Kamis, 08 Mei 2008

Orang Tua sebagai Guru dalam Sekolah Rumah (Home Schooling)


Oleh Suyatno

Saat ini sedang tren sekolah rumah sebagai warna baru untuk membangun pendidikan bagi anak di rumah masing-masing. Sekolah formal dianggap tidak mampu lagi memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak sehingga para orang tua memberikan sekolah rumah bagi anak. Sekolah dianggap tidak mampu karena (1) siswa terlalu banyak, (2) perhatian guru kepada siswa tidak intensif, (3) anak adalah pribadi unik yang memerlukan layanan unik pula, (4) guru hanya sekadar mengajar tidak mendidik, dan (5) sekolah teramat mengikat siswa dengan seabrek aturan.

Tren tersebut cukup menarik. Hanya saja, apakah di sekolah rumah, para orang tua siap dengan metodologis mengajarnya? Apalagi, sang anak akan memberikan perlakuan lain manakala berjumpa dengan orang tuanya langsung. Perlakukan anak itu biasanya berupa (1) sikap manja, yang kalau di sekolah sikap ini luntur karena banyak kawan-kawan lainnya dan guru sebagai orang lain, (2) malas, biasanya anak akan malas karena tidak ada reward (penghargaan) yang dapat mengangkat harga diri setelah dilihat kawan-kawan yang lain, (3) menu materi yang disediakan kadang tidak terjalani karena anak mampu mencoba menawar kepada orang tuanya, dan (4) pesaing anak tidak ada sehingga anak hanya ala kadarnya dalam belajar sebagai pemenuhan kehendak orang tua.

Untuk itu, orang tua yang siap mengadakan sekolah rumah perlu menyadap habis konsep guru dalam membangun metodologis pembelajaran. Salah satunya, orang tua harus paham bahwa anak mempunyai strategi belajar mengulang, elaborasi, organisasi, dan metakogmitif. Oleh karena itu, dalam sekolah rumah, strategi tersebut harus dijalankan secara dinamis, bergantian, dan progresif. Gaya belajar anak beraneka macam. Ada anak yang bergaya belajar audio sehingga tidak suka mencatat dan tidak suka bergerak. Yang ia suka hanyalah mendengarkan saja. Ada pula anak yang bergaya belajar visual, yang ditandai oleh anak yang suka dengan grafis, menulis, gambar, dan hal-hal yang berhubungan dengan coretan. Ada lagi anak yang bergaya belajar kinestetis, yankni anak yang kalau belajar cepat menangkap sesuatu jika topuknya disajikan dalam bentuk gerak.

Menurut pengalaman masa lalu, banyak keluarga yang merasakan kesulitan melaksanakan sekolah rumah. Banyak raja, zaman dahulu, selalu memanggil guru untuk mendidik puteranya. Bahkan, petera raja dikirim ke padepokan yang jauh dari istana hanya untuk menggembleng peteranya untuk lebih mampu memimpin dan bersosialisasi dengan orang lain. Tradisi keluarga untuk menitipkan anak sewaktu sekolah ke saudara jauh juga didasari oleh keyakinan bahwa dengan ikut orang lain, sang anak akan terdidik dengan disiplin hidup yang tinggi sehingga kelak menjadi "orang".

Sekolah rumah memang sangat cerdas sebagai sebuah ide untuk lebih mengintensifkan pengamatan terhadap perkembangan anak secara langsung. Orang tua akan membangun emosi hubungan secara kuat kepada anak. Anak dapat lebih mengenali materi pelajaran karena "guru"nya adalah orang yang paling dekat. Fleksibilitas belajar akan mewarnai perjalanan penguatan memori anak. Anak dapat leluasa menatur menu belajarnya.

Hanya saja, kelonggaran yang dijalani anak akan diisi oleh pemiskinan kedisiplinan terhadap pemanfaatan waktu jika tidak diatur dengan tepat dan jelas sistem pembelajarannya. Untuk itu, sekolah rumah perlu menyusun kurikulum yang dijabarkan ke dalam terapan pembelajaran sehari-hari. Catatan perkembangan anak perlu dilakukan oleh pengasuh sekolah rumah. Kemudian, hasrat orang tua dalam menanamkan segala aspek yang dipandang penting perlu diatur dan disesuaikan dengan perkembangan anak.

2 komentar:

Kritik Sastra mengatakan...

Sistem pendidikan memang harus terus disinergikan dengan perkembangan zaman! Saat ini zaman serba instan, pendidikan, dapat dilakukan di rumah saja. say ajadi teringat dengan 'Dunia yang Dilipat' Yasraf Amir Piliang.

Mardoto mengatakan...

Bagus pemikirannya. Memang pendidikan yang betul tidak di tangan guru. Dari 24 jam, 2/3 nya khan di tangan dan bersama orang tua.Orang tua harus "mampu" jadi guru juga. Ok, Salam: www.mardoto.wordpress.com