Rabu, 15 Oktober 2008

Guru di Mata Mbok Siti (27)

Kami duduk di kursi bambu menghadap tukang dawet siang itu. Aku menyeruput dua mangkok karena dahagaku menjerit-jerit setelah berjalan jauh menyusuri pematang. Mbok Siti hanya menghabiskan satu mangkok saja. Tukang dawet itu nyaris tidak kelihatan dari luar karena berjubel pembelinya. Inilah sebuah kecocokan antara siang yang panas, petani yang haus, dan dawet yang segar.

"Mengapa dawet ini sangat segar, Mbok?" tanyaku pelan ke Mbok Siti yang murah senyum itu. "Dawet ini segar karena diberi ruang dalam dahaga kita", jawabnya. Jika dahaga kita tidak memberikan ruang bagi kesegaran dawet, tentu dawet ini tidak akan ada apa-apanya. Kita tadi telah memberikan ruang yang sangat lebar bagi dawet di tubuh kita setelah berjalan jauh, mengucurkan keringat, dan mengolah gerak tubuh ini. "Dawet itu memberikan manfaat bagi pemenuhan ruang dahaga yang pada akhirnya memberikan tambahan tenaga", tukas Mbok Siti ssambil meletakkan sendok dawet ke mangkoknya.

"Begitu pula, anakku...", tambah MBok Siti. "Ya, Mbok", sambutku. Jika guru mampu menelisik sebatas apa ruang dahaga pengetahuan dalam diri siswanya, pembelajaran pasti akan memberikan kesegaran bagi siswanya. Semenarik apapun sajian guru, jika siswa tidak mempunyai ruang untuk daya tarik itu, tentu, tidak akan ada yang tertanam dalam ruang pikir siswa. Mengukur ruang dahaga keilmuan siswa sangat diperlukan untuk menakar dan meramu bahan ajar yang akan diberikan. Panas siang itu terasa sejuk setelah Mbok Siti bercerita. Akupun merasa lega luar dan dalam.

Tidak ada komentar: