Selasa, 29 Juli 2008

Melihat Pola Penanganan Kinerja Guru di India

Oleh Suyatno

Pembinaan guru yang tersistem dan terarah ternyata mampu memberikan pengaruh bagi cara mengajar dengan baik dan meningkatkan prestasi siswa. Hal itu terlihat di India dalam program peningkatan guru-gurunya. Guru India terpantau secara rinci dan harus mengikuti pelatihan berstandar dari fase rendah ke fase tinggi, siapapun dia, dan dimanapun dia berada. Bandingkan dengan di Indonesia, pelatihan guru tidak tersistem dan terserah guru dalam berlatih.

Pada awalnya, guru di India sangat tidak meyakinkan untuk meningkatkan SDM rakyat India. Kemudian, muncullah pertanyaan dari pemerintah India, yakni "Bagaimana sistem pendidikan dapat memberi perubahan pada guru dan dalam skala besar? Padahal jumlah sekolah, terutama SD meningkat drastis dari 0,84 juta dalam tahun 1999-2000 menjadi 1,04 juta dalam tahun 2005-2006, dan jumlah guru meningkat dari 3,2 juta dalam tahun 99-00 menjadi 4,17juta dalam tahun 05-06. Hal tersebut merupakan peningkatan yang besar dan fantastis. Namun, kenyataannya jumlah peningkatan itu tidak beriring dengan peningkatan pembelajaran yang mampu mendongkrak mutu anak. Pembelajaran tetap saja pada tingkat yang sangat rendah.

Padahal, Pemerintah India selalu melakukan pelatihan bagi guru [in-service] yang rata-rata 20 hari dalam setahun di bawah Program PUS India, Sarva Shiksha Abhiyan. Salah satu realisasi yang muncul adalah tidak adanya kesepakatan dan kejelasan bagaimana ‘pelatihan guru yang baik’ juga karena tidak adanya kesepakatan dan mengenai bagaimana mengajar yang baik.

Nilai ujian siswa dapat dicapai meskipun tanpa didukung guru dalam mengajar dengan baik. Untuk mengatasinya, diperlukan asesmen dan strategi terencana guna meningkatkan kualitas mengajar dan belajar bagi guru. Upaya itu digencarkan secara nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah India dengan dukungan dari UNICEF dalam program ADEPTS [Advancement of Educational Performance through Teacher Support] Program ADEPTS dimulai dengan sebuah pertemuan badan penasihat yang dihadiri oleh beberapa negara bagian di India untuk menyetujui draf ‘standar kinerja’ untuk guru, pelatih dan institusi pendukung guru dari kecamatan sampai tingkat provinsi. Menariknya, konsensus pertama yang dihasilkan adalah keberagaman kelompok siswa adalah faktor utama yang diperhatikan. Menurut raapat itu, anak mempunyai latar belakang sosial ekonomi, etnis, bahasa, dan tingkat kemiskinan yang berbeda yang memengaruhi kemampuan mereka bersekolah. Di India, peningkatan pendaftaran telah menyadarkan anak-anak yang secara tradisi tidak pernah bersekolah seperti anak cacat, pekerja anak, kelompok imigran, anak perempuan dari masyarakat tertentu dan lainnya dari kelompok yang paling marginal untuki bersekolah.

Memang sebelum ADEPTS dilaksanakan, Kelas, pedagogi, kurikulum dan bahan pelajaran masih belum dapat menganggap pentingnya hubungan keragaman latar belakang siswa, sebagai akibatnya mereka mengorbankan yang lemah dan kualitas pendidikan secara keseluruhan tetaplah buruk.

Program ADEPTS adalah menciptakan kepemilikan dan mengubah cara yang ‘masuk akal’ dalam diskusi dengan para praktisi. Program itu dimulai dari sebuah pertemuan untuk menimbulkan persepsi baru bahwa tempat kerja guru yaitu sekolah adalah satu kesatuan penting dari hubungan dan proses. Berikutnya, peserta dalam proses tersebut, termasuk guru-guru, terikat pada pertanyaan: "Apa yang kita inginkan untuk melihat yang sedang dikerjakan guru?" Banyak jawaban yang muncul dari pertanyaan ini, dan yang penting adalah kesepakatan. Kesepakatan yang muncul adalah sekolah mempunyai empat dimensi yang harus menyatu, yakni fisik [atau menciptakan lingkungan fisik yang kondusif], kognitif [memungkinkan pembelajaran melalui interaksi], sosial [berpusat pada hubungan, etika] dan organisasional [sekolah sebagai sebuah badan, dalam kaitannya dengan masyarakat]. Keempat aspek itu menjadi ‘pernyataan standar’, dengan daftar yang mereka pegang sebagai indikatornya.


Dengan pernyataan standar itu, tahap berikutnya adalah mengukur tingkat kinerja saat ini. Tim pusat kemudian melaksanakan ‘kunjungan siswa ke negara bagian lain’ ke ratusan sekolah dan struktur-struktur pendukungnya. Di seluruh negeri, ada sebuah kesadaran bahwa kinerja guru di dalam kelas pada kenyataannya berada pada tingkat yang sangat rendah dan perlu untuk ditingkatkan secara dramatis.

Kemudian, guru di India ditingkatkan dengan berdasarkan pada beberapa kunci dasar yang disepakati sebagai berikut.

Pertama, motivasi utama bagi para guru adalah mengalami kesuksesan di kelas. Inilah persyaratan minimal yang harus dipenuhi guru sebelum menerapkan standar-standar lainnya.

Kedua, guru harus berubah dengan lebih banyak menerapkan praktik daripada melalui teori.

Ketiga, guru mempunyai kesempatan untuk belajar Kesempatan belajar itu direncanakan dalam untuk pengembangan guru, yang dibagi fase triwulanan, setiap fasenya mempunyai angka indikator yang sangat terbatas untuk dicapai [4-8]. Ketika guru mencapai satu indikator, dia berkesempatan ikut pelatihan ke fase yang lebih tinggi. Institusi pendukung juga bekerja sama dengan para guru dan berjalan berdampingan satu sama lain.

Keempat, Standar dan indikator kinerja guru diarahkan ke langkah nyata yang dapat diterapkan secara aktual oleh para guru.

Dalam beberapa bulan, lebih dari 15 negara bagian di seluruh negeri baru-baru ini telah berinisiatif melaksanakan ADEPTS dalam cara yang berbeda dalam memperbaiki pelatihan, mengadakan pertemuan tahap lokal para guru untuk memilih dan menerapkan standar, dan mengembangkan materi pendukung.

sumber: ww.idp-europe.org/eenet/newsletter5_indonesia

Tidak ada komentar: