Sinar Harapan, Sabtu, 24 Oktober 2009
Menyelami Dunia Anak
OLEH: SALAMET WAHEDI
Akhir-akhir ini, pemberitaan kasak-kusuk dunia anak menghiasi beberapa headline atau topik khusus media massa, baik elektronik maupun cetak.
Kekerasan pada anak, perebutan hak asuh anak, hingga pada eksploitasi anak. Semua itu, tanpa kita sadari telah membunuh karakter anak, membunuh benih awal manusia menjalani dan memandang kehidupan.
Kasus perceraian orang tua (broken home) merupakan wacana awal psikologi kegamangan anak dalam berkembang. Hidup dengan orang tua tunggal, tidak dapat dipungkiri menjadi pemicu awal seorang anak mengalami shock ataupun kemunduran perkembangan secara mental. Maka bukanlah suatu yang mengherankan ketika kita mendapati generasi muda ini cepat frustrasi. Maka, membludaknya kasus kawula muda, krisis multidimensi di kalangan remaja, tidak dapat dielakkan lagi merupakan “buah kutukan” terabainya dunia anak.
Dunia anak yang sejatinya adalah dunia bermain, telah terampas oleh beban kehidupan yang terlalu rumit. Anak tidak lagi menemukan gerak perkembangan yang normal. Anak telah dipaksa untuk berada di luar garis kemampuannya. Maka, dapat dibayangkan, kemampuan anak yang masih belia mesti menanggung derita dan beban hidup yang di luar kadarnya.
Selain berbagai kasus yang menimpa dan menyeret anak dalam pertarungan kelas tinggi, terputusnya transformasi nilai-nilai sosial budaya kita juga sangat berperan dalam membentuk dunia anak yang gamang dan gelisah. Budaya dongeng sebelum tidur yang digerus parade sinetron, permainan anak yang digantikan oleh menu game, secara tidak langsung pula menggiring anak pada kegagapan untuk memahami dan mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya.
Lebih jauh, di kalangan masyarakat kita, masih belum begitu peka terhadap kondisi dunia anak. Dunia pendidikan yang diharapkan menjadi wahana penetralisasi bagi kesuntukan anak, tidak jarang hadir menjelma penjara. Bahkan tidak jarang pula, anak menjadi modal dunia pendidikan kita untuk mengeruk keuntungan.
Maka memberikan dan menghadirkan referensi tentang dunia anak merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal ini tentunya sejalan dengan kemajuan teknolagi, yang tidak hanya memproduksi barang-barang kebutuhan secara instan. Tapi di luar itu, telah memungkinkan kita untuk memahami diri kita secara komprehensif. Secara teoretis.
Satu dari sekian referensi yang patut kita sambut adalah buku Struktur Narasi Novel Karya Anak. Buku yang ditulis oleh Dr Suyatno, M.Pd., dosen sekaligus Kajur Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya ini, sekilas telah memberikan gambaran apresiasi terhadap karya anak.
Kalau selama ini kita memandang sebelah mata pada karya-karya anak, maka seiring kemajuan dunia elektronik yang memungkinkan kita menghasilkan berbagai produk, sudah seyogianya kita lebih proaktif melakukan apresiasi terhadap karya yang dihasilkan anak. Seperti yang diamati Dr Suyatno, M.Pd ini, hadirnya karya-karya anak yang ditulis oleh anak pada tahun 2000-an, merupakan indikasi dan sinyal bahwa dunia anak, di tengah globalisasi ini telah menemukan dunianya sendiri. Dunia fantasi, dunia bermain, juga dunia bercerita untuk bisa memahami realitas di sekitarnya, yang pada akhirnya berimplikasi pada menguatnya pertumbuhan karya anak dan memberikan peluang bagi kreativitas anak (hlm 2).
Apresiasi terhadap karya anak, di samping diharapkan bisa mengembalikan dunia anak, juga bisa memicu perkembangan anak ke arah yang produktif. Kalau selama ini, sastra dan anak tak ubahnya penjajah dan taklukannya, meminjam istilah esai Riris K Toha-Sarumpaet, maka kehadiran sastra anak yang ditulis oleh anak-anak tentunya akan menghadirkan perspektif berbeda. Perspektif yang akan menempatkan anak sebagai subjek atau pelaku pada dunianya sendiri. Sehingga, orang-orang di luar dunia anak tidak lagi menjelma bapak yang otoriter, atau ibu yang judes. Tapi orang-orang di luar anak sudah semestinya menjadi fasilitator, menjadi partner, dan menjadi pendamping. Meski peran dan fungsi orang tua tidak seratus persen bisa diabaikan dalam pembentukan dan pengarahan langkah anak ke depan. Peran dan fungsi orang tua sudah saatnya diterjemahkan dari realitas dunia anak itu sendiri. Dunia bermain-main.
Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Prof Budi Darma menegaskan harapannya membangun masa depan anak melalui karya sastra. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa anak akan terus berkembang dan juga berubah. Namun, hakikat anak sebagai homo fabulans, makhluk suka bercerita, yang erat kaitannya dengan hakikat anak sebagai homo ludens, makhluk yang suka bermain, apabila dikembangkan sejak kecil, akan membentuk masa depan anak menjadi lebih baik (hlm ix).
Buku yang diterbitkan Jaring Pena ini secara garis besar membicarakan sembilan potensi pokok karya anak. Pertama, potensi dalam memproduksi novel. Kedua, sastra anak, karya anak di sebuah perjalanan. Ketiga, faktor pendorong anak menulis novel. Keempat, kajian dan konsep sastra anak. Kelima, struktur narasi novel karya anak. Keenam, alur novel karya anak. Ketujuh, penokohan novel karya anak. Kedelapan latar novel karya anak. Kesembilan perbandingan struktur narasi novel karya anak.
Lebih jauh, buku ini juga mengajak kita untuk menengok dunia anak lebih jauh. Dunia yang ternyata tidak hanya bermain-main belaka. Tetapi, dunia di mana tersimpan potensi manusia memahami dirinya sendiri. Potensi yang dapat diterjemahkan di sini adalah adanya kemampuan berbahasa sejak dini, kepekaan sosial anak serta ungkapan lugas nan tulus anak menstrukturkan pengalamannya.
Kalau secara psikologi, perkembangan karakter anak ditentukan oleh tingkat atau masa pertumbuhan yang wajar dan memadai, maka memahami dunia anak sangat berperan membantu mereka melewati setiap fase pertumbuhan itu. Memahami dunia anak akan memberikan arahan dan acuan bagaimana kita mesti menggali potensi yang dimiliki anak, terutama potensi dan kemampuan berbahasa anak.
Dengan gaya bahasa yang enak dicerna dan mudah dipahami, buku ini juga memaparkan berbagai faktor yang memengaruhi dan mendorong anak berkarya, menulis novel. Seperti kebiasaan membaca, mendengarkan cerita, menulis buku harian, menggunakan komputer dan lainnya, motivasi orang tua dan pengalaman sendiri dan pengamatan lingkungan sekitar. Pemahaman akan berbagai kondisi yang bisa mendorong anak ini, tentunya dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan potensi dan kemampuan anak.
Selain memaparkan berbagai faktor pendukung dan pola pengembangan bakat dan potensi anak, apresiasi terhadap karya-karya anak yang disajikan buku ini, cukup menjadi bukti konkret potensi dan kemampuan anak. Terutama dalam hal berbahasa.
Pemaparan struktur karya anak juga memberikan ilustrasi bagi kita, bagaimana anak seusia 7-12 tahun sudah memiliki kepekaan sosial maupun pembacaan yang cermat akan pola hubungan hidup yang membutuhkan keterbukaan, kegigihan, kemandirian, kerja sama, persahabatan, toleransi, hemat dan saling memberi. Lebih jauh, pemahaman dan penghayatan hidup oleh anak pun cukup beragam.
Semisal pada Novel Kado Untuk Umi karya Izzati (8 tahun), kita dapati sebuah usaha seorang anak untuk membahagiakan ibunya, di Hari Ibu, dengan memberinya kado. Dalam novel ini diceritakan tentang usaha seorang tokoh Aisyah dan teman-temannya untuk memberikan kado kepada ibu mereka masing-masing.
Uniknya, penyajian berbagai tema yang ingin disampaikan Izzati, semisal kemandirian, kebersamaan, disajikan lewat narasi cerita yang utuh. Narasi cerita yang tidak terjebak dalam ranah menggurui (hlm 106).
Tema persahabatan dapat ditemukan dalam pembahasan novel Beatiful Days karya Bella (8 tahun), novel Let’s Bake Cookies karya Izzati (9 tahun), dan novel The NoEru Group karya Dena (12 tahun). Dalam novel-novel ini, tema persahabatan coba dieksplorasi dari berbagai dinamika dan setting kehidupan anak itu sendiri. Namun yang perlu dicermati, penyajian tema persahabatan dengan lika-likunya: pertengkaran, persaingan, kemarahan, kerja sama, kekompakan, ketegaran, kegigihan dan kebenaran, menandaskan bahwa dalam diri manusia, sejak mulai masa kanak-kanak telah “tercantum” impian akan kebersamaan, akan hidup yang harmoni.
Sedangkan novel Juara Sejati karya Silmi (9 tahun) dan novel Little Cuties karya Alline (11 tahun) mengusung tema spirit dan kegigihan mencapai prestasi. Dalam novel Juara Sejati, lewat tokoh protagonis Silvie dan teman-temannya, kita diajak pada satu simpulan akan hakikat menjadi juara sejati, yakni jagoan memang tak selalu menang duluan. Pada kekalahan pertama, jagoan bisa mengambil pelajaran, bahwasanya, kita harus berlatih lebih giat dan lebih percaya diri (hlm 113).
Berbeda dengan novel Juara Sejati, novel Little Cuties dengan tokoh utamanya ‘aku’ yang bernama Fira dan teman-temannya, Zira, Devita, Rival, Via, Dewo, dan Reza, menyajikan sebuah diorama kebersamaan, kesetiakawanan, persaingan positif, keinginan dengan usaha, dan percaya diri dalam meraih sukses (114).
Selain mengusung sebagian besar tema yang berkutat dengan pegalamannya sendiri, karya anak dalam pembahasan buku ini, juga menggambarkan kepekaan anak pada lingkungan sekitarnya, misalnya perhatian pada dunia binatang (novel Si Kupu-Kupu’karya Dena {12 tahun}), atau tentang cita-cita terciptanya kedamaian (novel Kisah Tiga Pengembara karya Ali Riza {12 tahun}), atau cerita kepahlawanan memerangi kejahatan (novel Misteri Pedang Skinheald karya Ataka {12 tahun}).
Secara keseluruhan, kehadiran buku Struktur Narasi Novel Karya Anak dewasa ini memiliki dua arti penting. Pertama, buku ini merupakan sebuah terobosan yang perlu mendapat perhatian dari setiap pencinta sastra. Terutama sastra anak. Kedua, buku ini tidak hanya mengungkap sisi lain dunia anak. Tetapi juga memberikan gambaran dan acuan yang jelas dalam mengembangkan potensi dan bakat anak. Bakat dan potensi tersebut berkutat dalam ranah bermain dan suka bercerita.
Maka tidak salah lagi, buku ini merupakan salah satu koleksi yang mesti dibaca dan dimiliki oleh setiap pemerhati buku dan sastra. Terutama sastra dan buku yang berhubungan dengan dunia anak. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar