Kamis, 21 Oktober 2010

Guru di Mata Mbok Siti (81)

Tiba-tiba Mbok Siti mengajakku ke sungai kecil seberang jalan depan rumahnya. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menyetujui ajakan itu. Aku yakin, Mbok Siti yang masih bergegas dalam berjalan itu mempunyai maksud lain.

"Anakku, pasti kamu bertanya-tanya ketika aku ajak ke sini", tukasnya sambil merelakan telunjuknya mengarah ke aliran air yang tidak seberapa deras itu.

"Iya, Mbok. Ada apa, tiba-tiba aku digiring ke sini?" tanyaku ulang.

Ternyata, aku ditunjukkan telur burung puyuh yang tergeletak sebanyak empat di bawah semak di sela ilalang lereng sungai. Telur itu tampak terawat oleh induknya. Aku bidikkan mata ke sekeliling, tidak juga tampak induk burung puyuh. "Mengapa begitu tega induk burung puyuh meninggalkan calon anak puyuh itu?", gumamku sambil jongkok mengamati telur itu.

"Telur ini bukan tidak dirawat, anakku", kata Mbok yang jari-jarinya penuh kerut tanda tersurat perjuangan waktu mudanya. Induknya merawat dengan cara meninggalkan telur untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan waktunya. Induk itu, suatu saat pasti akan ke sini untuk mengerami agar terjadi hubungan batin burung puyuh dengan anaknya sehingga dapat emenetas menjadi burung puyuh pula.

"Induk puyuh itu dapat mengukur seberapa kuat telur itu untuk meretas anak puyuh", ujar Mbok Siti. Begitu pula, guru harus dapat mengukur seberapa kuat siswa menerima pelajaran dari gurunya. Guru hebat harus mampu mengatur menu perolehan siswa dengan pertimbangan gradasi, kedalaman, keluasan, dan ketepatannya. Jadi, guru tidak boleh asal memberikan menu tanpa takaran yang dapat dipercaya.

"

Tidak ada komentar: