Jumat, 26 September 2008

Mengajar dengan Metode Laskar Pelangi


Oleh Suyatno

Mendidik dan mengajar dengan hati. Itulah kata kunci dalam menggunakan metode Laskar Pelangi melalui pembelajaran apa saja. Peran guru hanya sebagai fasilitator dan motivator yang menjaga emosi dan hati siswanya. Bahan ajar dielaborasikan secara nyata dengan pengalaman langsung dengan alam. Media pembelajaran berkutat pada yang ada, di sini, sekarang, dan dikenal anak. Proses pembelajaran menjadi sesuatu yang utama dibandingkan masukan (in-put) siswanya. Prosedur pembelajarannya bebas dari mana saja memulainya, yang penting, pembelajaran dimuali dari kondisi siswa.

Metode Laskar Pelangi merupakan metode yang diadaptasi langsung dari novel dan film Laskar Pelangi. Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini dalam film (visualnya) dibintangi oleh pemain cilik berbakat anak-anak asli Belitong, di antaranya : Yogi (Kucai), Levina (Aling), Febri (Borek), dan Hendry (A Kiong). Pemain-pemain lainnya, pemain watak bintang Indonesia saat ini, yakni Cut Mini, Mathias Muchus, Oneng Dyah Pitaloka, Alex Komang, Roby Tumewu, Selamet Rahardjo, dan lainnya. Film itu diproduseri Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza.

Film berdurasi total 125 menit ini memang memberikan inspirasi bahwa mengajar itu menyenangkan bagi guru dan menyenangkan bagi siswa yang belajar. Bahkan, tanpa guru pun, siswa-siswa belajar sendiri di kelas karena motivasi kuat yang telah tertanam. Kelas tidak menjadi satu-satunya tempat pembelajaran. Dalam film ini, karakter-karakter unik dalam novel betul-betul dihidupkan sehingga menjadi buku teks bagi guru-guru.

Kisah Laskar Pelangi dimulai dari pemuda tuna grahita yang menyelamatkan SD Muhammadiyah Gantong karena menggenapi sepuluh murid; Lintang, anak jenius yang terlahir dari alam; Mahar yang berhasil mengharumkan nama sekolah lewat tarian buah gatal-nya; serta sang tokoh sentral Bu Muslimin yang diperankan amat baik oleh aktris Cut Mini. Emosi penonton pun akan dibawa layaknya menaiki roller coster. Merasakan kegembiraan, keluguan, termasuk kesedihan yang amat tragis ketika mengetahui seorang brilian macam Lintang harus berhenti sekolah akibat bola nasib keterbatasan ekonomi.




Tidak sedikit penonton, khususnya guru, menitikkan air mata usai menyaksikan film ini. Jangan sampai ada Lintang-Lintang berikutnya. Sayang sekali jenius seperti itu, permata nusantara, tetapi gagal mengejar cita-cita karena tidak bisa sekolah. Adegan Lintang mengucapkan perpisahan dengan Ikal (sang pemain utama) dan kawan-kawannya di SDN Muhamamdiyah Gantong menjadi momen yang sangat dramatis.

Pendidikan bukan sekedar kognisi. Tetapi, menyangkut pula jiwa dan nurani. Semua pengelola pendidikan terutama yang di birokrasi hendaknya mulai membuka diri untuk mengelola pendidikan dengan metode Laskar Pelangi. Ternyata, kognisi saja yang diagung-agungkan selama ini hanya mampu membangun peradaban di permukaan saja. Peradaban di dalam hati ternyata terbingkai oleh nafsu korupsi, mutilasi, perang desa, intrik, dan skandal harta. Peradaban dalam hati perlu diisi dengan baik oleh pengelola pendidikan secara maksimal. Mendidik anak itu harus sepenuh hati. Bisa di mana pun dan kapan pun. Laskar Pelangi bisa menjadi inspirasi dan teladan bagi para guru dan siswa. Prestasi adalah hal biasa. Namun, jika prestasi itu lahir di tengah-tengah keterbatasan, ini hal yang luar biasa.

Tidak ada komentar: