Rabu, 07 Januari 2009

Siswa Gagap Bicara, Bagaimana Cara Mengajarnya?

Oleh Suyatno

Kadangkala, guru menjumpai siswa gagap dalam berbicara karena kelemahan dalam mengatur bahasanya. Siswa tersebut bahkan menjadi bahan ejekan bagi teman-temannya sehingga menjadikan siswa gagap itu semakin minder. Bahkan, siswa yang mengalami kegagapan dalam berbicara, ternyata lebih sering mendapat gertakan dibandingkan anak yang tidak gagap. Semakin parah kegagapan mereka, akan semakin sering pula gertakan yang diterima.Jika tidak segera di atasi, siswa tersebut akan semakin gagap karena ketakutan sendiri. Salah satu tugas guru tentunya mengubah siswa gagap menjadi tidak gagap dalam berbicara.

Perlu diingat, gagap bicara dapat berubah menjadi lancar berbicara asalkan didekati dengan perlakuan khusus terhadap siswa gagap itu. Siswa gagap biasanya mengulang suku kata pertama dari sebuah kata yang seolah-olah ada sesuatu yang menghambatnya. Misalnya, siswa terhenti ketika mengucapkan “Bbbbebebe.......bebe.....betul” ketika menjawab pertanyaan guru. Yang terdengar kemudian justru teriakan teman-teman di kelasnya dengan bersama-sama melontarkan satu kata, “Dor!” Siswa gagap lalu tertunduk malu, ia tampak tidak berdaya menghadapi gertakan keras yang memotong kata yang hendak diucapkannya. Lebih-lebih ejekan dan suara tawa berseliweran dari teman-teman sekelasnya.

Sayangnya guru di kelas tidak cukup tegas memberikan perlindungan bagi murid yang mengalami gangguan bicara akibat gagap itu. Senyum tipis bahkan tersungging di bibir sang guru, meskipun setelah itu terucap peringatan tanggung, “Ssssttt.... anak-anak tidak boleh begitu. Beri kesempatan temanmu untuk menjawab.”

Dengan situasi seperti itu, yang terjadi hampir setiap saat, siswa gagap itu akhirnya lebih suka menarik diri dari pergaulan. Ia tumbuh sebagai anak yang pemalu, pendiam, dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk belajar, sehingga nilai-nilai rapornya selalu bagus.

Gagap dapat ditandai dengan ciri-ciri suara mulut yang berulang (terjadi repetisi), jaraknya panjang antara satu kata dengan kata berikutnya, atau mengalami blokade ketika akan mengucapkan sebuah kata. "Penyebab gagap ini tidak tunggal, melainkan merupakan kombinasi yang kompleks antara faktor biologis dan kesalahan dalam proses belajar wicara," ujar William Murphy, peneliti di Department of Speech, Language and Hearing Science, Purdue University, AS.

Seorang anak dapat dideteksi mengalami kegagapan jika selama enam bulan atau setahun ia menunjukkan gejalanya terus-menerus. Biasanya dalam keluarga juga terdapat riwayat orang yang sudah lebih dulu mengalami kegagapan. Dalam hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.

Di Indonesia, kita tidak pernah tahu berapa jumlah orang yang mengalami gagap. Namun, di Negara Paman Sam diperkirakan sekitar 5 persen anak pra sekolah dan 1 persen orang dewasa mengalami gagap.

Tingkat kekacauan saat berbicara ini sangat berbeda-beda pada setiap orang yang mengalami kegagapan. Ada yang tingkat kegagapannya tidak terlalu parah, tetapi hal itu sudah bisa menyebabkan penderitanya menarik diri dari pergaulan dan enggan berpartisipasi dalam percakapan karena merasa minder atau rendah diri.

Dalam berbagai kesempatan kita bisa menyaksikan bagaimana anak-anak yang sudah mengalami penderitaan akibat gagap dalam berbicara ini, harus semakin tersiksa oleh tingkah laku teman-temannya atau bahkan oleh orang dewasa lain yang tidak cukup bijaksana. Anak-anak ini biasanya digertak sedemikian rupa ketika yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Akibatnya, mereka menjadi semakin kecil hati, rendah diri, tidak nyaman, takut dan enggan untuk berbicara.

Menurut National Stuttering Association, AS, penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang gagap berbicara justru lebih sering mengalami gertakan dibandingkan anak-anak lain. Dan semakin buruk kegagapan yang dialami seorang anak, semakin sering pula yang bersangkutan mendapat gertakan.

Dalam buku terbaru keluaran Purdue University berjudul Bullying and Teasing: Helping Children Who Stutter, dijelaskan bahwa bagi anak-anak yang gagap, gangguan dan gertakan dari teman-temannya justru membuat mereka lebih gelisah dan menderita dibanding gangguan wicara itu sendiri. Mungkin itu pula sebabnya meskipun anak-anak itu sudah mendapatkan terapi wicara dan telah mengalami kemajuan dalam keterampilan berbicara, persoalan tidak dengan sendirinya terlepas dari mereka.

Anak-anak itu tetap saja memiliki perasaan negatif tentang dirinya dan kegagapannya, ketika mereka tumbuh semakin besar. Keterampilan mereka berbicara yang boleh jadi sudah tidak memperlihatkan sisa-sisa kegagapan, masih tetap dibayangi oleh rasa malu dan minder, yang diperoleh dari gangguan dan gertakan-gertakan yang telah dialami.

Mengatasi kegagapan tidak semudah yang orang sering ucapkan ketika menghadapi anak gagap: “Pokoknya tenang dan kalem saja kalau mau berbicara.” Saran ini mungkin cocok bagi anak-anak yang grogi, tetapi bukan itu yang diperlukan oleh anak yang gagap.
Yang pasti, gagap pada masa anak-anak dapat diatasi dengan terapi wicara.

Terapi yang dilakukan ketika masih kanak-kanak akan lebih mudah meraih keberhasilan dibanding saat yang bersangkutan sudah dewasa. Salah satu contoh orang yang pernah mengalami kegagapan di masa kanak-kanak adalah Winston Churchill.

Untuk mengatasi perasaan negatif serta rasa malu akibat kegagapan yang pernah dialami itu, alangkah baiknya jika anak-anak mendapatkan pendampingan dari psikolog, selama diperlukan. Para guru di sekolah sangat diharapkan kontribusinya agar anak-anak yang gagap tidak menjadi semakin terpuruk oleh ulah teman-temannya, akibat sering menerima ejekan dan gangguan dari mereka.

Untuk menghadapi siswa gagap, guru perlu (1) berbicara dengan anak gagap dengan intonasi pelan dan jelas, (2) hilangkan kesan menginginkan jawaban dengan cepat, (3) berilah motivasi bahwa siswa gagap itu dapat berbicara dengan baik, (4) ajak teman-temannya untuk tidak mengejek atau mempermalukan, (5) berilah kesempatan berbicara dengan porsi yang agak lebih kepada siswa gagap, dan (6) ajaklah berdialog empat mata dengan obrolan yang ringan dan terus menerus. Guru harus yakin bahwa siswa gagap dapat disembuhkan. Banyak bukti, siswa gagap ketika di kelas rendah, saat di kelas tinggi atau mahasiswa tidak mengalami kegagapan lagi karena semakin sering berbicara.

Tidak ada komentar: