Oleh Suyatno
Setelah pendidikan di India pernah dikupas di garduguru ini, penjaga gardu mengedepankan Brasil untuk dikupas pendidikannya senyampang sebulan berlalu tentang pertemua SBY dengan Presiden Brasil. Pada 12 Juli 2008, yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut kedatangan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula Da Silva dalam kunjungan kenegaraan sehari di Indonesia. Presiden Brazil disambut upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta. Rombongan Presiden Brazil berjumlah 68 orang itu disertai oleh Menteri Luar Negeri Brazil, Celso Amorim, Menteri Staf Kepresidenan Dilma Rousseff, serta Menteri Pengembangan Industri dan Perdagangan Luar Negeri Edmundo S Fujita. Kedua kepala negara menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman di tiga bidang, yaitu pendidikan, kerjasama teknik produksi bahan bakar etanol, dan perjanjian bebas visa untuk hubungan diplomatik serta pelayanan paspor.
Sistem Pendidikan Brasil mencakup lembaga-lembaga pemerintah (federal, negara-negara bagian dan kotamadya), serta lembaga swasta. Jenjang pendidikan dimulai dari tingkat prasekolah, sekolah dasar (Tingkat Dasar- I Grau ), dan tingkat menengah (Tingkat Kedua- II Grau ) sampai universitas dan tingkat pasca sarjana.
Pendidikan wajib bagi anak usia 7-14 tahun. Undang-Undang Dasar Brasil 1988 mengalokasikan sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan pajak negara bagian untuk pendidikan. Di tahun 2000, 91% dari semua anak-anak Brasil usia 10-14 tahun bersekolah. Pemerintah Federal mendirikan sekurang-kurangnya satu universitas federal di setiap negara bagian. Pada tahun 1996 amandemen baru Undang-Undang Dasar dibuat, memungkinkan bagi para professor dan ilmuwan asing untuk menjadi pengajar di universitas Brasil. Kini di Brasil ada lebih dari 1.000 program pasca sarjana yang memiliki dosen pengajar yang mutunya setara dengan institusi sejenis di negara-negara maju.
Masa depan ekonomi Brasil terletak paling vital pada perbaikan pendidikan guna mencapai hasil produktivitas yang "besar sekali", "Kurangnya modal manusia menjadi penghalang tunggal terutama bagi pertumbuhan produktivitas," Organisasi bagi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengatakan dalam sebuah survei terhadap ekonomi Brasil. "Ada kesepakatan luas bahwa hasil yang akan diperoleh dari akumulasi modal manusia yang lebih cepat besar sekali." Indikator pendidikan yang jelek adalah lebih merupakan masalah kualitas pendidikan daripada pendanaan.
Brasil memiliki sejarah meledak dan melambat, dan OECD mengatakan potensi bagi pertumbuhan tanpa overheating kini "agak rendah" pada sekitar 3,0-3,5% per tahun. Di wilayah OECD yang terdiri dari negara-negara industri utama, potensi pertumbunan adalah sekitar 2,5% dan diperkirakan akan naik menjadi 3,0-3,5%. Brasil harus mengejar reformasi untuk meningkatkan sekitar lima poin lebih baik, menyiratkan pertumbuhan sekitar 8,0%, untuk diraih seperempat abad mendatang, laporan itu mengatakan.
OECD juga mendapati bahwa "pengurangan hambatan perdagangan nampaknya telah memainkan peran krusial dalam peningkatan produktivitas", dan program privatisasi yang besar juga telah membantu. Ekonomi telah tumbuh dengan 2,3% tahun lalu sesudah 4,9% pertumbuhan pada 2004 dan 0,5% pertumbuhan pada 2003.
Memuji reformasi belakangan ini di Brasil untuk menstabilkan inflasi, memperkuat mata uang dan mengurangi utang, OECD mengatakan bahwa "prospeknya bagus bagi pemulihan yang luas." Namun laporan itu menyoroti tiga bidang dimana aksi yang perkasa diperlukan:
1- Tantangan "dominan" akan "terus berlanjut guna mengurangi utang publik yang mengancam" sementara memperbai keuangan publik dengan kendali pengeluaran bukan terutama dengan kenaikan pajak sejauh ini. Reformasi pensiun khususnya penting.
2- Suatu "tantangan kebijakan utama adalah dengan meningkatkan inovasi di sektor bisnis" karena, meskipun kinerja inovasi membaik dengan cepat, masih terlalu rendah dan didorong terutama oleh negara dan universitas.
3- Kualitas pendidikan harus membaik karena sementara pendanaan naik hingga tingkat OECD hal itu tidak mendukung dengan cukup cepat kualifikasi angkatan kerja.
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengurangi pasar tenaga kerja yang tak didiumumkan -- tinggi dan merugikan -- laporan tersebut menandaskan, menyebutkan sebuah terbitan bahwa buruh yang tak dideklarasikan berjumlah 37,0% dari angkatan kerja pada 1999. Dan institut itu mendesakkan diciptakannya "sistem sertifikasi keterampilan nasional".
Apa yang disebut "keajaiban Brasil" pada 1960-an dan 1970-an telah menaikkan produk domestik bruto dengan sekitar 7,5% per tahun, namun kebijakan peningkatan tidak berkelanjutan dan pertumbuhan menurun hingga sekitar 2,5% dari 1980 sampai 2005, karena lonjakan diikuti kemerosotan. "Hasilnya adalah bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita Brasil dibandingkan dengan wilayah OECD (negara-negara industri maju) telah melebar dari sekitar 60% pada 1980 hingga hampir 70% sejak 2000."Untuk menutup kesenjangan ini dalam seperempat abad".
Seperti halnya Ki Hajar Dewantara, Imam Syafii, Bu Kasur, dan tokoh pendidikan yang lainnya, di Brasil juga terdapat tokoh yang dikenal dunia, yakni Paolo Freire, yang telah menyampaikan pemikiran-pemikiran kritisnya tentang realitas pendidikan. Bahwa pendidikan hanya ditakdirkan untuk melayani dominasi atau reproduksi bentuk-bentuk dominasi dari sebuah kekuasaan, telah diuraikan secara panjang lebar oleh Freire dalam sejumlah bukunya.
Menelaah sejumlah karyanya, tampak bagaimana Freire mengkritisi tentang peran reproduksi sekolah atau pendidikan sistematis terhadap ideologi dominan atau ideologi yang berkuasa. Tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka atau kekuasaan kaum borjuis. Namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik.
Gambaran Freire tentang kondisi pendidikan di Brazil ini tak jauh berbeda ketika masa pemerintahan orde baru. Instrumen-instrumen pendidikan seperti kurikulum, pengajar maupun siswa berada dalam sebuah sistem yang berfungsi untuk mengamankan kekuasaan yang ada. Maka tidak heran jika fungsi pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebuah bentuk indoktrinasi untuk melanggengkan pemerintahan yang berkuasa.
Terhadap kondisi dunia pendidikan seperti ini, tokoh pendidikan asal Brazil ini memaparkan sejumlah solusinya. Bahwa ketika bicara reproduksi sebagai tugas kelas-kelas dominan, maka ada kemungkinan tugas tandingan terhadap reproduksi ideologi dominan. Kedua tugas ini bersifat dialektik, yang pertama adalah tugas reproduksi dan kedua adalah tugas oposisi pendidikan. Tugas oposisi pendidikan ini adalah bagaimana mengembalikan fungsi pendidikan agar tidak menjadi pelayan dari sebuah kekuasaan dan dinikmati oleh golongan tertentu seperti kaum borjuis melainkan kembali ke cita-citanya untuk membangun manusia yang seutuhnya.
Tantangan yang kemudian muncul dalam menjalankan tugas oposisi pendidikan ini adalah bagaimana memperjuangkan transformasi revolusioner masyarakat borjuis untuk membangun masyarakat sosialis. Revolusi perlu menciptakan dan membantu lahirnya masyarakat baru dan proses kelahiran masyarakat baru ini ada di dalam pendidikan revolusioner. Ketika revolusi meraih kekuasaan itu merupakan bantuan fantastik yang diperlukan untuk membaharui sistem pendidikan. Satu hal yang menjadi pekerjaan sekarang adalah melawan sistem borjuis melalui korps revolusioner untuk mencipta melalui pendidikan.
Pemikiran, kritik dan sebuah solusi yang telah ditawarkan oleh Freire di atas jika dicermati dengan seksama, ternyata begitu dekat dengan realitas dunia pendidikan kita. Bagaimana dengan di Indonesia? Adakah yang menindaklanjuti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Imam Syafii?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar