Kamis, 21 Oktober 2010

Guru di Mata Mbok Siti (82)

Pagi ini, aku bimbang. "Apakah aku mengajar ke kelas atau istirahat di rumah?" wujud kebimbanganku. Perkaranya, badan ini agak lemas meski tidak panas. Ada kemalasan dalam diriku untuk melakukan sesuatu. Rasanya, aku malas mengajar untuk kali ini. Aku tidur sampai siang sehingga pilihan mengajar menjadi nomor dua. Tapi, sehabis tiduran, aku dimaki-maki oleh batinku sendiri. Aku tambah menggunungkan kebingungan. Cepat-cepat, aku menjulurkan kaki ke rumah Mbok Siti untuk menguatkan hati gundah ini.

"Mbok, hari ini aku gundah dan berdosa karena meninggalkan siswaku yang sudah menunggu demi diri sendiri", kataku pelan kepada Mbok Siti yang menampakkan senyum kekuatan.

"Anakku, kebimbangan antara dua pilihan itu wajar. Namun, berpeluklah pada pilihan  yang lebih besar", kata Mbok Siti pelan. Tanggung jawab kecil biasanya lebih tampak daripada tanggungjawab besar. Mengajarlah demi pembelajaran, tanpa mempertimbangkan suka-duka, untung-rugi, dan kalah-menang. Lakukanlah sebaik-baiknya apa yang mesti kamu lakukan, tanpa mengharapkan hasil atau pahala, agar engkau terbebas dari ikatan dengan pekerjaan. Orang yang ingin menikmati hasil dari pekerjaannya adalah orang pelit. Guru yang terbaik selalu menguatkan keikhlasan dengan rasa mendalam. Siswa segalanya bagi nurani guru. Dahulukanlah juluran tugasmu kepada yang membutuhkanmu demi masa depannya. Masukkan rasa dirimu ke ceruk tulang yang terdalam dan terumit dalam dirimu sehingga dapat menjangkau yang tidak pernah kamu jangkau dalam dirimu. Rasakanlah dengan rasa yang kuat. Itulah kesejatian dirimu sebagai seorang guru.

"Janganlah meratapi kebimbanganmu yang telah kamu lakukan namun ubahlah sari kebimbangan dalam dirimu untuk perbuatan ke depan, anakku" lanjut Mbok Siti dengan mantap.

Tidak ada komentar: