Kamis, 14 Oktober 2010

Guru di Mata Mbok Siti (77)

Cuaca cukup cerah di atas kepalaku. Aku seperti biasanya menyapa Mbok Siti tepat di depan pintu dapur yang kusam dan pecah-pecah itu. Seperti biasa pula, Mbok Siti menjawab sapa kunoku dengan kata yang itu-itu juga. Namun, justru sapaan dan jawaban yang itu-itu saja membuatku mempunyai kedekatan dan layaknya berada di rumah sendiri.

Tiba-tiba aku dikagetkan anak kucing berlari ke sana- ke mari dan cakar sana-cakar sini sementara induknya duduk malas terdiam sambil melirik anak kucing itu.

"Lihat kucing kecil belajar menggerakkan kaki dan mengasah kukunya ya?" tanya Mbok Siti sambil meletakkan kopi seperti sudah hafal dengan kesukaanku.

"Iya, Mbok. Anak kucing itu sangat lucu", jawabku.

"Anak kucing itu memang terlihat lucu karena dalam keadaan gembira dalam berlari dan mencakar-cakar tembok itu", sela Mbok Siti yang selalu mengenakan kebaya dengan rambut kecil digulung di belakang kepala seperti buah apokat itu.

"Induk kucing terlihat pasif tapi sebenarnya selalu memperhatikan", jelas Mbok Siti. Sesekali, seorang guru mampu membiarkan siswanya mengasah kemampuan dasar siswa sebagai bakal manusia dewasa. Awasi siswa tapi bukan mencampuri usaha dasarnya. Latihlah siswa sebagai manusia semestinya. Manusia mempunyai kaki berarti dia layak untuk berjalan, berlari, melompat, dan memanjat. Siswa yang akan menjadi manusia sempurna berarti berhak untuk berjalan, berlari, melompat, dan memanjat. Berilah kesempatan sepenuhnya kepada siswa untuk mengolah inderanya.

Tidak ada komentar: