Oleh Suyatno
Keberadaan guru yang profesional tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam aspek kompetensi yakni pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Temu Nasional 2009 di Jakarta, Kamis, 29 Oktober (edukasi Kompas.com) meminta Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh untuk mengubah metodologi belajar-mengajar. Menurut Presiden, pendidikan jangan hanya mengejar nilai rapor dan ujian. ”Kalau itu yang dipilih, anak-anak bersekolah tetapi tidak berkembang kreativitas, inovasi, dan jiwa wirausahanya,” lanjut Presiden. Pola yang sekarang tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan anak didik. Metode belajar-mengajar anak didik yang dilakukan sejak taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah dinilai hanya menunjukkan gurunya yang aktif, sedangkan anak didik justru tidak aktif. Proses belajar seperti itulah yang dinilai tidak dapat mengembangkan inovasi dan kreativitas serta kewirausahaan.
Pernyataan presiden di atas merupakan puncak dari pergunjingan masyarakat yang prihatin terhadap dunia guru yang tidak juga berubah meskipun diberi perlakukan khusus melalui sertifikasi pendidik. Guru dalam perannya masih mempunyai beberapa permasalahan, yakni (1) masih berperan sebagai transmiter, sumber pengetahuan, mahatahu, (2) terikat dengan sistem dan berpikir struktural, (3) menunggu arahan pejabat di atasnya, (4) memandang fakta, isi pelajaran, dan teori sebagai basis belajar, (5) lebih mentoleransi kebiasaan latihan menghafal, (6) cenderung statis dan tidak kompetitif, (7) gaya verbalistis menjadi fokus utama di kelas, (8) miskin kreativitas dan inovasi, (9) komunikasi terbatas, (10) penilaian lebih bersifat normatif, dan (11) tidak peduli dengan perubahan dan perkembangan pembelajaran.
Dari sisi internal guru, ada beberapa problem yang menjadi batu sandungan dalam peningkatan profesi guru, seperti (1) masih banyak guru yang hidupnya tidak berkecukupan karena memang pendapatannya kecil; (2) banyak guru yang mengajar di daerah terpencil yang penampilannya tampak dekil, (3) heterogenitas paradigma dan persepsi guru yang sangat tinggi, (4) latar belakang akademis guru yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diasuh, (5) komitmen guru yang masih rendah dalam menjalani tugasnya, dan (6) minimalnya pengalaman guru.
Di tingkat eksternal guru, berbagai cara dilakukan untuk mengangkat citra guru secara mendasar seperti portofolio seritifikasi guru, PLPG (diklat guru yang tidak lolos portofolio), insentifikasi kesejahteraan guru, program lomba guru, pelatihan-pelatihan. Hanya saja cara-cara di atas masih bersifat permukaan semata tidak sampai mengubah prilaku dan paradigma guru di tingkat implementasi. Beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan sentuhan eksternal di atas adalah (1) kebijakan masih bersifat sentralistik, (2) program pengembangan hanya bersifat puncak gunung yang tidak sampai ke bukit dan ngarai, (3) pendidikan dan pelatihan guru tidak bersifat membelajarkan hanya mengajarkan, (4) terputusnya mata rantai pembinaan guru sampai ke satuan terkecil akibat kurang berfungsinya KKG dan MGMP, (5) miskinnya media pembelajaran inovatif dan buku-buku di sekolah terpencil, (6) program yang ada yang sampai saat ini belum menyentuh keadaan pikiran, sikap, dan kiprah guru yang sebenarnya, dan (6) kepedulian pejabat di tingkat bawah hanya sebatas selebrasi.
Dalam proses pembelajaran, paradigma baru pembelajaran sebagai produk inovasi
seyogyanya lebih menyediakan proses untuk mengembalikan hakikat siswa ke fitrahnya
sebagai manusia yang memiliki segenap potensi untuk mengalami becoming process dalam mengembangkan kemanuasiaanya. Oleh sebab itu, apapun fasilitas yang dikreasi untuk memfasilitasi siswa dan siapapun fasilitator yang akan menemani siswa belajar, seyogyanya bertolak dari dan berorientasi pada apa yang menjadi tujuan belajar siswa. Tujuan belajar yang orisinal muncul dari dorongan hati (mode = intrinsic motivation).
Salah satu faktor yang memengaruhi menurunnya kualitas pendidik di Indonesia adalah guru. Padahal dalam sebuah proses pendidikan, guru merupakan komponen yang sangat penting selain tujuannya, kurikulum, metode, sarana dan prasarana, lingkungan dan evaluasi. Hal itu menunjukkan bahwa guru sangat berperan penting dalam memajukan kualitas anak bangsa. Mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan sangat penting, dibutuhkan pemahaman yang baik dan benar dari guru terhadap profesinya sehingga proses dan hasil dari pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Dengan perubahan kurikulum, penerapan metode mengajar yang baru, pengelolaan sarana dan prasarana, pembelajaran akan berdaya guna apabila didukung oleh guru yang profesional. Semua pihak tahu bahwa tugas guru meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, guru dituntut memiliki kemampuan berwawasan luas, mempunyai sikap dan tingkah laku yang patut diteladani dan memiliki keterampilan.
Untuk itu, problematika di atas harus segera dipecahkan agar terwujud implementasi pembelajaran yang mampu mengeksplorasi dan mengelaborasi potensi anak secara kuat dan optimal. Pemecahannya dapat dilakukan melalui program yang sangat strategis yang mampu menggerakkan semua komponen dalam meningkatkan profesi guru sampai ke akar-akarnya.
Berikut ini saran pemecahan problematika profesi guru.
1.Upaya perbaikan dan peningkatan profesi guru dilakukan secara terprogram, terintegrasi, dan berkelanjutan yang memperhatikan semua komponen pendidikan.
2.Pertukaran guru lintas lokasi perlu dilakukan untuk membuka paradigma dan pengalaman baru secara langsung.
3.Pelaksanaan guru magang di sekolah-sekolah maju yang diasuh oleh guru yang sudah maju pula.
4.Pendampingan guru dengan sistem susun mentor dengan pengawasan yang simultan.
5.Penguatan peran komunitas guru berdasarkan spesifikasi yang dilaksanakan sampai ke tingkat pedalaman dengan memperan-aktifkan MGMP dan KKG.
6.Pemaksimalan kapasitasi tenaga kependidikan (kepala dinas, pengawas, kepala sekolah, dan lainnya) terhadap peningkatan profesi guru.
7.Pelatihan terfokus kepada semua guru dengan sistem identifikasi dan kualifikasi yang dapat memotivasi guru (pelatihan ramah anak, komunikasi, penguatan metode pembelajaran, penelitian, dan sebagainya).
8.Perbanyak lomba kualifikasi guru di semua lini.
9.Pemberian penghargaan diperbanyak dalam rangka mengangkat keprcayaan guru terhadap perannya.
10.Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) guru harus sampai ke tingkat yang paling pedalaman.
11.Penciptaan budaya semangat juang untuk meningkatkan citra guru pada era globalisasi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar