Rabu, 06 Oktober 2010

Guru di Mata Mbok Siti (74)

Hujan tiada hentinya meski menurut kebiasaan pada bulan-bulan September sampai Oktober tanah Mbok Siti dipastikan musim kering dan panas. Entah perubahan apa yang terjadi sampai-sampai musim kering menghilang dan bersembunyi di ketiak musim hujan. Tapi tak apalah, musim hujan pun justru menyegarkan udara meski banyak petani yang merugi.
"Mbok, mengapa tetap tersenyum simpul seperti itu? Padahal, hujan tiada berhenti", tanyaku. Mbok Siti masih saja asyik dengan menggelar tikar dan menunjukkan diri selalu ceriah.
"Nak, mengapa hujan membuat seseorang sedih dan sebaliknya mengapa musim panas juga membuat orang bersedih?" jawabnya enteng sambil menyilakan aku duduk di tikar ruang tengah yang tampak kokoh tapi terkesan lama itu.
"Musim itu anugerah dan bagian dari kehidupan yang dapat menuntun manusia hidup", katanya. Aku terdiam sambil melirik kopi yang diturunkan Mbok Siti. Lalu, Mbok Siti duduk di depanku.
"Memberikan berkah kehidupan, anakku" tambahnya.
"Anakku, begitu pula, seorang guru haruslah seperti hujan yang memberikan kesegaran bagi bumi dan seisinya", ujar Mbok Siti yang berbaju hitam seperti kemarin-kemarin.
Guru yang baik haruslah memberikan kesegaran dan kesejukan bagi pribadi siswanya. Siswa tumbuh dan berkembang akibat kesejukan yang diciptakan guru sesuai dengan porsi dan kondisi siswa. Jadilah hujan yang memberikan kesuburan bagi tanaman yang tumbuh berseri menghiasi bumi dan memberikan manfaat bagi kehidupan.

Tidak ada komentar: