Senin, 31 Maret 2008

Memburu Roh Guru Berprestasi


Oleh: Suyatno

I
Perempuan guru, Bu Mus, dengan asyiknya berbincang dengan para siswa yang hanya berjumlah 12 anak, meskipun gedung mau ambruk, lantai kusam, dan dinding bolong-bolong. Keasyikan seorang ibu guru yang berbayar rendah itu berjalan mulus karena sesuai dengan titik sentuh murid-muridnya. Pada akhirnya keduabelas murid itu melangkah untuk menjalani perkembangan diri sesuai dengan karakteristik masing-masing. Ketika besar, anak-anak itu menjadi orang. Apakah Bu Mus yang telah membingkai keduabelas anak itu disebut guru berprestasi?
Kemudian, Pak Fredy seorang guru yang energis, sering ikut pelatihan, akrab dengan internet, dan dikenal pimpinan, selalu memenangi beberapa perlombaan untuk guru. Murid-muridnya senang akan kessuksesan Pak Fredy. Namun, dari 40 murid, hanya lima murid yang kelak mampu menemukan jati dirinya, sedangkan yang lainnya sampai tua masih mencari-cari jati diri. Hal itu terjadi karena Pak Fredy lebih mengutamakan kemajuan anak-anak tertentu asalkan materi pembelajaran dapat terlaksanakan sesuai kurikulum. Apakah Pak Fredy dapat disebut guru berprestasi?
Lain lagi dengan Pak Toyo, tidak pernah kenal internet, buta dengan lomba, dan penampilan biasa-biasa saja, namun dia mengenali muridnya satu demi satu sehingga mampu menentukan menu pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing anak. Pak Toyo selalu datang ke sekolah tepat waktu, menyapa anak, dan melihat materi yang akan diajarkan. Kebiasaaan itu menjadi warna sehari-hari Pak Toyo. Murid-muridnya mampu menembus jati diri masing-masing sehingga berkembang sampai pada tingkat pendidikan yang tertinggi dan mendulang pekerjaan sesuai dengan karakternya. Apakah Pak Toyo disebut guru berprestasi?
Sebenarnya, kita sangat susah menentukan apakah guru itu berprestasi atau bukan sebelum mengetahui apa yang dimaksud dengan berprestasi. Kalau guru prestasi diukur melalui keberhasilan anak menemukan jati dirinya, Ibu Mus dan Pak Toyolah yang disebut berprestasi. Namun, jika berprestasi dimaknai sebagai sering menang lomba, jago internet, dan dekat dengan pimpinan, Pak Fredylah yang jadi guru berprestasi. Kalau kedua orang itu dikatakan sebagi guru yang berprestasi, guru lain yang jumlahnya mungkin ribuan bahkan jutaan di Indonesia yang tidak akan seperti kedua guru dapat dikatakan tidak berprestasi. Artinya, saya dan pembaca yang lain pernah dan bahkan selalu diajar oleh guru yang tidak berprestasi.

II
Kata berprestasi mengarah pada keunggulan, keberhasilan, dan kepuncakan sesuatu. Kalau memang demikian artinya, sangat susah untuk menentukan apakah seorang guru itu berprestasi atau bukan. Prestasi sebenarnya merupakan perwujudan makna kesadaran penuh seseorang. Seseorang mecuci piring lalu piring itu bersih bukan sebuah prestasi, tetapi seorang mencuci piring mencoba untuk lebih sadar dalam mencuci piring, lebih menyadari gerakan tangannya dan menyadari perbuatannya demi kesehatan orang lain justru itulah yang lebih dapat dikatakan berprestasi. Begitu pula guru yang mengajar lalu nilai anak itu tinggi bukanlah sebuah prestasi. Namun, guru yang mengajar sehingga nilai anak itu tinggi kemudian merasakan kesadaran penuh proses mengajarnya, sadar akan perubahan yang terjadi dalam diri muridnya, dan sadar bahwa nilai tinggi itu memberikan motivasi bagi anak untuk berjuang lagi dapat dikatakan sebuah prestasi.
Oleh karena itu, siapapun guru itu perlu untuk mencoba mengambil peran aktif dalam membangkitkan kesadaran dirinya. Pada akhirnya, kesadaran sebagai seorang guru menjadi dasar dari segalanya, termasuk semua tindakan, semua pikiran, dan semua perasaannya. Seorang master dari Tibet (dalam Zen Meditation, 2004:110), berkata bahwa menggabungkan kesadaran dan tindakan seperti mencampur minyak dengan air, seperti mencoba keluar dari kulit kita sendiri. Oleh karena itu, guru berprestasi tidak perlu mencampurkan antara kesadaran tindakan, pikiran, dan perasaan namun cukup menyinergikan ketiga aspek itu. Guru yang mempunyai kesadaran penuh dapat dikatakan telah masuk pada wilayah kebenaran sebuah pembelajaran. Jadi, guru berprestasi adalah mereka yang berada dalam sebuah kebenaran.
Kebenaran tentang hubungan dengan murid, kebenaran dalam penggunaan media, kebenaran memilih materi, kebenaran memainkan metode, kebenaran sebagai seorang guru, dan kebenaran tentang jembatan sebuah kehidupan merupakan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Ibu Atik, yang sadar bahwa dalam pemahaman sebuah konsep ilmu, anak memerlukan sarana untuk masuk dalam titik sentuhnya. Ibu Atik dapat dikatakan telah mempunyai pemahaman pada sebuah kebenaran media. Pak Giran, yang sadar bahwa kedekatannya dengan murid menumbuhkan kekuatan cinta dapat dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan kebenaran berhubungan dengan muridnya. Pak Mukhson, yang sadar tidak semua materi cocok dengan muridnya kecuali materi yang telah diseleksi dapat dikatakan sebuah telah memahami kebenaran dalam pemilihan materi. Begitu pula seterusnya, guru membangun kebenaran sejati untuk masuk dalam ruang pendidikan yang sebenarnya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan berprestasi merupakan wujud dari sebuah pencapaian kebenaran. Guru berprestasi adalah guru yang berada dalam roh kebenaran sejati yang sadar akan citra diri berdasarkan ketulusan dan keikhkasan. Sebaliknya, guru yang tidak berprestasi adalah guru yang pura-pura berada dalam jalur kebenaran tetapi justru merusak perkembangan anak baik secara pelan-pelan maupun frontal.
Sebenarnya, secara kodrati semua manusia berada dalam lingkungan kesadaran atas sebuah kebenaran kehidupan sehingga melahirkan ketulusan dan keikhlasan. Begitu pula guru, sebagai seorang manusia secara alamiah mempunyai aliran roh kebenaran yang mampu diwujudkan dalam situasi ketulusan dan keikhlasan. Namun, tidak semua guru menyadari akan kekayaan dirinya atas roh kebenaran karena tertutup oleh kemalasan, egoisitas, berpikir pendek, jalan pintas, tidak mau susah, dan cepat puas. Secara realitas justru jumlah guru yang lupa akan roh kebenarannya lebih banyak daripada yang mempunyai kebenaran sejati. Akibat sistem pendidikan yang belum menyentuh roh kebenaran pendidikan, budaya jalan pintas masyarakat, dan tuntutan ekonomis.
Saat ini, guru berprestasi hanya diukur melalui kuantitas portofolio guru dan hasil ucapan guru ketika di depan dewan jurinya saat lomba berlangsung. Tidak pernah guru berprestasi tersebut diukur secara mendalam tentang kepemimpinan, kepribadian, ketulusan, dan keikhlasan kepada murid maupun masyarakat sekitarnya. Lihat saja, sekarang guru sudah tidak dapat digugu dan ditiru murid-muridnya apalagi oleh masyarakatnya. Guru hanyalah sebagai sebuah instrumen yang melengkapi sebuah mesin untuk memproduksi hasil berupa angka-angka. Bahkan, secara individu tidak lagi didapati jiwa guru yang penuh dengan roh kebenaran sehingga banyak guru yang tidak yakin bahwa dirinya benar-benar seorang guru.
Semua orang sebenarnya seorang guru manakala mampu mengubah generasi muda dari belum tahu menjadi tahu, dari belum mengerti menjadi mengerti, dari belum paham menjadi paham, dari belum bisa menjadi bisa, dan dari brutal menjadi jiwa yang halus. Hakikatnya guru adalah bagian dari hierarki moral. Melalui mereka atau lebih tepatnya melalui kebijaksanaan mereka, rakyat dituntun agar tetap berada di jalan yang benar. Mulder menyebutkan bahwa guru adalah orang yang memiliki wahyu untuk membagi pewahyuan, membagi kebenaran kepada murid sehingga murid tersebut mempunyai kebijaksanaan (2007:189).
Guru berprestasi bukanlah sebatas sebuah instrumen bagi sebuah perjalanan program pendidikan, namun merupakan roh kehidupan agar menajadi kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai guru yang benar-benar berprestasi luar dalam perlu waktu dan perubahan budaya serta paradigma berpikir dari semua elemen masyarakat. Memang tampaknya sangat susah mewujudkan guru berprestasi yang berdasarkan roh kebenaran, tetapi kalau didekati dengan kebenaran dari berbagai pihak akan menjadi sebuah gambaran nyata.

III
Guru berprestasi masa kini ditentukan oleh sebatas apa guru tersebut mengerti, memahami, dan menerapkan pembelajaran yang sesungguhnya. Mereka tidak lagi berada dalam pusaran pengajaran yang mengutamakan dominasi tunggal melainkan berada dalam posisi fasilitator yang dilaogis. Secara nyata, telah terjadi perubahan paradigma dari pengajaran ke pembelajaran. Oleh karena itu, guru secara teknis dalam mengejawantahkan roh kebenaran sebaiknya melalui rel pembelajaran.
Pembelajaran menjadi orientasi proses menumbuhkembangkan pribadi siswa karena selama ini (1) pendidikan dipandang tidak mampu memanusiawikan siswa secara tepat dan sesuai dengan jati dirinya; (2) pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk peserta didik; (3) pendidikan yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi (content transmission). Tugas pengajar hanya sebagai penyampai pokok bahasan. Mutu pengajaran menjadi tidak jelas karena yang diukur hanya daya serap sesaat yang diungkap lewat proses penilaian hasil belajar yang artifisial. Pembelajaran tidak diarahkan kepada partisipatori total dari peserta didik yang pada akhirnya dapat melekat sepenuhnya dalam diri peserta didik; (4) aspek afektif cenderung terabaikan; (5) diskriminasi penguasaan wawasan terjadi akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya dibandingkan dengan yang di daerah, yang di daerah merasa mengetahui semuanya dibandingkan dengan yang di cabang, yang di cabang merasa lebih tahu di bandingkan dengan yang di ranting, begitu seterusnya. Jadi, diskriminasi sistematis terjadi akibat pola pembelajaran yang subjek—objek; dan (6) pengajar selalu mereduksi teks yang ada dengan harapan tidak salah melangkah. Teks atau buku acuan dianggap segalanya jika telah menyampaikan isi buku acuan berhasillah dia.
Pembelajaran masa kini dirancang dengan berbagai model pembelajaran berdasarkan multikarakter siswa dan multikonteks belajar dengan berorientasi pada konsep bahwa (1) setiap peserta didik adalah unik. Peserta didik mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan membunuh keunikan tersebut. Keunikan harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang; (2) anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Jalan pikir anak tidak selalu sama dengan jalan pikir orang dewasa. Orang dewasa harus dapat menyelami cara merasa dan berpikir anak-anak. Yang terjadi justru sebaliknya, pendidik memberikan materi pelajaran lewat ceramah seperti yang mereka peroleh dari bangku sekolah yang pernah diikuti; (3) dunia anak adalah dunia bermain tetapi materi pelajaran banyak yang tidak disajikan lewat permainan. Hal itu salah satunya disebabkan oleh pemberian materi pelajaran yang jarang diaplikasikan melalui permainan yang mengandung nuansa filsafat pendidikan; (4) usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia. Namun, dunia pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi kreativitas anak.
Pada kenyataannya, pola pengajaran dengan ciri berpusat pada guru itu memang sulit untuk dihindari karena guru terlanjur mempunyai memori yang kuat dan melekat sejak pertama mengajar sampai saat ini. Hasilnya, alih-alih siswa paham akan konsep pembelajaran, dia malah tidak paham akan materi yang diberikan selama pembelajaran karena lebih banyak mengantuk, mengobrol, dan asyik dengan gambar di bukunya. Sang guru senang karena pembelajaran terasa tenang, senyap, diam, dan semua wajah tertuju pada guru dengan bibir terkatup tanda setuju. Begitulah warna pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai konsumen. Sudah saatnya, guru menjadi subjek yang dinamis dan kreatif sehingga mampu menyerap perkembangan pembelajaran masa kini. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kolom berikut ini.
Tabel 1: Perlakuan guru terhadap siswa di kelas
Siswa sebagai `Konsumen' Siswa sebagai `Produsen'
- Mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap materi yang disajikan
- Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut pikirannya
- Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru atau imengulangi nformasi yang tertuang dalam buku teks.
- Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti `kita perlu membuat kali………' , kata guru dan siswa meneruskan dengan `maaaat'.
- Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan `resep' rinci dari guru.
- Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis laporan seperti ini, cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong yang disediakan.
- Ketika seorang siswa bertanya, `Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?'. Guru langsung mengatakan, `Kamu tahu kan bahwa teori itu hanya bias diterapkan di Eropa saja, ya…kan'. Jawaban guru disertai wajah sisnis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai pertanyaan konyol.
- Mengajukan pertanyaan, berkomentar terhadap suatu pendapat, menjawab pertanyaan secara kreatif
- Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.
- Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil penalaran logis
- Mengomentari jawban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya atau ketidaksetujuaan
- Menghasilkan karya dalam bentuk model, tulisan, produk teknologi sederhana
- Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci
- Ketika seorang siswa bertanya, `Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?'. Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, `Menurutmu bagaimana dapat atau tidak diterapkan? `Kalau dapat, apakah teori itu mengalami penyesuaian?' `Kalau tidak dapat, apakah tidak teori itu digantikan teori lain?'
Guru berprestasi tidaklah akan cepat puas dengan salah satu tindakan yang dilakukannya di dalam kelas sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi dirinya, siswa, dan kepentingan akademis. Banyak jalan menuju Roma, begitu pula banyak jalan untuk menjadi guru yang terbaik di antara yang baik. Guru yang seperti itu biasanya apabila mengajar selalu:
1. berpusat pada siswa
2. lebih senang pola induktif daripada deduktif
3. menarik dan menantang dalam menyajikan mata ajar
4. berorientasi pada kompetensi siswa
5. menekankan pembelajaran bukan pengajaran
6. memvariasikan model dan teknik pembelajaran
7. menggunakan sentuhan manusiawi
8. menggunakan media belajar yang menghasilkan pesan maksimal
9. menilai secara autentik
10. mengedepankan citra mengajar
Berikut ini tabel perbandingan pola mengajar konvensional dengan pola multimodel.
Tabel 2: Perbandingan Pola Mengajar
Pola Konvensional Pola Multimodel
- Guru berceramah apapun materinya.
- Guru melakukan berbagai cara seperti: kata kunci, skema, resume, gambar, menyusun potongan konsep, isian lanjutan, analogi, permainan, dst.

Pada kenyataannya, guru berprestasi belum menjadi bagian dari hidup seorang guru secara otomatis dan serta merta karena taraf hidup yang masih di bawah standar. Hal tersebut menjadi sebuah catatan penting dalam menapaki budaya prestasi seorang guru. Untuk itu, perlu upaya pemberdayaan guru dengan (1) menaikkan tarap hidup melalui penguatan kesejahteraan, (2) mentransplantasikan pembelajaran modern secara top-down, (3) menguatkan kesadaran alamiah secara bottom-up, (4) membangun budaya kinerja yang berorientasi pada roh kebenaran pendidikan, (5) dan meningkatkan kadar ketangguhan, kekenyalan, dan keswadayaan guru.

IV
Dengan begitu, amatlah jelas bahwa guru berprestasi merupakan aspek penting dalam kemajuan pendidikan di sekolah. Apalagi, saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam pelaksanaan pendidikan bagi warganya melalui diversifikasi kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulum tersebut pada akhirnya dapat menjamin hasil pendidikan bermutu yang dapat membentuk masyarakat Indonesia yang damai/sejahtera, demokratis, dan budaya saing untuk maju. Di sisi lain, perubahan zaman yang semakin cepat menuntut pembelajaran dapat mengimbangi perubahan tersebut.
Mengajar merupakan tugas yang sangat kompleks. Tugas kompleks tersebut tentunya juga dimiliki oleh guru berprestasi. Menurut Arends (dalam Kardi dan Nur, 2000:6), menjadi seorang guru berprestasi memerlukan sifat-sifat sebagai berikut.
a. Guru yang berhasil memiliki kualitas pribadi yang memungkinkan ia mengembangkan hubungan kemanusiaan yang tulus dengan siswa, orang tua, dan kolega-koleganya.
b. Guru yang berhasil mempunyai sikap yang positif terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menguasai dasar-dasar pengetahuan tentang belajar dan mengajar; menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan cara belajar; dan menguasai pengajaran dan pengelolaan kelas.
c. Guru yang berhasil menguasai sejumlah keterampilan mengajar yang telah dikenal di dunia pendidikan untuk mendorong keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar.
d. Guru yang berhasil memiliki sikap dan keterampilan yang mendorong siswa untuk berpikir reflektif dan mampu memecahkan masalah. Mereka memahami bahwa belajar pengelolaan pembelajaran yang baik merupakan proses yang amat panjang sama halnya dengan profesi lain, yang memerlukan belajar dan interaksi secara berkelanjutan dengan kolega seprofesi.
Pembelajaran apapun yang digunakan guru, Dryden dan Vos (2000:296) secara khusus menyarankan kepada guru agar menggunakan enam kiat mengajar dengan efektif apabila mengharapkan hasil belajar siswa secara maksimal. Keenam kiat mengajar dengan efektif di kelas sebagai berikut.

a. Ciptakan kondisi yang benar
1) Orkestrakan lingkungan
2) Ciptakan suasana positif bagi guru dan murid
3) Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
4) Tentukan hasil dan sasaran; AMBAK—Apa Manfaatnya Bagiku?
5) Visualisasikan tujuan Anda
6) Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
7) Pasanglah poster di sekeliling dinding

b. Presentasikan dengan benar
1) Dapatkan gambar menyeluruh dahulu, termasuk perjalanan lapangan
2) Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
3) Gambarlah, buatlah pemetaan pikiran, dan visualisasikan
4) Gunakan konser musik aktif dan pasif

c. Pikirkan
1) Berpikirlah kreatif
2) Berpikirlah kritis—konseptual, analitis, dan reflektif
3) Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
4) Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk menyimpan informasi secara permanen
5) Berpikirlah tentang pikiran Anda

d. Ekspresikan
1) Gunakan dan praktikkan
2) Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi, sandiwara—untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan

e. Praktikkan
1) Gunakan di luar sekolah
2) Lakukan
3) Ubahlah murid menjadi guru
4) Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah Anda miliki

f. Tinjau, Evaluasi, dan rayakan
1) Sadarilah apa yang Anda ketahui
2) Evaluasilah diri/teman/dan siswa Anda
3) Lakukan evaluasi berkelanjutan

V
Dari kupasan di atas, tampak jelas bahwa guru berprestasi memerlukan perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran bergeser ke pembelajaran. Perubahan tersebut tentunya membutuhkan orang-orang yang berani menguji, memperbaiki, bahkan mengubah sistem dengan menyesuaikan realitas yang ada dan berkembang selama ini di masyarakat. Orang-orang tersebut meyakini bahwa dunia sudah berubah. Kemudian, mereka juga harus siap berubah. Mereka tidak hanya terkungkung oleh dunia verbalistis, yakni hanya sanggup berbicara tetapi tidak pernah berani menerapkannya atau tidak dapat menerapkannya. Mereka tidak pula hanya NATO (Nothing Action Talk Only) alias pandai berbicara tanpa pernah melakukan aksi nyata. Bukan mereka yang merasa bisa tetapi tidak bisa dan bukan pula mereka yang menutup diri dari kiprah anak-anak muda karena takut ketahuan ketidakmampuannya. Melainkan, mereka harus konsisten dengan omongannya, berani melakukan ujicoba, tidak takut salah, dan tidak sungkan-sungkan bertanya kepada yang tahu dan mengerti, terbuka, dan akomodatif terhadap ide yang berkembang. Itulah yang dinamakan guru berprestasi.
Saat ini, semua lembaga pendidikan mulai berbenah ke arah konsep pendidikan yang baru. Sekolah formal pun mulai menerapkan kurikulum baru yang mengarah kepada kompetensi dasar dan bermanajemen berbasis sekolah. Kemudian, para orang tua mulai melirik sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pendidikan, dan sanggar-sanggar pendidikan yang megutamakan keunggulan. Guru berprestasi juga tentunya harus mengikuti arus perubahan dan berani mengubah paradigma pendidikan. Bukan malah bertahan dalam Status Quo, membentengi diri dengan alasan semua pembaruan sudah ada dalam diri mereka, bukan barang baru, kita semua bisa, dan seabrek alasan lainnya. Yang paling penting adalah berbuat aksi senyatanya dengan mencoba dan mengolah berbagai model pembelajaran berdasarkan kompetensi yang akan dicapai.

Daftar Pustaka

Ardiana, Leo Idra. 2001. Pembelajaran Kontekstual. Makalah.
Bahruddin, Ahmad. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah. Jogjakarta: LKIS.
Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice-Hall.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud. 1993. Kurikulum Bahasa Indonesia di MA/MA. Jakarta: Depdikbud.
De Porter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
---------. 1999. Quantum Bussines. Bandung: Kaifa.
---------. 2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Dryden, Gordon dan Vos, Jeanette. Revolusi Cara Belajar (bagian I dan II). Bandung: Kaifa.
Fakih, Mansur, dkk. 2001. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis. Jogyakarta: Insist dan Read Book.
Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis (terj. Hartoyo). Semarang : IKIP Semarang Press.
Gardner, Howard. 2003. Kecerdasan Majemuk. Batam: Interaksara.
Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc.
Low, Albert. 2004. Zen Meditation: Jurus Jitu Menenangkan Jiwa. Jogjakarta: Saujana.
Mulder, Niels. 2007. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Jogjakarta: LKIS.
Nur, Muhammad. 2000. Strategi-Strategi Pembelajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, Unesa.
Rooijakkers, 1982. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia.
Silberman, Melvin L. 2004. Active Learning. Bandung : Nusa Media.
Sindhunata (ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Jogyakarta: Kanisius.
Suyatno dan Subandiyah, Heny. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Modul Pelatihan Guru Terintegrasi Berbasis Kompetensi.
Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.
Suyatno. 2005. Permainan Penunjang Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grasindo.
Shor, Ira dan Freire, Paolo. 2001. Menjadi Guru Merdeka, Petikan Pengalaman. (terjemahan Nashir Budiman). Jogyakarta: LKIS.

*) Drs. Suyatno, M.Pd adalah Ketua Jurusan Bahasa Indonesia, Unesa. Makalah disampaikan dalam Seminar “Kiat dan Strategi Menjadi Guru Berprestasi” yang diadakan oleh Klub Guru, di Auditorium Indosat, tanggal 23 dan 30 Maret 2008

2 komentar:

antara kediri-surabaya.blogspot.com mengatakan...

saya sangat puas

antara kediri-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Pak Yatno, saya berkomentar bahwa roh suatu guru adalah suatu keniscayaan bila tidak didukung oleh perpaduan dari berbagai aspek penyampaian materi kepada anak didik. Artinya, bahwa semua saling dukung mendukung, setiap aplikasi dari pembelajaran yang diterima dari bangku kuliah yang ditekuninya selama 4 tahun. Didukung juga oleh kemampuan individual, dan kolektif yang bersangkutan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa harus ada kesinambungan dari 2 aspek tersebut. Dalam hal ini tiap individu memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda juga

Nama : Gigih Prasetyo
No. Reg : 022144020
Jur : Sastra Indonesia 2002