Kamis, 21 Agustus 2008

Menjadi Guru Sastra Sangat Mudah

Oleh Suyatno

Banyak guru bahasa dan sastra Indonesia yang merasakan tidak nyaman ketika memasuki topik sastra, baik topik puisi, cerpen, maupun drama. Bahkan, ada guru yang selalu melewati topik sastra dan diganti dengan topik bahasa. Alasan mereka beraneka macam yang digunakan untuk membela diri. Alasan tersebut adalah pembelajaran sastra sangat memerlukan persiapan, guru harus seperti seniman, siswa kurang memperhatikan, buku-buku sastra tidak mendukung, dan kelas dianggap belum siap.

Padahal, mengajarkan sastra sangat mudah dan tidak seberat yang dibayangkan. Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah rasa percaya diri dari seorang guru. Percaya diri akan mampu mengatasi kegugupan dan kegagapan yang merasuki diri guru. Guru harus percaya kalau dirinya mampu, guru harus percaya kalau siswanya dapat berkembang melalui sastra, dan guru harus percaya bahwa yang dilakukan terhadap pembelajaran sastra pasti dapat bermanfaat.

Setelah percaya diri, guru perlu menerapkan pembelajaran dengan cara yang dimiliki dan dikuasainya selama ini. Yakinlah bahwa pengalaman mengajar selama ini sangat tepat untuk dilaksanakan dengan pembelajaran sastra. Jangan merasa bahwa guru lain lebih hebat karena telah lama membelajarkan sastra. Bisa jadi, justru guru yang bermula dari pengalaman diri sendiri akan menjadi hebat. Caranya, berangkatlah dari puisi yang dikenali guru terlebih dahulu. Kalau cerpen, berangkatlah dari cerpen yang dikenal guru, begitulah seterusnya.

Cara berikutnya pertama bertanyalah kepada guru lain yang pernah membelajarkan sastra. Bertanya teramat penting untuk mengukur diri sendiri. Kedua, berdiskusilah dengan teman sejawat tentang pembelajaran sastra. Ketiga, perbanyak membaca buku tentang pembelajaran sastra. Keempat, datangkan sastrawan di sekitar guru. Sesungguhnya sastrawan dengan senang hati mau datang ke kelas untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Selama ini, tampaknya guru masih menjadi "nara sumber tunggal" di dalam pembelajaran sastra. Masih disyukuri jika "nara sumber tunggal" itu mengajak anak-anak menggali nilai-nilai karya sastra (apresiasi) dalam pembelajaran sastra.Kelima, cobalah berangkat dari kemampuan siswa yang ada saat itu.

Tidak ada komentar: