Kamis, 20 Maret 2008

Membangun Tradisi Pembelajaran Kreatif

Technorati Profile

Oleh Suyatno
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa

I
Andaikata seorang guru ditanya tentang apakah setelah mengajar materi ajar tersampaikan semua dalam pembelajaran satu semester? Jawabnya pasti ya. Namun, apabila pertanyaan dikembangkan menjadi, apakah siswa dapat menyerap, memahami, dan menindaklanjuti materi ajar yang Saudara sajikan? Jawabnya tidak tahu atau tidak semua memahami. Jika dijumpai jawaban tersebut dapat ditengarai bahwa guru yang bersangkutan menggunakan cara mengajar ceramah.
Seorang guru, Pak Tinta, sebut saja begitu, menolak mentah-mentah cara mengajar selain ceramah. Dengan suara ketus, dia berargumentasi bahwa pembelajaran berbeda dengan pengajaran di sekolah. Dalam pengajaran di kelas banyak teori yang harus diberikan. Teori-teori itu hanya bisa disajikan lewat ceramah dan tentunya dengan bantuan OHP atau LCD juga. Dengan bangga, dia mengatakan, “Kalau di sekolah memang guru-guru perlu berinovasi dan kreatif dalam pembelajaran.” Namun, dalam praktiknya, Pak Tinta tidak pernah sedikit pun menerapkan pembelajaran inovatif dan kreatif.
Pak Tinta sangatlah benar berargumentasi begitu karena persepsi mengajar yang dimilikinya sebatas itu. Mengajar, menurut Pak Tinta, adalah memberikan materi yang diperlukan siswa sesuai dengan garis pembelajaran yang telah diatur dalam perencanaan pembelajaran. Kata memberikan dimaknai sebagai menyampaikan secara lisan oleh guru atau menerangkan agar siswa menjadi terang-benderang terhadap konsep tertentu. Tidak salah, Pak Tinta, karena dia menggunakan konsep mengajar teori mental yang diperkenalkan oleh Plato sebelum abad ini. Guru merupakan sumber ilmu yang menyampaikan ilmu tersebut di tengah-tengah siswanya. Tetapi, Pak Tinta lupa bahwa saat ini telah bermunculan berbagai konsep mengajar yang lebih mampu mempercepat, memperdalam, dan memperluas penguasaan materi pembelajaran bagi siswa.
Pak Tinta, dengan teori mentalnya, melakukan hal terbaik menurutnya. Meskipun, dia sama dengan Pak Timun yang memotong kayu selalu menggunakan kapak walau telah ditemukan mesin pemotong kayu yang sangat efektif dan memakan waktu teramat singkat. Kayu berdiameter 10 m dipotongnya dengan kapak. Kayu berdiameter 50 cm juga dipotongnya dengan kapak karena memang senjatanya hanya kapak, pengalaman yang ada hanya dengan menggunakan kapak, dan menganggap kapak alat satu-satunya yang dapat memotong kayu. Dia tidak tahu kalau ada beragam alat potong lainnya yang dapat menggantikan fungsi kapak tersebut.
Ketika Pak Timun mengalami kesulitan dalam memotong kayu, yang disalahkan pertama adalah pohonnya bukan kapaknya. Begitu pula, Pak Tinta selalu menyalahkan siswanya saat hasil belajar mereka tidak maksimal. Siswa selalu dicap malas, tidak becus, berbeda dengan siswa tahun lalu, gagap, dan asal-asalan. Padahal bisa jadi kesalahan terletak pada metode yang digunakannya. Pak Tinta tidak tahu bahwa saat ini paradigma pengajaran berubah menjadi paradigma pembelajaran, dari teaching ke learning.
Kembali ke cerita Pak Tinta, siswa dianggap sebagai konsumen dalam menerima ilmu dengan cara mendengarkan, mencatat, dan mengulangi kata-kata guru saat ujian berlangsung nanti. Terakhir, sang siswa diwajibkan mengerjakan sebagai wujud penerapan materi yang diberikan. Sukseslah Pak Tinta dalam mengajar semester ini karena telah membawa siswa dapat menegerjakan tugas sesuai dengan materi yang diberikannya. Padahal, menurut siswa, tugas yang dibuatnya hanya copy paste dari internet.
Alih-alih siswa paham akan konsep pembelajaran, dia malah tidak paham akan materi yang diberikan selama pembelajaran karena lebih banyak mengantuk, mengobrol, dan asyik dengan gambar di bukunya. Sang guru senang karena pembelajaran terasa tenang, senyap, diam, dan semua wajah tertuju pada guru dengan bibir terkatup tanda setuju. Begitulah warna pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai konsumen. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kolom berikut ini.
Tabel 1: Perlakuan guru terhadap siswa di kelas

Siswa sebagai ‘Konsumen’

Siswa sebagai ‘Produsen’

· Mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap materi yang disajikan

· Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut pikirannya
· Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru atau imengulangi nformasi yang tertuang dalam buku teks.

· Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti ‘kita perlu membuat kali………’ , kata guru dan siswa meneruskan dengan ‘maaaat’.

· Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan ‘resep’ rinci dari guru.

· Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis laporan seperti ini, cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong yang disediakan.

· Ketika seorang siswa bertanya, ‘Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?’. Guru langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa teori itu hanya bias diterapkan di Eropa saja, ya…kan’. Jawaban guru disertai wajah sisnis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai pertanyaan konyol.
· Mengajukan pertanyaan, berkomentar terhadap suatu pendapat, menjawab pertanyaan secara kreatif

· Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya. Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.

· Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil penelaran logis


· Mengomentari jawban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya atau ketidaksetujuaan




· Menghasilkan karya dalam bentuk model, tulisan, produk teknologi sederhana
· \

· Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci


· Ketika seorang siswa bertanya, ‘Pak, apakah teori itu dapat diterapkan di sini?’. Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, ‘Menurutmu bagaimana dapat atau tidak diterapkan? ‘Kalau dapat, apakah teori itu mengalami penyesuaian?’ ‘Kalau tidak dapat, apakah tidak teori itu digantikan teori lain?’



II
Pada dasarnya, proses belajar terjadi ketika siswa mampu memberikan makna/membangun pemahaman pada pengalamannya terhadap suatu objek atau suatu peristiwa. Misalnya, ketika seorang siswa baru pertama kali melihat kerbau dia akan mengatakan kerbau itu sebagai ‘anjing besar’ karena sehari-harinya dia terbiasa melihat anjing. Dia senantiasa berupaya mengaitkan pengetahuan baru itu dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Setelah dia amati berkali-kali, dia menyadari bahwa ‘anjing besar’ ini berbeda dengan anjing yang biasa dilihatnya sehari-hari. Pada waktu itu, siswa mulai membangun pengetahuan tentang ciri-ciri ‘anjing besar’ ini. Dalam jaringan struktur kognitif siswa ini, tidak hanya ada konsep anjing tetapi bertambah dengan ‘anjing besar’ yang dalam beberapa kali pengalamannya ‘melihat kerbau’, terminologi ‘anjing besar’ ini digantinya dengan terminologi baru menjadi ‘anjing bertanduk’. Proses belajar berlangsung dari dalam diri, ketika siswa secara terus menerus membangun gagasan baru atau menyempurnakan gagasan lama.
Ketika siswa memperoleh pengalaman pertama melihat seekor kerbau, struktur kognitif siswa mengalami goncangan ketidakseimbangan (disequilibrium) akibat perbedaan karakteristik anjing yang biasa dilihatnya dengan karakteristik kerbau yang sekarang dilihatnya. Kondisi ini memaksa siswa untuk membangun gagasan baru (anjing besar) yang berasal dari gagasan lama (‘anjing’ yang biasa dilihatnya). Proses seperti ini disebut proses assimilasi. Pada proses ini, pada dasarnya gagasan lama tidak berubah, siswa hanya melakukan perluasan gagasan dalam jaring kognitifnya. Proses lain adalah proses akomodasi dimana terjadi penggantian gagasan lama dengan gagasan baru.









disequilibrium
Asimilasi
Akomodasi








Gbr. Pembangunan pengetahuan dilakukan siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi



Mengajar merupakan tugas yang sangat kompleks. Menurut Arends (dalam Kardi dan Nur, 2000:6), menjadi seorang guru yang berhasil memerlukan sifat-sifat sebagai berikut.
a. Guru yang berhasil memiliki kualitas pribadi yang memungkinkan ia mengembangkan hubungan kemanusiaan yang tulus dengan siswa, orang tua, dan kolega-koleganya.
b. Guru yang berhasil mempunyai sikap yang positif terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menguasai dasar-dasar pengetahuan tentang belajar dan mengajar; menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan cara belajar; dan menguasai pengajaran dan pengelolaan kelas.
c. Guru yang berhasil menguasai sejumlah keterampilan mengajar yang telah dikenal di dunia pendidikan untuk mendorong keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar.
d. Guru yang berhasil memiliki sikap dan keterampilan yang mendorong siswa untuk berpikir reflektif dan mampu memecahkan masalah. Mereka memahami bahwa belajar pengelolaan pembelajaran yang baik merupakan proses yang amat panjang sama halnya dengan profesi lain, yang memerlukan belajar dan interaksi secara berkelanjutan dengan kolega seprofesi.
Dryden dan Vos (2000:296) secara khusus menyarankan kepada guru agar menggunakan enam kiat mengajar dengan efektif apabila mengharapkan hasil belajar siswa secara maksimal. Keenam kiat mengajar dengan efektif di kelas sebagai berikut.
a. Ciptakan kondisi yang benar
1) Orkestrakan lingkungan
2) Ciptakan suasana positif bagi guru dan murid
3) Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
4) Tentukan hasil dan sasaran; AMBAK—Apa Manfaatnya Bagiku?
5) Visualisasikan tujuan Anda
6) Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
7) Pasanglah poster di sekeliling dinding
b. Presentasikan dengan benar
1) Dapatkan gambar menyeluruh dahulu, termasuk perjalanan lapangan
2) Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
3) Gambarlah, buatlah pemetaan pikiran, dan visualisasikan
4) Gunakan konser musik aktif dan pasif
c. Pikirkan
1) Berpikirlah kreatif
2) Berpikirlah kritis—konseptual, analitis, dan reflektif
3) Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
4) Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk menyimpan informasi secara permanen
5) Berpikirlah tentang pikiran Anda
d. Ekspresikan
1) Gunakan dan praktikkan
Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi, sandiwara—untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan
e. Praktikkan
1) Gunakan di luar sekolah
2) Lakukan
3) Ubahlah murid menjadi guru
4) Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah Anda miliki
f. Tinjau, Evaluasi, dan rayakan
1) Sadarilah apa yang Anda ketahui
2) Evaluasilah diri/teman/dan siswa Anda
3) Lakukan evaluasi berkelanjutan
Kiat di atas dibuktikan dan diramu menjadi formula yang efektif dalam pembelajaran di sekolah melalui konsep Quantum Learning (Bobbi dePorter, 2000) dan Revolusi Cara Belajar (Dryden dan Vos, 2000). Guru menjadi seorang yang kaya metode pembelajaran dan mampu menerapkan kapan, di mana, bagaimana dan dengan siapa diterapkan metode tersebut. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya aspek yang juga paling penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah penguasaan metode pembelajaran.

Tabel 2: Peran Guru di Kelas

Sebagai ‘Destroyer’
(pengganggu peristiwa belajar)

Sebagai ‘Facilitator’
(Pemermudah peristiwa belajar)

· Guru yang menganggap masalah siswa sebagai masalah guru sehingga kalau siswa memperoleh masalah guru langsung menyelesaikannya lalu memberikannya jawaban langsung. Misalnya, ketika siswa bertanya; ‘Pak, soal no. 3 PR kemarin sulit!’. Menanggapi keluhan ini guru langsung memberikan uraian jawab secara panjang lebar sehingga tidak ada ruang bagi siswa untuk menambahkan gagasannya.




· Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris “bewilder” itu?’ Menanggapi pertanyaan, seorang Ibu guru Bahasa Inggeris yang fasih berbahasa Inggeris langsung memberikan respon. ‘masak tidak tahu, bewilder itu kan artinya mengembara’.

· Guru yang menempatkan masalah siswa sebagai masalah siswa. Pada keadaan ini guru hanya berperan menyediakan kondisi dan memberikan dorongan sehingga siswa mau menyelesaikan masalahnya tanpa beban. Misalnya ketika siswa memperoleh PR/soal Linguisitk tentang pola semantic yang dianggapnya sulit guru hanya mengajukan pertanyaan seperti; ‘apakah kamu sudah mencoba dengan rumus itu?’ atau, ‘Bagaimana kalau soalnya dirinci menjadi seperti ini?’ atau ‘Bagaimana kalau melakukan pengamatan langsung pada pemakai bahasa?’
· Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris “bewilder” itu?’, guru langsung memberikan kamus untuk mencarinya sendiri arti kata tersebut.



III
Freire (1986) memberikan paradigma baru bagi pendidikan berdasarkan paradigma kritis. Freire mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah proses memanusiawikan manusia kembali. Gagasan tersebut berangkat dari pendidikan yang menjadi pelanggeng dehumanisasi (peniadaan pemanusiawian manusia). Freire membagi kesadaran manusia dalam belajar ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah kesadaran magis, yakni kesadaran yang tidask mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Proses pendidikan metode tersebut tidak memberikan kemampuan analisis tentang kaitan antara sistem yang dicptakan dalam proses pelatihan dalam pendidikan dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Peserta didik secara dogmatis menerima kebenaran dari pendidik tanpa ada mekanisme pemahaman makna setiap konsepsi kehidupan masyarakat.
Kelompok kedua adalah kesadaran naif, yakni melihat aspek manusia menjadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Pendidikan dalam konteks naif tersebut tidak mempertanyakan sistem dan struktur pelatihan. Bahkan, sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar. Sistem tersebut dianggap given oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pelatihan atau proses pendidikan adalah mengarahkan agar peserta didik dapat masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Kesadaran ketiga disebut dengan kesadaran kritis. Kesadaran tersebut lebih melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan melatih peserta didik mampu mengidentifikasi ketimpangan struktur dan sistem yang ada kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem bekerja serta bagaimana menstransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan sesuai dengan diri peserta didik.
Pertanyaannya, apakah selama ini pendidikan yang diselenggarakan belum menyentuh pola kesadaran kritis? Jawabnya, secara tegas belum. Mengapa harus malu-malu mengatakan bahwa sistem pendidikan kita ini masih bersifat magis dan naif. Nyatanya, memang demikian. Lihat saja, pendidikan yang sering diselenggarakan berorientasi pada sistem baku yang harus dianut karena telah digariskan dari pusat atau daerah atau dari mana saja. Tidak pernah, pendidikan yang diselenggarakan oleh kita berorientasi pada peserta pendidikan. Materi bersifat fleksibel berdasarkan keinginan peserta. Peserta terlibat secara total karena terjadi pemanusiawian peserta kursus.
Kembali kepada Freire, pendidikan dengan paradigma kritis menempatkan peserta didik sebagai subjek. Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek buka penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku sadar yang bertindak mengatasi dunia. Manusia harus menggeluti dunia dengan sikap kritis dan daya cipta. Manusia memiliki kepribadian dan eksistensi berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Hal itu berarti manusia tidak memiliki keterbatasan tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas yang mengekangnya.
Menurut Freire, jika seseorang pasrah, tetap pada sistem dan struktur yang sebenarnya usang, dan menyerah pada sistem tersebut, sesungguhnya ia sedang tidak manusiawi. Seorang yang manusiawi justru harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Dengan begitu, pendidikan yang memanusiawikan manusia dapat dikatakan mengintegrasikan antara IQ, EQ, SQ, dan kecerdasan lainnya. Syaratnya, pendidik harus kuat dalam pemaduan itu.
Berdasarkan hal di atas, bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektika yang ajeg, yakni antara pengajar, peserta didik, dan realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar. Sementara, yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari. Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sebenarnya, siswa dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan tempat belajar, waktu, situasi, dan suasana alam dan masyarakatnya. Untuk itu, metode yang dianggap tepat untuk mengembangkan pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Salah satu model pembelajaran aktif adalah penggunaan metode kontekstual.
Sebenarnya, metode kontekstual (Contextual Teaching and Learning) bukan barang baru. John Dewey sudah mengemukakan pembelajaran kontekstual pada awal abad 20, diikuti oleh katz (1918) dan Howey & Zipher (1989). Ketiga pakar itu menyatakan bahwa program pembelajaran bukanlah sekadar deretan satuan pelajaran (Kasihani dan Astini, 2001).
Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Ardiana, 2001).
Metode kontekstual muncul sebagai reaksi terhadap teori behavioristik yang telah mendominasi pendidikan selama puluhan tahun. Metode kontekstual mengakui bahwa pembelajaran merupakan proses kompleks dan banyak faset yang berlangsung jauh melampaui drill oriented dan metode Stimulus and Response. Menurut Nur (2001) pengajaran kontekstual memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan di luar sekolah agar siswa dapat memecahakan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.
Berikut ini model alternatif yang dapat digunakan untuk pembelajaran yang menarik dan menantang bagi siswa.
Menggubah syair lagu dan bernyanyi
Melakukan Permainan
Bermain peran
Diskusi (bertanya, menjawab, berkomentar, mendengar penjelasan, menyanggah)
Menggambar dan mengarang
Menulis prosa, puisi, pantun, gurindam
Membaca bermakna
Menyimak dalam menangkap gagasan pokok
Teka teki
Mengajukan pertanyaan penelitian
Menjawab dengan alasan logis
Mengomentari
Bercerita
Mendengar cerita
Mengamati persamaan dan perbedaan untuk mencari cirri benda
Mendengar penjelasan sambil membuat catatan penting
Membuat rangkuman/ sinopsis
Demonstrasi hasil temuan
Membuat soal cerita
Merencanakan dan melakukan percobaan
Merencanakan dan melakukan penelitian sederhana
Membuat buku harian
Membuat kamus
Simulasi dengan komputer
Mengelompokkan sambil mengidentifikasi (mengenali ciri) konsep
Mengumpulkan dan mengoleksi benda dengan karakteristiknya
Membuat komik
Membuat ramalan dan berekstrapolasi
Membuat grafik
Membuat diagram
Membuat Charta
Membuat jurnal
Menyiapkan dan melaksanakan pameran
Menggunakan alat (alat ukur, alat tulis, rumus konsep)
Praktek berceramah
Membuat poster
Membuat model
Menata pajangan
Menata buku perpustakaan
Membuat daftar pertanyaan untuk wawancara
Melakukan wawancara
Membuat catatan hasil penjelasan/ hasil pengamatan
Membaca kamus
Mencari informasi dari encyclopedia
Melakukan Musyawarah
Mengunjungi dan menemukan alamat situs website
Bernegosiasi
Mendiskusikan wacana dari media cetak/ media elektronik

Guru kreatif dan inovatif tidaklah akan cepat puas dengan salah satu tindakan yang dilakukannya. Mereka akan selau tidak puas dengan apa yang telah dijalani sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi dirinya, siswa, dan kepentingan akademis. Banyak jalan menuju Roma, begitu pula banyak jalan untuk menjadi guru yang terbaik di antara yang baik. Guru yang seperti itu biasanya apabila mengajar selalu:
1. berpusat pada siswa
2. lebih senang pola induktif daripada deduktif
3. menarik dan menantang dalam menyajikan mata ajar
4. berorientasi pada kompetensi siswa
5. menekankan pembelajaran bukan pengajaran
6. memvariasikan metode dan teknik pembelajaran
7. menggunakan sentuhan manusiawi
8. menggunakan media belajar yang menghasilkan pesan maksimal
9. menilai secara autentik
10. mengedepankan citra mengajar
Berikut ini tabel perbandingan pola mengajar konvensional dengan pola multimetode.


Tabel 3: Perbandingan Pola Mengajar

Pola Konvensional


Pola Multimetode

· Guru berceramah apapun materinya





· Guru mealkukan berbagai cara seperti: kata kunci, skema, resume, gambar, menyusun potongan konsep, isian lanjutan, analogi, permainan, dst.




IV
Mari kita lihat pengalaman masa lalu. Mungkin tidak semua orang dapat menjadi Thomas Alpha Edison yang menggemparkan dunia dengan 1093 paten dan hasilnya sampai kini digunakan oleh manusia di dunia ini tanpa memandang suku, bangsa, dan negara. Akan tetapi, jika setiap bayi didorong dengan hangat, mereka dapat memiliki gairah tak terpuaskan akan petualangan dan eksplorasi yang sama dengan Edison, yang dapat memotivasi para penemu dan ilmuwan besar. Edison adalah siswa yang aktif secara mandiri dan berada dalam lingkungan belajar aktif meskipun tanpa dunia sekolah formal. Suasana belajar aktif perlu diatur strategi dan konsepsinya dengan cara menciptakan kiat-kiat tertentu.
Hal itu dapat diciptakan dan dikondisikan kepada siswa. Siswa dapat belajar dengan sangat baik jika berada dalam kondisi ideal dengan kasih sayang, kehangatan, dorongan, dan dukungan. Bila hal itu terus berlanjut, kesenangan dan kecepatan belajar dapat melekat erat dalam diri siswa (Dryden dan Vos, 2000:281). Keberhasilan usaha seperti yang tergambar di atas salah satunya ditentukan oleh metode pembelajaran yang dibangun guru. Pembelajaran kreatif dapat menjadi solusi menuju siswa yang manusiawi dan mencapai prestasi terkuatnya.












Daftar Pustaka


Ardiana, Leo Idra, 2001. Pembelajaran Kontekstual. Makalah.

Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice-Hall.

Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Depdikbud. 1993. Kurikulum Bahasa Indonesia di MA/MA. Jakarta: Depdikbud.

De Porter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.

---------. 1999. Quantum Bussines. Bandung: Kaifa.

---------. 2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.

Dryden, Gordon dan Vos, Jeanette. Revolusi Cara Belajar (bagian I dan II). Bandung: Kaifa.

Fakih, Mansur, dkk. 2001. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis. Jogyakarta: Insist dan Read Book.

Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis (terj. Hartoyo). Semarang: IKIP Semarang Press.

Gardner, Howard. 2003. Kecerdasan Majemuk. Batam: Interaksara.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Nur, Muhammad. 2000. Strategi-Strategi Pembelajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, Unesa.

Rooijakkers, 1982. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia.

Silberman, Melvin L. 2004. Active Learning. Bandung: Nusa Media.

Sindhunata (ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Jogyakarta: Kanisius.
Suyatno dan Subandiyah, Heny. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Modul Pelatihan Guru Terintegrasi Berbasis Kompetensi.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.

Suyatno. 2005. Permainan Penunjang Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grasindo.

Shor, Ira dan Freire, Paolo. 2001. Menjadi Guru Merdeka, Petikan Pengalaman. (terjemahan Nashir Budiman). Jogyakarta: LKIS.

1 komentar:

8_Oktav mengatakan...

Assalamualaikum Pak Yatno,
Tentu saja dalam hati saya, menjadi guru kreatif dan inovatif merupakan tantangan. Setelah saya membaca artikel Pak Yatno, hal yang harus saya garis bawahi adalah guru sebagai pendidik yang benar-benar mampu bekerja secara profesional mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti amanat bangsa pada pembukaan UUD 1945.
Menurut saya, menjadi guru kreatif itu tanggung jawab. Ya, karena hak seorang murid mendapatkan pendidikan yang memanusiakan dan mampu mengeksplorasi potensi siswa. Guru Inovatif itu seperti pendekar silat yang membangunkan ksatria paling hebat sejagad raya untuk mengalahkan musuh terkuat yaitu kebodohan dan ketidakmampuan.

Guru inovatif juga memberikan kepercayaan lebih pada murid untuk berkembang selaras dengan perkembangan kemampuan siswa.