Oleh Suyatno
Tampaknya, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, sudah tidak mempan masuk di sanubari bangsa kita. Bangsa ini sudah masuk pada peradaban serba cepat dalam semua lini. Orang sekarang sudah tidak mau susah-susah masak karena semua sudah tersedia di toko tinggal makan, orang sudah tidak usah bersusah-susah menabung untuk membeli sepeda motor karena sudah tersedia di diler tinggal ambil. Orang sekarang tidak usah susah-susah sekolah karena tinggal beli ijazah, selesai semua urusan. Mengapa terjadi seperti itu?
Seolah-olah semua orang terhenyak ketika Jawa Pos menurunkan jurnalistik investigasinya tentang Cara Gampang Medapatkan Ijazah Tanpa Kuliah. Mereka menghujat semaunya seperti yang tergambar dalam kolom komentar pembaca tentang ijazah instan itu. Padahal, ijazah instan sudah tidak barang baru dan selalu di depan mata kita. Kita terbiasa melanggar dan melompati tatanan yang dibuat sendiri, khususnya, dunia pendidikan. Seolah-olah, pendidikan seperti barang dagangan di toko-toko. Padahal, pendidikan adalah proses yang bermuara pada pembentukan kemampuan yang berkarakter.
Budaya instan ada dalam denyut nadi kita bersama yang bermuara pada pengkerdilan budaya keindonesiaan. Andai saja, semua orang Indonesia, konsisten sesuai dengan jalur masing-masing dan berada dalam budaya proses, kasus ijazah instan tidak akan terjadi. Tapi, dalam darah daging kita telah muncul gelembung racun instan, komsumtif, jalan pintas, dan gengsi berlebihan.
Jika kelangsungan bangsa Indonesia direkayasa untuk bergerak selamanya, racun itu harus segera dimusnahkan dengan membangun budaya baru, yakni budaya proses, budaya kerja, budaya prestasi, dan budaya konsisten. Para tokoh masyarakat kompak akan rekayasa menggeser racun budaya Indonesia dengan denyut budaya potensial. Namun, para tokoh masyarakat pun turut dijangkiti racun budaya tersebut sehingga terjadi kesusahan harus berangkat dari mana.
Mulailah dari guru yang betul-betul mempunyai hati untuk membangun generasi Indonesia sejati. Guru tersebut perlu membentuk komunitas guru sehati yang meyakinkan diri bahwa racun budaya itu secara perlahan tapi pasti akan membunuh kelangsungan bangsa ini. Jika racun itu berkembang pesat, dapat dipastikan bahwa generasi kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk sebuah produk, yang ada menunggu buatan bangsa lain. Bisa jadi, sambel pecel nanti tidak ada yang dapat membuat karena terbiasa membeli. Yang membuat bangsa lain yang berperadapan budaya proses. Begitu pula, barang-barang lainnya, bangsa kita bisanya hanya membeli, padahal daya beli kita menurun drastis. Ujung-ujungnya, bangsa ini kembali menjadi bangsa budak untuk mendapatkan uang untuk membeli produk tertentu. Kisah itu harus dipahami oleh guru.
Guru perlu menyatukan genggaman tangan untuk membangun budaya proses apapun hasilnya. Mereka harus bahu membahu membangun formulasi budaya proses. Wajah Indonesia harus benar-benar Indonesia.
1 komentar:
wah pak yatno yg kmren ngisi seminar itu ya....
bagus sekali temanya..kbetulas ada tugas sesuai dg tema it
Posting Komentar