Oleh Farid Gaban
Sebuah rumah kaca dengan bangku seadanya di Kawasan Cagar Budaya
Condet, Jakarta, tidak bisa menjadi kelas dalam arti sebenarnya. Tapi,
saya menikmati berbagi ilmu, tentang menulis dan kewartawanan, dengan
relawan peduli lingkungan di situ.
Condet masih memiliki hutan kecil yang sejuk, yang tersisa dari
serbuan gedung tinggi dan jalanan aspal-beton. Dari tempat kami
belajar, kami masih mendengar kicau burung, merasai basahnya daun
salak yang rimbun, dan mendengar sayup-sayup suara arus air Sungai
Ciliwung di bawah sana.
Jakarta Green Monster, kelompok relawan lingkungan yang mengundang
saya menjadi "guru" menulis gratisan, memang sengaja memilih tempat
itu. Di samping murah, ini juga tempat yang dekat alam, sesuai
kepedulian mereka pada lingkungan Jakarta yang makin rusak.
Beberapa bulan sebelumnya, di sebuah rumah kecil Kawasan Kemang,
Jakarta, saya menikmati keasikan yang lain: berbagi ilmu kewartawanan
dan menulis dengan anak-anak usia sekolah dasar! Kelompok Kerja Sosial
Melati, pengundang saya, berisi relawan yang antusias menyelenggarakan
kegiatan bermain dan belajar untuk anak-anak tak mampu. Sebagian anak
itu adalah putra-putri pemulung sampah yang tersisih dari
kelimpahruahan ekonomi Jakarta.
Pengalaman 20 tahun menjadi wartawan, dengan antara lain meliput
Perang Bosnia, terasa hilang dengan tantangan ini: berbicara di depan
anak-anak tentang penulisan dan kewartawanan! Tapi, saya menikmatinya,
dan bersyukur bisa memperoleh kesempatan melatih kemampuan berbicara
sesederhana mungkin apapun topiknya.
Namun, saya kadang merasa berdosa tidak bisa meluangkan lebih banyak
waktu untuk berbagi ilmu gratisan seperti itu, karena kesibukan maupun
karena tuntutan keuangan keluarga. Lebih merasa berdosa lagi ketika
makin menyadari bahwa pertukaran ilmu seperti ini sebenarnya merupakan
sarana pendidikan yang murah dan efektif. Mungkin lebih efektif
ketimbang pendidikan formal yang makin tak terjangkau ongkosnya.
Saya sering membayangkan betapa indah jika lebih banyak orang bisa
terlibat dalam konsep pendidikan seperti ini: dokter, pengacara,
pengusaha, petani, operator pabrik atau profesi lain.
Dengan pengalaman profesionalnya, mereka merupakan aset pendidikan
yang berharga, lebih berharga ketimbang teori-teori yang diajarkan di
kelas. Mereka "guru" berharga ketika sekolah formal justru dikritik
menjadi sumber pengangguran kaum terdidik. Ketika sekolah makin jauh
dari realitas pekerjaan sehari-hari di sekeliling kita.
Bayangkan jika kaum profesional bisa menyediakan waktu, sebutlah dua
jam sepekan, untuk berbagi ilmu di pusat-pusat kegiatan masyarakat, di
alam terbuka, di selasar masjid atau surau, dan di taman-taman kota.
Pada dasarnya kita memang tidak memerlukan ruang kelas yang mahal
untuk berbagai ilmu. Suasana non-formal seperti itu justru merangsang
hubungan dialogis antara "guru" dan "murid". Mereka akan cenderung
berdiskusi ketimbang satu pihak memberi instruksi.
Konsep pendidikan non-formal seperti ini bisa menjadi alternatif dari
konsep pendidikan kelas yang cenderung paternalistik: hubungan
atas-bawah antara "guru" dan "murid".
Paulo Freire, penulis buku "Pendidikan Kaum Tertindas", menekankan
pentingnya konsep pendidikan alternatif seperti itu. "Manusia
saling-mendidik satu sama lain dengan perantaraan dunia," katanya.
Bahkan seorang petani, misalnya, dapat menyelenggarakan proses
pendidikan bagi tetangganya secara lebih efektif dari pada seorang
"guru" yang didatangkan dari luar. Setiap kita adalah guru dan murid
sekaligus.
Kata-kata Freire ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi Tetsuko
Kuroyanagi, seorang produser televisi Jepang, ketika dia belajar di
Sekolah Dasar Tomoe, di Jepang sekitar Perang Dunia II. Tetsuko, atau
Totto, sangat terkesan dengan sekolah itu dan belakangan menuliskan
pengalamannya dalam buku terkenal "Totto Chan: Gadis di Tepi Jendela".
SD Tomoe, seperti dikisahkan Tetsuko, tidak menempati kelas biasa,
melainkan sebuah gerbong kereta api tua. Siswa di situ lebih banyak
bermain, ketimbang belajar. Dan mereka menikmatinya serasa berpesiar
dengan kereta api. Tidak ada "anak bodoh" dan "anak nakal" di sekolah
itu. Pak Kobayashi, guru di situ, menghargai semua keinginan dan
potensi anak-anak asuhnya.
Para siswa boleh mengenakan baju terjelek. Mereka justru dilarang
memakai pakaian bagus, apalagi seragam mahal. Mereka boleh berpakain
seadanya karena akhirnya toh bakal kotor ketika mereka bermain tanah
dan lumpur.
Di samping sering berkunjung ke museum, murid sekolah ini juga sering
diajak ke tanah pertanian, untuk melihat, bertanya dan berbincang
dengan petani tentang semua seluk-beluk pertanian dalam praktek.
Cerita yang mengesankan. Setiap kali mendengar keluhan orang tentang
mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya mutu sekolah formal, saya
selalu teringat "Totto Chan".
Sekolah tidak harus mahal. Pertukaran ilmu bisa diselenggarakan di
mana saja, termasuk di alam terbuka Condet. Tidak diperlukan pakaian
seragam mahal yang lebih ditujukan untuk pamer. Dan gurunya? Siapa
saja bisa menjadi guru: dokter, pengacara, pengusaha, petani, sopir
truk, atau wartawan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar