Rabu, 20 Januari 2010

Pembelajaran Berbasis Kreativitas bukan Rutinitas

Ada perbedaan yang sangat mencolok dalam tujuan pelaksanaan pendidikan di negara moderen seperti Amerika Serikat dan negara berkembang seperti Indonesia. Tren pendidikan di AS saat lebih ini ditujukan untuk menciptakan lulusan yang kemampuan intelektualnya tidak dapat digantikan oleh mesin. Para lulusan di AS diharapkan hanya akan menjadi pencetak ide-ide kreatif, peneliti, dan penganalisis. Mereka menjual segala karyanya sebagai kerja kreatif yang sungguh mahal harganya.

Sementara di negara-negara berkembang seperti Indonesia, kita masih melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin, baik yang kita lakukan dengan tangan sendiri maupun mesin-mesin produksi, karena pendidikan kita memang mengarahkan demikian. "Kita hanya membeli dan memakai dari mereka, bukan mencipta," ujar Upie Naimah, Head of Business Management Sekolah High/Scope Indonesia (SHI), di Jakarta, Kamis (14/1/2010)

"Kini saatnya pendidikan Indonesia meninggalkan paradigma lama yang memandang pendidikan di sekolah hanya dari ukuran akademik, sementara nonakademik selalu dibelakangkan," ujarnya. Upie menambahkan, pembuat kebijakan, guru, serta orangtua murid sering lupa bahwa belajar di sekolah bukan semata untuk mendapatkan nilai dan prestasi akademik.

Apakah sekolah dibangun hanya sebagai gedung dengan kursi dan meja teratur, tempat anak-anak didik dijejali beragam kurikulum yang begitu berat dan kadang melebihi daya serapnya sebagai seorang anak? Apa artinya ke sekolah, untuk belajar atau dinilai?

Dalam bersekolah siswa harus mampu membaca, menemukan, dan menggali kemampuan-kemampuan sesuai perkembangan usia dan kemampuannya. Bukankah tujuan sekolah adalah menjadikan belajar sebagai sebuah proses seumur hidup, sebagai bekal anak didik menghadapi masa depannya, bukan nilai-nilai dan prestasi akademik semata.

"Untuk itu, diperlukan pendekatan-pendekatan real life pada semua mata pelajaran yang diberikan kepada anak didiknya. Para siswa SMA, misalnya, dikenakan aturan wajib magang selama dua (2) semester atau 1 tahun di sebuah perusahaan. Selain itu, ada juga Community Service, yang mewajibkan siswa melakukan pelayanan publik ke panti-panti asuhan. Sementara itu, Student Service akan mengharuskan siswa menjadi asisten guru di kelas milik adik-adik di bawahnya, baik itu SD, SMP, maupun SMA.

Entreprenuership menjadi semacam benang merah yang ikut menopang kekuatan kurikulum pendidikan, mulai prasekolah hingga SMA. Salah satu pendekatan praksis yang adalah dengan menghadirkan program Business Day. Harus terjadi integrasi dari beberapa mata pelajaran tertentu, mulai dari Matematika, Bahasa Indonesia dan Inggris, studi sosial, serta ekonomi.

Tidak ada komentar: