Oleh Suyatno
Lihatlah dokter, dia mempunyai banyak alat untuk meneyembuhkan penyakit. Alat itu beraneka model, bentuk, dan fungsinya. Jika untuk melihat kadar panas tubuh, dia akan menggunakan termometer yang dijepitkan di ketiak pasien. Jika tukak mulut yang sakit, dokter akan menggunakan senter untuk melihat tingkat infeksi fisiknya. Begitulah, dokter menggunakan alat untuk mempermudah kerjanya.
Berbeda dengan guru Tugino, setiap mengajar tanpa menggunakan alat karena cukup untuk diomongkan saja. Suatu kali, dia datang tanpa membawa buku pelajaran, sesampai di kelas langsung meminjam buku pelajaran ke murid lalu disuruhnya siswa membuka halaman tertentu untuk dikerjakan. Kali lain, Tugino membawa buku pelajaran, namun pola mengajarnya tetap sama, yakni menyuruh anak untuk mengerjakan bagian tertentu dari buku teks. Tugino hanaya menganggap buku pelajaran merupakan satu-satunya alat.
Mengapa Tugino berbeda dengan sang dokter? Bukankah tugas kedua profesi itu sama? Dokter bergerak di bidang kesehatan dan guru bergerak di bidang pendidikan. Keduanya sama-sama bergerak pada proses dari belum ke menjadi. Untuk dokter, tugasnya adalah dari sakit menjadi sehat, dari nyeri menjadi biasa, dari dirubung virus menjadi tanpa virus. Untuk guru, tuganya adalah dari siswa belum pandai menjadi pandai, dari siswa penakut menjadi pemberani, dari siswa liar menjadi berakhlak.
Yang membedakan keduanya adalah ketidaksiapan guru untuk bekerja secara profesional. Sebagai guru, Tugino diharapkan juga mempunyai catatan mengajar seperti dokter mempunyai catatan pasien. Tugino hendaknya juga mempunyai media untuk mempermudah kerjanya seperti dokter mempunyai alat yang mempermudah kerjanya pula. Tugino yang sehari-hari mendidik itu seharusnya pula mempunyai wilayah kerja mendiagnosis siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan murid sehingga mudah untu mendidiknya.
Anehnya, banyak guru yang tidak sadar bahwa dirinya seorang guru yang harus profesional seperti pekerja bidang lain yang juga profesional. Murid-murid menunggu untuk didiagnosis letak kekurangmampuan mereka. Mereka merupakan insan yang berbeda-beda karakternya, tentunya juga berbeda cara mendiagnosisnya. Dengan begitu, guru seharusnya mempunyai catatan tiap individu perkembangan belajarnya. Yang terjadi saat ini, semua anak dipukul rata dan dianggap sama semua. Kalau sedah begitu kondisinya, pendidikan tidaklah dapat maju pesat.
Harus bagaimana cara menggeser perilaku guru dari biasa saja menjadi luar biasa? Cara yang pertama adalah melalui guru itu sendiri. Paradigma mendidik mereka perlu dibuka dengan penguatan kesadaran bahwa mereka adalah guru. Cara tersebut sangatlah sulit karena sudah terjadi fosilisasi anggapan tentang guru dalam diri mereka. Cara yang kedua, adakan pendidikan untuk guru tersebut selama sebulan dan pantaulah saat pendidikan itu dengan seksama. Cara ketiga, magangkan guru yang sedang diubah dirinya ke guru yang sudah mampu. Keempat, pidahtugaskan guru yang tidak juga berubah ke pekerjaan selain guru. Kelima, cetaklah pengawas yang benar-benar pengawas yang senantiasa memantau dengan benar kinerja guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar