Jumat, 01 Agustus 2008
Guru, Sudahlah Jangan Jual Buku
Oleh Suyatno
Kawanku guru, sudahlah jangan jual buku meskipun disuruh kepala sekolah, penerbit, maupun orang tua karena akibatnya cukup memalukan dan merendahkan martabat guru. Hermin, kepala sekolah di Kec. Sukomanunggal, Surabaya dimutasi menjadi staf kantor UPTD (dulu cabang dinas) Sukomanunggal gara-gara menjual buku ke siswa. Penjualan itu sebenarnya dimaksudkan untuk mempermudah siswa mendapatkan buku. Namun, karena terkena aturan permendiknas no 2/2005 tentang Buku Teks Pelajaran, tetap saja perbuatan Bu Hermin menyalahi aturan.
Sekarang ini, banyak orang tua yang menuntut sekolah termasuk guru hanya karena masalah yang sangat sepele. Guru harus sadar akan hal itu. Keterbukaaan semacam itu memang sangat baik hanya saja terkesan menjadi keterlaluan alias kebablasan. Lihat saja, di Jakarta, otot leher orang tua tampak disorot TV saat protes ke diknas tentang penjualan buku yang dilakukan guru. Entah berapa otot lagi yang harus menegang untuk memprotes tindakan guru.
Kasihan, guru saat ini, karena semakin saja diinjak-injak reputasinya. Perjalanan hidup guru memang jarang beruntung. Guru sering menjadi kambing hitam ketika masalah pendidikan muncul. Tuduhan kambing hitam itu terkait kualitas yang rendah, kurang profesional, gaji yang rendah, jual beli nilai, pemberian les privat sampai masalah “pewajiban” menggunakan buku bagi anak didiknya.
Cobalah guru hanya menunjuk buku yang terkait dengan topik jika siswa ingin memperdalam materi. Berikan sebaran judul yang layak dibaca. Biarkan orang tua berkreasi mencari buku dengan harganya sendiri. Berniatlah mengajar dengan tulus tanpa berpikir mendapatkan uang samping dari rabat buku. Sering-seringlah mengunduh (download) buku dari internet kalau bisia. Kalau guru tidak bisa mengunduh karena tidak ada internet, jauh dari kota, gagap internet, sebaiknya, cobalah cari informasi lain tentang buku yang layak untuk muridnya. Jalan kinerja guru masih panjang sehingga tidak perlu diputus dengan aturan yang mempersempit dunia keguruan.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta Afrizal Sinaro menilai niat pemerintah untuk menyediakan buku murah secara online cukup baik.
Pakar pendidikan Arif Rahman dari UNJ menilai kebijakan pemerintah untuk mengurangi beban orangtua siswa melalui penyediaan buku dinilai cukup baik. Di antaranya, menyediakan buku dengan sistem online. Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Suyanto mengakui keberadaan buku online milik Depdiknas belum bisa diakses secara maksimal. "Ebook (buku online) Depdiknas memang belum lancar karena persiapannya tidak mudah sehingga terkesan terlambat," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah,kemarin. Menurut dia, program yang akan diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Agustus mendatang itu harus dipersiapkan dengan matang.
Diakui, peraturan tentang buku teks semakin membuat guru selalu di tempat yang kurang beruntung. Maju kena mundur kena. Sudah bertahun-tahun seorang guru akan mendapatkan insentif tambahan (yang mungkin besarnya tidak seberapa) dari penjualan buku di sekolah. Tapi dengan munculnya Permen menjadikan penghasilan tambahan guru berkurang /hilang. Biarlah penghasilan hilang asal reputasi guru tidak melayang.
Siapa sebenarnya yang diutungkan dengan Lahirnya Permen ini, pemerintah, orang tua siswa atau guru. Dari 14 pasal aturan yang ada secara jelas bahwa pihak sekolah (guru) yang dipersalahkan. Tugas guru adalah mendidik, membimbing dan mengajar anak didik sedang penjualan buku adalah tukas pedagang (toko buku).Munculnya penjualan buku di sekolah awalnya lahir karena desakan orang tua/wali. Daripada anaknya mencari di toko buku yang belum tentu ada dengan kebutuhan pelajaran lebih baik pihak sekolah memfalisitasi dengan masuknya penerbit ke sekolah. Dengan demikian siswa dan orang tua tidak lagi susah (bingung) karena semua buku pelajaran yang diperlukan tersedia di sekolah. Dalam perkembangannya ketika harga buku di sekolah lebih mahal daripada “di Luar”, menjadikan penjualan buku di sekolah “bermasalah”. Akhirnya demi mengakomodasi kembali protes orang tua/wali, Pemerintah mengeluarkan Permen No.11/2005.
Mata rantai permasalahan sebenarnya tidak berpusat pada guru, tapi sejalan dengan perkembangan polemik ini banyak orang menuding bahwa gurulah yang bersalah. Padahal pihak penerbit sering “bermain” guna mendapatkan laba yang lebih. Hal ini mengingat pemasaran buku pelajaran terbatas waktunya. Karena guru menentukan buku pelajaran yang dipakai, siswa mau tidak mau harus membeli buku dimaksud, dan kemudian dipersalahkan bila terjadi “kejanggalan” harga jual.- beli. Meski sering kita dengar bahwa pihak sekolah akan diberi diskon 30% untuk tiap buku, faktanya 20% untuk siswa dan 10% untuk sekolah dengan harga mark-up. Padahal 10% yang diberikan ke sekolah akan dibagi untuk kepala sekolah, petugas dan guru. Ironisnya agar 10% nominalnya kelihatan banyak harga buku didongkrak lebih tinggi dari harga pasaran.
Guru sebenarnya hanya sebagai alat kapitalisme buku. Apapun kebijakan Pemerintah guru tetap dalam posisi yang tidak beruntung. Ibaratnya seorang guru mengampu satu mata pelajaran dengan jumlah murid 300 orang. Bila sebuah buku yang terjual sorang guru mendapatkan Rp1000, tiap awal tahun pelajaran seorang guru mendapat tambahan penghasilan Rp300.000. Tambahan penghasilan yang (akan) diterima pastilah sudah dialokasikan untuk keperluan (penting)guru. Karena seorang guru umumnya punya keluarga dan anak yang juga bersekolah. Tambahan yang diterima akan mengurangi beban pengeluaran guru, apalagi Pemerintah seringkali kurang menepati janji akan tambahan penghasilan/ kesejahteraan guru.
Kondisi pendidikan memang saat ini sedang diformat untuk antidagang. Guru hanya mengajar, membimbing, dan mendidik. Sekolah hanya ememfasilitasi terjadinya sebuah proses belajar siswa. Buku merupakan sarana dalam menjalankan proses. Lalu, bagaimana cara mendapatkan buku yang sesuai dengan kapasitas materi? Biarlah orangtua yang mencari dari toko buku di manapun, guru hanya sekadar memberikan daftar judul buku.
Kawanku guru, sudahlah jangan menyesal hanya tidak boleh menjual buku. Tinggalkan keuntungan yang hanya sedikit. raihlah keuntungan yang lebih besar dari Tuhan dengan mendidik siswa.
__________________
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Guru selalu menjadi kambing hitam dan sepertinya ditakdirkan tidak boleh bahagia dengan mendapat bisnis tambahan ya...?
Bagaimana kalau guru mengakalinya dengan memberdayakan wali murid. Misalnya para orang tua murid direkomendasikan saja untuk membeli buku ke wali murid "x", yang sejatinya adalah perpanjangan tangan dari guru itu sendiri dalam menjual buku yang diperlukan sebagai sarana PBM.
Sepertinya syah ya...? Dan ini sudah berlangsung lho... terhadap anak saya di sebuah SDN di Surabaya.
Hehehe... yang jualan bukan guru... tapi orang suruannya.
Guru memang pekerjaan yang sulit.... prestasinya jarang diakui tapi sedikit kejelekannya justru akan selalu dikenang.....nasib....nasib...
Posting Komentar