Jumat, 23 Oktober 2009

Guru di Mata Mbok Siti (60)

Tumbuhan di halaman belakang rumah MBok Siti sangat mendinginkan hati karena daun dan buahnya berlomba memberikan senyum. Aku sangat betah berada di bawah pohon-pohon itu sesekali memetik buah jambu yang langsung aku makan.

"Mbok!", aku sedikit bersuara keras.

Tiba-tiba dengan agak cepat, Mbok Siti berjalan dari dapur ke arahku. "Ada apa anakku?"

"Mengapa pohon-pohon ini sangat menarik dan berbuah lebat?" tanyaku sambil menunjuk salah satu pohon.

"Anakku, buah itu lebat dan tampak segar karena dipelihara dengan kasih sayang dan kelembutan", jawabnya. Andai pohon itu dibabat, tentu tidak akan ada lagi buah yang dinikmati dari pohon itu. Begitu pula, andai rantingnya dipatahkan, tentu tidak akan ada buah yang menjuntai dari ranting.

"Nah, siswa yang tumbuh dan berkembang dengan segar berseri tiba-tiba dilukai dengan ocehan atau tamparan fisik, tentu, dia akan tidak dapat menjadi sosok yang bergairah lagi", katanya dengan pelan sambil memperbaiki jaritnya yang agak kendor.

Guru yang menampar siswa, melukai dengan cara apapun, menyakiti fisik siswa adalah guru yang bukan guru. Dia melainkan pembabat atau pembunuh pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan siswa. Dia bukan guru.

Tidak ada komentar: