Hanya guru yang diskriminatif sajalah yang memotong hak anak untuk belajar secara menyenangkan. Guiru seperti itu biasanya ditandai oleh pilih kasih, punya anak emas, tidak tahu semua siswa, dan alakadarnya. Padahal, semua anak berhak mendapatkan proses belajar-mengajar di sekolah yang menyenangkan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing.
Karena itu, kebijakan pendidikan yang berdampak pada anak-anak ini jangan dipenuhi dengan kepentingan politik penguasa, namun benar-benar berpusat pada kepentingan anak sebagai generasi masa depang bangsa. Nah berikut ini pendapat Seto (kompas.com, 18 Januari 2008) ”Belajar itu hak. Istilah wajib belajar itu datangnya dari pemerintah. Jadi, anak-anak jangan diajak ke sekolah hanya untuk mengejar pencapaian statistik wajib belajar. Tetapi ajakan belajar itu memang benar-benar untuk membuat anak memiliki pengetahuan dan mendorong potensi diri setiap anak berkembang secara bebas,” kata Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat (18/1).
Menurut Seto, kebijakan pendidikan yang ada sekarang ini belum mampu menciptakan suasana belajar di sekolah yang menyenangkan untuk anak-anak. Para guru masih mendidik anak-anak secara kaku untuk menjadi penurut dengan mengekang kebebasan dan kreativitas anak.
Seto mengatakan pendidikan memang harus mampu mengantarakan anak-anak untuk mencapai kompetensi yang sudah ditetapkan. Tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah pengembangan diri anak untuk menjadi manusia yang utuh yang tidak semata-mata dinilai dari pencapaian angka-angka secara absolut.
Untuk mengubah suasana belajar di sekolah yang masih belum memenuhi harapan anak dan orang tua, kata Seto, para guru harus dibekali dengan keterampilan belajar. Pembekalan ini dibutuhkan agar guru bisa menemukan proses belajar-mengajar dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Sulistiyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Seluruh Indonesia, mengakui jika guru Indonesia umumnya belum mampu memenuhi harapan masyarakat dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga belajar di sekolah menjadi pengalaman terbaik dalam perjalanan hidup seorang anak.
”Menjadi guru kebanyakan pilihan terakhir atau terpaksa. Tidak heran jika kualitas guru terus digugat. Karena itu, pemerintah harus benar-benar mendukung peningkatan kualitas guru. Lembaga pendidikan guru juga harus bertanggung jawab untuk menghasilkan guru yang sesuai dengan harapan masyarakat,” kata Sulistiyo. (ELN/garduguru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar