“Jangan kau pikirkan itu. Buku-buku sejarah mencatat semua itu. Padahal yang terpenting dalam hidup dan kematian adalah cinta. Siapapun yang menjalani hidup dengan cinta, maka para malaikat akan datang menyambut dengan cinta. Orang-orang seperti itu tidak pernah mempermasalahkan tentang dimana ia akan dikuburkan dan dengan cara seperti apa. Karena yang lebih penting dari itu, sekali lagi adalah bagaimana agar tubuh dan jiwa penuh dengan cinta. Tanpa itu, mereka akan selalu berhadapan dengan ngeri tak bertepi. Sepi yang selalu menjadi duri tanpa pernah bisa memberi sedikitpun arti.” Ujarnya seolah bisa menerka yang terpikirkan olehku.
“Dan, terlalu banyak manusia yang masih hidup disana memiliki pikiran ketidakmungkinan seperti yang pernah kupikirkan itu. Tetapi lamunanku tentangmu di beberapa malam yang lewat telah mengantarku pada yakin. Bahwa, selalu saja ada ruang waktu kemungkinan untuk membuat tanah-tanah kering itu untuk menjadi tanah lembab. Aku belajar banyak dari cinta yang telah kau tunjukkan.” Ah, dalam termalu-malu, aku masih bisa juga untuk bicara dengan lancar seperti ini. Memang, aku mencoba untuk tidak menjadikan kekagumanku padanya sebagai tabir penghalang untukku melihat kedalam diri sendiri.
“Sebenarnya pemahamanmu itulah yang harus bisa kau bicarakan dengan semua mereka. Kuperhatikan kau sangat tulus berguru pada siapa saja. Kau berhasil mengangkat palu-palu raksasa yang jauh lebih besar dari tubuhmu. Dan telah berhasil runtuhkan dinding itu. Ini sebuah kebijaksanaan. Kau memang tidak perlu untuk menyebut dirimu bijaksana. Karena mereka yang selalu melihat dengan hati akan merasakan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar