Selasa, 26 Agustus 2008

Guru di Mata Mbok Siti (12)

Akhirnya, saya dapat juga bermalam di rumah Mbok Siti hanya karena ketidaksengajaan. Pasalnya. sore menjelang malam itu, sepeda motor bututku tidak berangin alias ban kempes. Lalu, Mbok Siti menyilakan aku menginap saja karena tukang tambal sangat jauh, sekitar 10 km. Wah, sebuah perjalanan yang teramat panjang dan bisa-bisa tukang tambal ban sudah tutup.

Dengan ditemani secangkir kopi, aku bersila di tikar kebanggan Mbok Siti sambil mengobrol dengan Mbok. Lampu yang menerangi malam itu hanya sebuah dimar dari kain yang dililit di pucuk botol dengan minyak tanah sebagai tenaganya. Aku memandangi lama dimar itu.

"Lihatlah api itu anakku, dia menyala terus karena mempunyai cadangan minyak di dalamnya", ujarnya. Jika minyak itu habis, api akan pelan-pelan padam. Guru juga ibarat api yang harus terus menyala agar dapat menerangi sekitarnya. Agar semangat guru tidak padam, guru memerlukan minyak yang cukup. Minyak itu dapat diperoleh guru dari melihat, merenung, membaca, menulis, dan berdiskusi. Senatiasa, guru harus mengisi botol keguruannya dengan minyak keguruan pula. "Guru yang kehabisan minyak memang akan tetap guru tetapi hanya tampak luarnya saja," kata Mbok Siti sambil beringsut menyodorkan ketela rebus.

Tidak ada komentar: