Jumat, 23 Oktober 2009

Guru di Mata Mbok Siti (59)

Entah maaf yang mana lagi harus aku sampaikan ke Mbok Siti setelah lama tidak bertemu dengannya. Dengan segala waktu yang kupunya, kusempatkan mampir di rumah Mbok Siti yang tentunya masih seperti yang dulu, ragam dan bentuk rumahnya. Saat aku memarkir sepeda motor dengan pelan, Mbok Siti bergegas menghampiriku sambil menjulurkan tangan dan menangkap salam dengan cepat pertanda memuncaknya kerinduan kami.

Dengan cepatnya, kami duduk bersama di teras seperti yang dulu-dulu. Dalam hati, kenyamanan langsung menyeruak tegas. Aku sangat damai. Lalu, aku lirik tumpukan karung kecil di teras.

"Ini apa Mbok?" tanyaku pelan.

"Oh, di karung itu, maksudnya. Itu benih kacang kedelai, anakku", jawabnya sambil berdiri mengambil karung kecil lainnya yang mungkin juga benih kacang.

"Pasti subur kacang di sini ya", tambahku.

"Tidak juga, anakku. Subur tidaknya kacang ditentukan oleh banyak hal", jawabnya santai. Benih yang bagus jika ditanam di tanah yang tidak bagus tentu akan tumbuh tidak bagus pula. Benih bagus, tanah bagus, dan iklim bagus tetapi jika tidak dirawat juga tidak akan pernah menjadi kacang yang bagus.

"Begitu pula, siswa yang bagus jika bersekolah di sekolah yang tidak bagus tentu dia akan menjadi tidak bagus", jawabnya panjang lebar.

Untuk itu, siswa bagus harus di dukung oleh sekolah yang bagus, guru yang bagus, buku-buku bagus, dan dirawat dengan bagus. Itulah sekolah sejati.

Tidak ada komentar: