Potensi anak jangan diabaikan tetapi justru menjadi pijakan dalam pengembangan pendidikan. Harian Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009 melaporkan bahwa sistem pendidikan Indonesia sampai saat ini belum mengutamakan pengembangan potensi anak didik seluas-luasnya. Kurikulum pendidikan pun memperlakukan anak didik sama rata tanpa mempertimbangkan keunikan pada setiap anak didik. Setiap individu unik karena mempunyai potensi, bakat, dan talenta yang berbeda.
Hal itu mengemuka dalam seminar bertema ”Mengembalikan Pola Pendidikan Berbasis Potensi Anak yang Berwawasan Budaya Lokal Nusantara” yang digelar Forum Pengajar-Dokter-Psikolog bagi Ibu Pertiwi dan Yayasan Anand Ashram, Kamis (29/10) di Jakarta. ”Sistem pendidikan makin terfokus hanya pada materi. Menghancurkan bangsa itu mudah, bodohkan saja rakyatnya,” kata Ketua Yayasan Anand Ashram, Maya Safira Muchtar.
Potensi anak terkubur karena pendidikan terfokus pada materi. Akibat tuntutan materi yang meningkat, orangtua tidak mendukung pengembangan potensi anak, malah memaksakan keinginan kepada anak. ”Masih banyak orangtua yang beranggapan, jika ingin sukses atau kaya, anak harus menjadi dokter, insinyur, atau pengacara,” katanya.
Psikolog Rose Mini menyebutkan, setiap orangtua tentu ingin pendidikan anaknya berhasil. Patokan keberhasilan ini yang kerap dinilai hanya dari pencapaian prestasi bidang akademis dan eksakta. Adapun pencapaian bidang kreatif, seperti musik, belum dianggap sebagai prestasi. ”Setiap individu memiliki potensi cerdas. Tetapi, tidak akan teraktualisasi optimal jika tidak distimulasi dengan baik,” ujarnya.
Agar potensi anak berkembang optimal, Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia Frieda Maryam Siahaan mengingatkan, pendidik harus bisa mendidik dengan empati dan kepekaan sehingga potensi anak didik dapat diperhatikan satu per satu.
”Guru dan orangtua harus memiliki hati untuk meningkatkan kemampuan emosional, sosial, fisik, spiritual, dan kemandirian anak dalam menyelesaikan masalahnya,” ujar Frieda. (LUK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar