Oleh Suyatno
Entah sumpah serapah apa lagi yang harus diucapkan kaum kontruktivistik dalam menghina behavioristik. Hanya untuk mengibarkan bendera konstruktivistik saja, para pengikutnya, sampai hati membenamkan behavioristik dengan istilah berhala, kuno, statis, dan masa lalu. Bahkan, guru yang menggunakan behavioristik dalam pembelajaran terkena damprat kaum konstruktivistik.
Padahal, sebuah teori belajar pastilah mempunyai semangatnya sendiri yang bisa jadi memberikan pelengkap bagi sebuah hidup manusia. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa semua teori sangat baik untuk pertumbuhan pendidikan bagi manusia. Kita tidak akan pernah makan dengan tangan kiri secara otomatis tanpa diperintah otak karena behavioristik yang diberikan orang tua kepada kita semua. Orang tidak akan secara otomatis menggunakan kaki kanan untuk memakai sepatu jika tanpa pembiasaan. Nah, behavioristik amat membantu bagi pembiasaan dan pengalaman yang mendukung kehidupan manusia. Jadi, meski konstruktivistik menyatakan diri sebagai pengganti behavioristik, bagi guru, behavioristik tetap saja sebuah senjata mencapai tujuan melalui pembiasaan. Ingatlah bahwa guru itu pengguna bukan pengikut. biarlah para pakar saja yang menjadi pengikut teori yang begitu mudah menjelek-jelekkan teori lain.
Kedatangan behavioristik juga merupakan kritik atas teori struktural sebelumnya,s turalisme Wundt. Meskipun didasari pandangan dan studi ilmiah dari Rusia, aliran ini berkembang di AS, merupakan lanjutan dari fungsionalisme.
Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalism. Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Meskipun pandangan Behaviorisme sekilas tampak radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi secara drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme lebih sebagai perubahan evolusioner daripada revolusioner. Dasar-dasar pemikiran Behaviorisme sudah ditemui berabad-abad sebelumnya dalam pembelajaran.
Pola pembelajaran tersebut memang sungguh menguasai dunia terutama sejak John B Watson (1878-1958) yang kemudian dilanjutkan BF Skinner (1904-1990). Pembelajaran di sekolah masih dominan berjalan di atas rel yang dibangun berdasarkan pandangan kedua tokoh itu. Hanya saja, karena para guru secara berlebihan menggunakan behavioristik dalam mengajarnya, dampak negatif behavioristik muncul. Kemunculan itu menjadi bahan hantaman konstruktivistik. Tampaknya, hantaman mereka sangat rasional. Menurut pengikut konstruktivistik di Indonesia, guru-guru di negeri ini merupakan produk dan ahli waris setia pola pembelajaran behavioristik itu. Mereka pun mengajar dengan cara mereka dulunya diajarkan. Tak heran kalau masih banyak yang berpandangan bahwa mereka tidak atau belum mengajar kalau tidak berteriak untuk menjelaskan isi pelajaran (tanpa memberikan kesempatan kepada murid untuk menemukan sendiri dengan menggunakan sumber yang tersedia) sepanjang jam pelajaran. Siswa pun baru dikatakan belajar kalau duduk tenang berlipat tangan atau mencatat persis yang dijelaskan lalu menghafalnya karena yang ditanyakan pada waktu ujian adalah yang dijelaskan itu.
Masih menurut pengikut konstruktivistik, dikatakan bahwa pembelajaran berdasarkan pandangan behaviorisme ini kaku dan kering bahkan membuat anak jenuh di dalam kelas. Sudah demikian justru berlangsung di tempat-tempat yang boleh dikatakan kumuh untuk ukuran tempat menyiapkan manusia aktif kreatif. Siswa bagaikan kerbau dicocok hidungnya yang harus menuruti perintah guru.
Kritik tersebut memang tidak dapat ditolak karena begitulah keadaannya. Hanya saja, behavioristik tetap dipakai untuk menjawab kemampuan yang bersifat keterampilan, pembiasaan, dan penguatan. Tentara tidak akan pandai menembak jika tidak dibiasakan menembak. Anak tidak akan buang air besar di WC jika tidak dibiasakan buang air di WC. Seseorang tidak akan dapat mengendarai sepeda dengan baik jika tidak sering menaikinya. Pemuda tidak akan dapat berbicara lantang jika tidak terbiasa lantang. Begitulah seterusnya. Nah, bagi guru, janganlah mengikuti kata hati pengikut teori. Ikutilah prinsip bahwa guru itu pengguna yang bebas memakai teori untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar