Oleh: Suyatno,
Kata pembelajaran saat ini lebih dikenal daripada kata pengajaran karena pembelajaran lebih mengacu pada belajar sedangkan pelajaran mengacu pada ajar. Kata belajar lebih menekankan proses daripada kata ajar yang lebih mengedepankan instruksi. Pengajaran dipandang sebagai proses ajar yang berpusat pada guru, deduktif, konvensional, klasikal, siswa sebagai objek belajar, ceramah, pengalihan pengetahuan saja, dan miskin media. Sebaliknya, pembelajaran merupakan proses interaksi di kelas yang bercirikan berpusat pada siswa, guru sebagai fasilitator, induktif, berbasis unjuk kerja, individual, siswa sebagai subjek belajar, multimodel, kompetensi menjadi tumpuan, dan multimedia.
Pembelajaran menjadi orientasi proses menumbuhkembangkan pribadi siswa karena selama ini :
(1) pendidikan dipandang tidak mampu memanusiawikan siswa secara tepat dan sesuai dengan jati dirinya;
(2) pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk peserta didik;
(3) pendidikan yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi (content transmission). Tugas pengajar hanya sebagai penyampai pokok bahasan. Mutu pengajaran menjadi tidak jelas karena yang diukur hanya daya serap sesaat yang dungkap lewat proses penilaian hasil belajar yang artifisial. Pengajaran tidak diarahkan kepada partisipatori total dari peserta didik yang pada akhirnya dapat melekat sepenuhnya dalam diri peserta didik;
(4) aspek afektif cenderung terabaikan;
(5) diskriminasi penguasaan wawasan terjadi akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya dibandingkan dengan yang di daerah, yang di daerah merasa mengetahui semuanya dibandingkan dengan yang di cabang, yang di cabang merasa lebih tahu di bandingkan dengan yang di ranting, begitu seterusnya. Jadi, diskriminasi sistematis terjadi akibat pola pembelajaran yang subjek—objek; dan
(6) pengajar selalu mereduksi teks yang ada dengan harapan tidak salah melangkah. Teks atau buku acuan dianggap segalanya jika telah menyampaikan isi buku acuan berhasillah dia.
Pembelajaran masa kini dirancang dengan berbagai model pembelajaran berdasarkan multikarakter siswa dan multikonteks belajar dengan berorientasi pada konsep bahwa (1) setiap peserta didik adalah unik. Peserta didik mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan membunuh keunikan tersebut. Keunikan harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang; (2) anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Jalan pikir anak tidak selalu sama dengan jalan pikir orang dewasa. Orang dewasa harus dapat menyelami cara merasa dan berpikir anak-anak. Yang terjadi justru sebaliknya, pendidik memberikan materi pelajaran lewat ceramah seperti yang mereka peroleh dari bangku sekolah yang pernah diikuti; (3) dunia anak adalah dunia bermain tetapi materi pelajaran banyak yang tidak disajikan lewat permainan. Hal itu salah satunya disebabkan oleh pemberian materi pelajaran yang jarang diaplikasikan melalui permainan yang mengandung nuansa filsafat pendidikan; (4) usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia. Namun, dunia pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi kreativitas.
Pada kenyataannya, pola pengajaran dengan ciri berpusat pada guru itu memang sulit untuk dihindari karena guru terlanjur mempunyai memori yang kuat dan melekat sejak pertama mengajar sampai saat ini. Hasilnya, alih-alih siswa paham akan konsep pembelajaran, dia malah tidak paham akan materi yang diberikan selama pembelajaran karena lebih banyak mengantuk, mengobrol, dan asyik dengan gambar di bukunya. Sang guru senang karena pembelajaran terasa tenang, senyap, diam, dan semua wajah tertuju pada guru dengan bibir terkatup tanda setuju. Begitulah warna pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai konsumen. Sudah saatnya, guru menjadi subjek yang dinamis dan kreatif sehingga mampu menyerap perkembangan pembelajaran masa kini.
2 komentar:
"kekaguman saya untuk bapak suyitno disela-sela waktunya yang sibuk telah menyempatkan perhatiannya untuk dunia pendidikan di Indonesia yang masih banyak harus dibenahi. belum lagi, tenaga yang terkuras untuk membangun JBSI menjadi jurusan yang madani...cahyoo!!!saya tahu bapak bisa. semoga kebahagiaan selalu menyertai bapak sekeluarga...amin"
setiap anak pasti memiliki keinginan untuk dimengerti begitu juga keinginan untuk belajar di "dunianya". namun, kesalahan pengajaran diulang-ulang sehingga kini secara tidak langsung telah menjadi kesalahan berjamaah tenaga pengajar di Indonesia. sebagai saran, sebaiknya diknas dan lembaga yang terkait agar segera melakukan sosialisasi cara pembelajaran yang nyaman dan kooperatif. semoga tenaga pendidik menguasai model pembelajaran yang sesuai diterapkan pada anak sehingga bibir-bibir itu tak lagi tertutup rapat-rapat pada waktu proses pembelajaran.
nama : Prasasti Hakim PD
NIM : 042144035
Prosi Sastra Indonesia 2004
Pembelajaran memang identik dengan kata terpusat pada siswa. Namun bagaimana dengan tenaga pembelajar yang sering kita sebut dengan guru les privat atau tentor lembaga bimbingan belajar. sejauh yang saya ketahui mereka justru mematikan kreativitas belajar siswa. Kita ketahui bahwa setia siswa kita ialah manusia yang diciptakan dengan segala keunikan dan keistimewaan. Oleh karena itu muncul dengan nama kecerdasan majemuk. Menurut bapak, apakah benar mereka justru membuat pembelajaran terpusat pada guru atau tentor yang justru mematikan kreativitas belajar siswa? apakah posisi mereka dapat disejajarkan dengan fungsi serta kinerja guru di kelas????
Posting Komentar