Sabtu, 31 Mei 2008

Guru Menjewer, Siap-Siaplah Masuk Penjara

Oleh Suyatno

Kasus Sunarto, kepala SDN Ketabang Surabaya agaknya menjadi pelajaran bagi semua guru bahwa menjewer (mencubit telinga)dilarang oleh undang-undang perlindungan anak. Bagi guru, menjewer mungkin merupakan bentuk hukuman yang dianggap mempunyai nilai pendidikan karena mungkin guru yang bersangkutan dulunya juga pernah dijewer oleh gurunya waktu sekolah dulu. Dengan jeweran itu, sikap seseorang akan berubah. Namun, ingat bahwa jeweran bagi anak sekarang diartikan lain karena sang anak sering lihat film, sinetron, dan lihat orang dijewer sebagai sebuah aniaya yang mendatangkan rasa sakit.

Orang tua sekarang paradigmanya juga berubah. Jeweran bagi orang tua saat ini sebagai sebuah aniaya bagi anaknya. Karena orang tua di rumah tidak pernah menjewer, jeweran terhadap anaknya dianggap sebagai tindakan kekerasan yang mengancam kenyamanan anaknya.Berkaitan dengan hal itu, guru perlu tahu bahwa sekarang telah terjadi pergeseran paradigma mengajar. Dahulu, tindakan mencubit, menjewer, memukul, membentak merupakan sarana untuk membuat anak patuh dan berubah tindak dan sikapnya. Sekarang, tidakan itu dimaknai sebagai sebuah kekerasan (bullying).

Saat ini, telah banyak cara untuk mendidik anak tanpa melalui kekerasan. Modal kasih sayang dan pendekatan manusiawi sekarang merupakan roh mendekati anak. Untuk itu, guru juga perlu membalik paradigma dari model kekerasan menjadi model kelembutan. Bawalah dunia guru ke dunia anak bukan dunia guru berbeda dengan dunia anak. Kemudian, bawalah dunia anak ke dunia kita.

Gara-gara menjewer muridnya, Sunarto kini berurusan dengan polisi. Bisa jadi, Sunarto akan menjalani hukuman lima tahun atau lebih. Jeweran Sunarto menjadi malapetaka bagi diri Sunarto dan keluarganya.

Memang banyak guru yang berpikiran sempit dalam mendidik muridnya. Yang mereka tahu hanyalah mendidik ala pengalaman mereka masa lalu. Pengalaman membaca perkembangan pendidikan, diskusi dengan teman lain, dan penyadaran diri terhadap tingkah laku anak tidak dijalankan. Walhasil, guru demikian itu merupakan tanda-tanda akan masuk jaring perangkap undang-undang.

Mumpung belum terjadi kasus Sunarto pada guru-guru lain, perlu dilakukan sosialisasi undang-undang perlindungan anak, undang-undang perlindungan konsumen, dan sosialisasi model pembelajaran inovatif. Bila perlu, dinas pendidikan Surabaya melakukan pelatihan intensif dan dalam skala besar yang menjangkau semua guru.

Kasus Sunarto merupakan kasus puncak gunung es yang terpendam kuat. Kasus tindak kekerasan guru kepada murid masih banyak terjadi dengan warna yang berbeda-beda. Untuk itu, angkatlah gunung es itu dengan memberikan pencerahan bagi guru-guru yang berparadigma lama. Kasihan mereka, guru yang masih sempit pemikirannya, kalau dibiarkan mengalir alamiah dengan tumpuan modal mengajar gaya klasik.

Segeralah dibentuk tim sosialisasi, dibentuk tim pendampingan guru, dan tim simulasi tindask kekerasan yang diharapkan dapat mengatasi dengan segera keterbelakangan guru yang demikian itu. Secara keras, lakuanlah psikotes bagi guru karena bisa jadi perlakuan bullying itu merupakan letupan bawah sadar yang menjadi ciri khas pribadi guru tersebut.

Dinas pendidikan Surabaya jangan membiarkan Sunarto dihakimi massa (orangtua)dan rusak pencitraan dirinya. Lakukanlah pendampingan dan pembelaaan sambil membenahi guru-guru yang lainnya. Guru, janganlah kau korbankan dirimu untuk tindak kekerasan bagi muridmu. Cintaliah mereka seperti engkau mencintai anak sendiri. Jangan sekali-kali melakukan tindak kekerasan. Yakinlah.

2 komentar:

C 470 ER mengatakan...

'GURU=digugu lan ditiru'
Makna itu kini tak lagi berarti bagimu. Seorang yang harus mengayomi murdnya kini harus bertindak kasar terhadap muridnya. Hanya karena masalah sepele, guru tersebut melakukan tindakan kekerasan. Hal ini akan berdampak trauma pada siswa tersebut dan juga siswa lain. Setuju apabila guru tersebut dihukum...

Kritik Sastra mengatakan...

Sudah berkali-kali aku mengatakan: STOP KEKERASAN PADA ANAK!