Kamis, 17 April 2008

Sapu Tangan untuk Calon Guru Berbobot



Oleh Suyatno

Calon guru adalah bagian dari siklus kehidupan yang akan menggantikan posisi guru yang telah uzur dimakan waktu. Sebagai pengganti, calon guru tentu teramat tahu bahwa perannya kelak berada dalam dimensi sebuah perubahan yang lebih maju. Dengan begitu, gaya mengajarnya sudah seharusnya berdimensi maju juga. Jika tidak, akan terjadi setali tiga uang alias sama saja dengan gaya guru uzur.

Alam guru yang uzur adalah alam lama, tradisional, klasik, dan dunia lisan karena memang situasi perkembangan zaman menjebaknya untuk seperti itu. Betapa tidak, guru uzur yang akan digantikan kelak adalah generasi yang dahulunya, saat sekolah, berkutat pada aspek lisan semata. Saat itu, TV belum ada, koran belum menyebar, video game tidak ada, dan HP masih di bawah alam sadar. Satu-satunya media bagi mereka yang uzur saat sekolah dahulu adalah tradisi lisan dengan gaya sentralisitis guru. Guru teramat dominan mengatur anak untuk menjadi. Lalu mau apa dalam kondisi tersebut?

Berbeda dengan calon guru saat ini, dalam dunianya terdapat segala fasilitas modern dengan alam pikiran yang terbuka dan bebas. Alam calon guru yang akan menjadi pengganti didominasi oleh teknologi canggih, terbuka, bebas, dan segalanya ada. Tentunya, tidaklah mungkin akan terjadi "tikus mati di lumbung padi" dalam diri calon guru.

Buka berarti guru uzur jelek dan calon guru akan lebih hebat dalam mengajarnya. Bisa jadi calon guru yang akan menggantikan posisi itu justru tampah buruk, menjenuhkan, dan "memble" cara mengajarnya. Apalagi, calon guru tersebut hanya duduk diam, pulang, tidur, dan bermain saja saat berkuliah. Calon guru yang semacam itu justru calon guru yang mandul, cacat, dan daun semangka berdaun sirih. Masyarakatlah yang akan menilai kepiawaian calon guru itu baik atau buruk.

Meskipun begitu, guru uzur sangat memberikan hasil bagi generasi yang dididiknya. Buktinya, saat ini dapat dilihat jenderal, guru besar, insinyur, dokter, dosen, guru, arsitek, direktur, praktisi handal. mereka adalah pengisi alam Indonesia dengan segala perkembangannya. Calon guru tentunya, pada 20 tahun mendatang akan dapat menghasilkan tokoh-tokoh tersebut dengan lebih handal pula. Jika tidak lebih handal, berarti memang tidak ada perubahan dalam diri calon guru.

Guru uzur juga turut memberikan warna kehidupan gelap seperti, pelacur, perompak, pembunuh, pengangguran, pembalak, gelandangan, koruptor, penjilat, dan lainnya. Betapa tidak. Mereka juga dibesarkan dalam watu yang sama dengan jumlah tokoh berprestasi seperti yang telah disebutkan di atas. Calon guru yang handal tentunya dapat meminimalkan jumlah generasi hitam tersebut dengan gaya mendidik yang terbarui. Mampukah calon guru melakukan hal itu? Ya, tentunya harus mampu jika tidak berarti tidak akan terjadi perjalanan siklus.

Calon guru saat ini teramat berat menangung beban jika bercermin kepada guru uzur. Jika dikatakan berat beban itu. Namun, jika calon guru memandangnya sebagai sebuah keharusan untuk menajadi lebih baik, tidak ada beban dalam karier calon guru mendatang asalkan bersikap secara piawai untuk terjun dalam dunia pendidikan. Pendidikan adalah sebuah siklus yang terbarui.

Banyak cara yang perlu dilakukan calon guru untuk bereksistensi dalam dunia pendidikan di alam maju ini. Cara tersebut adalah (1)niat dan percaya diri, (2) maju terus pantang mundur, (3) perbanyak membaca dan berdiskusi agar terbuka cakrawala diri, (4) senantiasa melakukan perubahan, (5) tidak malu bertanya, (6) lihatlah guru yang ada selama ini, (7) hormati guru uzur, (8) bergeraklah dalam tim, (9) berpikirlah inovatif dan kreatif, (10) ala bisa karena biasa, maksudnya, pembiasaan diri untuk mendidik dan mengajar dengan baik merupakan jalan untuk menjadi bisa.

Andai saja calon guru dalam bersilat di dunia mengajar menggunakan gaya yang lama, usang, dan tradisional, calon guru itu bukanlah seorang pengganti terbarui melainkan pengganti yang hanya wujud bukan isi. Jika berniat menjadi guru, jadilah guru sejati. Tidak ada kata lain, selain "terlanjur basah ya sudah mandi sekali". Jika sudah masuk di rumah pendidikan jadilah pendidik hebat sekalian.

1 komentar:

Sutining mengatakan...

Sutining
mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2004

Artikel yang Bapak tulis tersebut spontan telah menampar saya dan mungkin juga teman-teman yang senasip dengan saya( PR-04). Betapa tidak, istilag guru udzur yang Bapak paparkan tersebut sedikit banyak masih ada di jiwa kami sebagai calon guru Bahasa Indonesia di masa depan. Aspek keturunan dari guru-guru semasa SMA masih terngiang-ngiang meskipun sewaktu mengikuti perkuliahan Bapak sering disinggung masalah "guru abad 16" atau "guru dodol dawet". Memang tidak dapat disangkal, kadang kami malas untuk melakukan inovasi. Misalnya saja berkunjung ke warnet atau sekadar membeli buku di toko buku. Pemikiran yang praktis sering kali hinggap di benak mahasiswa. Mereka pada umumnya lebih "enteng" mengeluarkan uang untuk membeli pulsa dari pada membeli buku tentang peningkatan kualitas pembelajaran. Bahkan, meskipun di sekolah-sekolah sudah marak digalakkan kurikulum KTSP yang menuntut guru menjadi lebih aktif dan memiliki jiwa inovasi, akan tetapi di lapangan kenyataan seperti itu masih jarang ditemui. Khususnya di sekolah-sekolah daerah. Para guru masih menganut metode lama belajar hanya dengan buku paket tanpa menggunakan media lain yang lebih inovatif dan serasa dibebani untuk meningkatkan profesionalnya sebagai guru yang berbobot. Pertanyaan saya, menurut Bapak, bagaimana cara memberantas guru udzur atau guru tradisional jika mereka banyak berkeliaran di sekolah-sekolah? Terima kasih. Kunjungi blog saya juga ya Pak di www.mozaikcerita.blogspot.com