Rabu, 21 Mei 2008

Pendidikan yang Melindungi Siswa Sebagai Konsumen


Oleh Suyatno

Kalangan pendidikan, baik itu pengelola sekolah, kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya, sangat dinanti-nantikan untuk segera paham UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebagai lembaga pengelola jasa pendidikan, siswa merupakan konsumen yang perlu dilindungi sehingga terdapat kenyamanan dalam belajar.

Dalam Undang – undang perlindungan konsumen itu yang dimaksud dengan :
1. Perlindungan kmonsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hokum maupun bukan badan hokum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Lembaga pendidikan yang ada sekarang di Indonesia ini, sebagian besar, memanfaatkan keberlangsungannya dengan berorientasi pada imbal jasa. Siswa atau mahasiswa membayar atas ilmu yang diterimanya. Siswa sebagai konsumen dan lembaga pendidikan sebagai pelaku usaha. Lihat saja, untuk menjadi mahasiswa kedokteran saja, mahasiswa harus memberikan uang sumbangan 100 juta bahkan ada yang lebih. Uang sebesar itu tentunya juga harus imbang terhadap jaminan mahasiswa untuk menjadi dokter yang brilian.

Pada Pasal 2, diisyaratkan bahwa peserta didik sebagai konsumen pendidikan dilindungi agar:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meniingkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang daan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Sebagai konsumen, peserta didik mempunyai hak (Pasal 4 UUPK) sebagai berikut.
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Lembaga pendidikan hendaklah memperhatikan hak peserta didik sebagai konsumen di atas sehingga terjadi keberlangsungan pendidikan yang baik. Segala informasi yang dikeluarkan untuk menarik minat peserta didik haruslah dikemas dengan jujur, benar, dan akurat. Bukan malah sebaliknya, banyak sekolah atau perguruan tinggi yang menyebarkan brosur penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Lembaga pendidikan yang seperti itu tentunya akan di kenai UUPK ini.

Selain hak di atas, peserta didik sebagai konsumen mempunyai kewajiban sebagai berikut (Pasal 5). a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikurti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Sedangkan hak lembaga pendidikan sebagai pelaku usaha pendidikan sebagai berikut (pasal 6). a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jas yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kemudian dalam pasal 7, lembaga pendidikan sebagai pelaku usaha mempunyai kewajiban
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pembelajaran di kelas pun hendaknya terjadi proses pembelajaran yang memberikan kenyamanan belajar siswa/mahasiswa. Bila tidak, guru sebagai bagian pelaku usaha pendidikan akan dikenai pasal 7 ayat c, yakni memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Jadi, pembelajaran di kelas haruslah berjalan dengan menyenagkan, merata, dan berlangsung sesuai dengan hak siswa/mahasiswa sebagai pengguna jasa.

Dalam menjalankan usaha pendidikan, pelaku usaha pendidikan dilarang (pasal 8) untuk
(1). Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto , dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label , etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danm/atau jasa tersebut;
g. tidak mencvantumkan tanggal kadaluawarsa atau jangka waktu penggunaan/-pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan ”halal” yang dicantumkandalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelsan barang yang memuat nama barang,ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, atauran pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketenttuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan infdormasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentguan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3). Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan terrcemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Kemudian, Pasal 9 menyatakan sebagai berikut.
(1). Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut vdalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,` ciri-ciri kerja atau aksesories tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dann/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barangtersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsuung atau tidak langsuung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. mengguunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,tidak menganduung risiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, ppromosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10 menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa ;
c. kondisi, tanggungan, jamiinan, hak atau ganti rugi atas suatu barang da/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Berkaitan dengan obral dan lelang, Pasal 11 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan kosumen dengan :
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yangg lain;
f. menaikkan harga atau barang dan/atau jasa sebelum melakujkan obral.

Banyak lembaga pendidikan yang mengiklankan lembaganya dalam rangka menjaring siswa dan mahasiswa tidak sesuai dengan aslinya. Hal demikian itu akan dikenai pasal 12, yakni pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosiikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan hharga tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13 menyatakan bahwa
(1). Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan / atau jasa lain secara Cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikan.(2). Pelakun usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Lembaga pendidikan tidak dapat memaksa seseorang untuk sekolah atau berkuliah di lembaga itu. Jika memaksa, lembaga pendidikan itu akan dikenai pasal 15, yakni pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak menempati pesanan dan/untuk kesempatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b. tidak menempati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Peserta didik sampai saat ini belum dilindungi dalam rangka menerika jasa pendidikan dari lembaga pendidikan. Menurut Seto, kebijakan pendidikan yang ada sekarang ini belum mampu menciptakan suasana belajar di sekolah yang menyenangkan untuk anak-anak. Para guru masih mendidik anak-anak secara kaku untuk menjadi penurut dengan mengekang kebebasan dan kreativitas anak.

Seto mengatakan pendidikan memang harus mampu mengantarkan anak-anak untuk mencapai kompetensi yang sudah ditetapkan. Tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah pengembangan diri anak untuk menjadi manusia yang utuh yang tidak semata-mata dinilai dari pencapaian angka-angka secara absolut.

Untuk mengubah suasana belajar di sekolah yang masih belum memenuhi harapan anak dan orang tua, kata Seto, para guru harus dibekali dengan keterampilan belajar. Pembekalan ini dibutuhkan agar guru bisa menemukan proses belajar-mengajar dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

Tampaknya ada tanda-tanda sebuah lembaga pendidikan akan terjerat hukum akibat menyimpang dari UUPK ini. Banyak lembaga pendidikan yang melakukan aksi bullying yang nayata-nyata melanggar hak peserta didik sebagai konsumen.

Maraknya aksi bullying atau tindakan yg membuat seseorang merasa teraniaya di sekolah baik yang dilakukan sesama siswa, alumni atau bahkan guru merupakan lagu lama. Masalahnya, kasus-kasus ini jarang menguak ke permukaan karena guru, orang tua bahkan siswa belum memiliki kesadaran kapan terjadinya bullying dan kalaupun disadari, jarang yang mau membicarakannya.

Berikut ini adalah contoh tindakan yang termasuk kategory bullying; pelaku baik individual maupun group secara sengaja menyakiti atau mengancam korban dengan cara:
- menyisihkan seseorang dari pergaulan,
- menyebarkan gosip, mebuat julukan yang bersifat ejekan,
- mengerjai seseorang untuk mempermalukannya
- mengintimidasi atau mengancam korban
- melukai secara fisik
- melakukan pemalakan/pengompasan

Bullying merupakan istilah yang memang belum cukup dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia meski perilakunya eksis di dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam institusi pendidikan. Menurut Andrew Mellor dari Antibullying Network University of Edinburgh, bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain baik yang berupa verbal, fisik maupun mental dan orang tersebut takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi.

Tingkat keamanan sekolah dari bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya yang dapat dilakukan guru, sesama siswa, senior atau alumni bisa bergantung pada bagaimana interaksi guru dan murid di suatu sekolah dan aura lingkungan sekolah tersebut. Dari penelitian yang dilakukan di SD, SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia, sekolah dengan tingkat bullying yang terendah menunjukkan ada kaitan erat antara guru dengan siswanya serta kondisi lingkungan sekolahnya. "Yang rendah ini, di sekolahnya terdapat hubungan antara guru dan siswa yang sangat baik. Sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti hijau, anak-anak bebas main-main. Sekolah yg sangat biasa," ujar peneliti, Ratna, dari Universitas Indonesia. Menurut Ratna, lingkungan fisik sekolah berpengaruh besar terhadap perilaku orang-orang yang ada di sekolah.

Untuk itu, sudah waktunya lembaga pendidikan melayani dengan sepenuh hati. Peserta didik dapat menikmati pendidikan dengan sepenuh hati juga. Dengan demikian prestasi belajarnya dapat menguntungkan bagi kehidupannya kelak.

Tidak ada komentar: