk menghinggapi ajang kiprah anak-anak muda. Oleh-olehnya, tunggu saja ya sepulang dari Raimuna Nasional.

Selasa, 01 Juli 2008

Inilah Bulan Ngaji bagi Guru

Oleh Suyatno

Yap! Saat inilah masa terbaik guru untuk ngaji agar mempermudah kinerja yang dibungkus oleh asal-asalan. Apa itu ngaji? Banyak guru yang pura-pura tidak tahu arti ngaji. padahal, hampir semua guru mengalaminya kecuali guru sejati.

Ngaji singkatan dari ngarang biji alias mengarang skor buat siswanya. Skor diperoleh dari kesewenangan guru tanpa didasari prestasi autentik siswanya. Bahkan, ada siswa yang sudah meninggal pun mendapatkan skor. Siswa yang mutasi ke sekolah lain pun pasti mendapatkan skor. Skor ditentukan atas feeling guru.

Siswa yang pandai kadang mendapatkan nilai rendah. Sebaliknya, siswa bodoh mendapatkan nilai tinggi. Kondisi itu sangat wajar menurut guru tersebut karena guru memberikan nilai asal-=asalan. Yang penting ada angka di rapor siswa. Aduh, betapa siswa diajak ke dunia imajinasi guru dan tidak dapat mengetahui kemampuannya yang asli.

Anehnya, sekolah mengetahui akal-akalan guru seperti itu namun tidak jua menegur bahkan menghukumnya. Bahkan, perbuatan itu menjadi rahasia umum. Guru seperti itu adalah guru yang hidup enggan mati tak mau.

Up! Tunggu dulu, tidak semua guru seperti itu. banyak guru yang melakukan penilaian autentik dan skor diperoleh dari kondisi siswa secara nyata. Guru autentik inilah yang seharusnya menjadi guru yang diberi penghargaan khusus. Bagaimana dengan Anda?

Harapan Guru Unggul Masih Ada

Oleh Suyatno

Rasanya, badan ini seperti digebuki dengan kayu jati saat sepuluh hari tidak memposting di garduguru ini. Ada gagasan yang menumpuk-numpuk di otak dengan segala kegelisahannya. Namun, akhirnya, waktu memberikan kesempatan untuk menulis di blog ini. Nah, karena ada kesempatan, jadilah posting kerinduan ini yang ditulis dari sanubari harapan guru unggul.

Selama sepuluh hari, ya, sepuluh hari, garduguru melalangbuana menemui kerinduan guru dalam meningkatkan nyali mengajar. Ada senyum menjuntai di wajah guru saat bertemu dengan garduguru. Ada harapan yang terendam kuat dalam gurat otot yang mulai merakyat. Ada sorot mata kegelisahan untuk menggapai harapan secepatnya demi siswanya.

Benarlah bahwa guru itu masih mempunyai harapan untuk menyajikan yang terbaik buat anak bangsanya. Mereka turut ikhlas mengikuti pelatihan dengan seksama. Konsep demi konsep dilahapnya untuk dicerna menjadi sebuah kesempatan berkarya. Berduyun-duyunlah, guru mendatangi sajian garduguru.

Guru unggul itu bukan sebuah ilusi dan utopia semata namun guru unggul telah menjadi sebuah realitas yang sempurna. Semua guru, tidak terkecuali dapat menjadi guru unggul berdasarkan warna pedagogisnya. Semua guru mempunyai potensi besar yang jika diledakkan akan menjadi ujud gemilang di prestasi anak-anaknya.