Kamis, 21 April 2011

Pahlawan Ibu Kita Kartini Masih di Kegelapan karena Belum Habis Terang

Memang sebuah harapan yang mencerahkan jika semua berharap habis gelap terbitlah terang. Tidak ada satupun orang yang berharap habis gelap lalu gelap lagi. Nah, isi surat-surat Kartini mengindikasikan cita=cita terang dari sebuah kegelapan. Namun sayangnya, kaum perempuan saat ini lebih berada di kegelapan, yakni gelap akan sinar kebebasan karena lebih terikat dengan mal dan gaya kaum nasistis. 


"Habis Gelap Terbitlah Terang"  layaknya perlu dibaca oleh semua perempuan dan warga laki-laki agar terdapat dunia terang yang tidak akan pernah gelap lagi. Surat Kartini sangat menginspirasi pembaca untuk meyakini bahwa dunia terang sudah dicita-citakan oleh nenek moyang Indonesia. Surat Kartini pertama kali diterbitkan dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis Tot Licht" pada tahun 1911. Buku tersebut disusun oleh JH Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang saat itu menjabat sebagai menteri (direktur) kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L Symmers.

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran". Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara. Pada 1938, buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.

Kartini sangat kritis pada zamannya terhadap situasi yang berkembang di lingkungan hidupnya. Daya serap pengamatannya sangat kuat terhadap kondisi rakyat yang sebenarnya.  Pengamatan itu terlihat pada tulisan kartini tentang Dirundung cita- cita, dihambar kasih sayang. Surat-surat Kartini pada bagian ini terutama berisi harapannya untuk memperoleh "pertolongan" dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga tentang pandangan: dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." (hlm 45).

Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan "tersedia" untuk dimadu pula. Pada bab awal ini, gugatan-gugatan Kartini ditampilkan untuk menggambarkan kekritisannya sebagai perempuan Jawa.

Kartini sangat mencintai sang ayah. Namun ternyata, cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah, dalam surat, juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi-terutama ke Eropa-memang diungkap dalam surat-surat. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Dan ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." (hlm 193). Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Kartini akhirnya menikah dengan bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Kartini wafat pada 13 September 1904 setelah melahirkan seorang anak laki-laki. Pada surat-surat terakhir kepada suami istri Abendanon, Kartini sudah mengetahui perihal ajal yang hampir tiba. Surat terakhir ditujukan pada Nyonya Abendanon, 7 September 1904. Kartini wafat pada usia 25 tahun. Demikian surat-surat Kartini yang dirangkai oleh Armijn Pane dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".


Tidak ada komentar: