Oleh Suyatno
Guru matematika sebuah SMA di Gorontalo membariskan siswanya untuk ditampar satu per satu. Guru laki-laki itu berdiri di teras lalu satu per satu siswa yang berbaris membujur sampai di rumput depan kelas ditampar sekali kemudian disuruh masuk kelas. Kemudian, di Mojoagung, Jombang, guru kesenian SMP menampar siswa ddi depan siswa lain di kelas hanya karena siswa itu tidak mengerjakan PR. Itu tamparan guru yang sempat terekam kamera. Mungkin banyak tamparan lain di sekolah lain dalam bentuk lain di Indonesia ini yang tidak terekspos atau terekam media massa.
Perbuatan itu seolah-olah telah menyelesaikan permasalahan bagi guru tersebut. Padahal, justru memberikan tumpukan dendam bagi siswa kelak. Tamparan itu pasti tersimpan dalam memori siswa yang suatu saat memori itu akan dikeluarkan kembali ke pikiran sadar. Bagaimanapun, perbuatan guru seperti itu sangat tidak sesuai dengan nilai edukasi. Namun, mengapa pola tampar dan menyakiti siswa dengan cara lain masih diberikan oleh guru?
Tamparan guru seperti itu menunjukkan bahwa kewibawaan guru dibangun dari kekuasaan. Siswa hanya objek yang harus menuruti subjeknya. Metode tampar merupakan metode satu-satunya bagi guru tersebut yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa dengan guru. Cara lain terasakan tidak ada lagi, menurut guru itu. Padahal, tidak ada kampus satu pun yang memberikan perkuliahan tentang metode tampar. Lalu, guru tampar memperoleh metode dari mana?
Guru tampar adalah guru yang tidak mengenal metode mengajar secara variasi. Guru tersebut lupa bahwa metode pembelajaran juga telah mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat. Guru tampar itu berarti termasuk guru yang perlu dipisahkan dari label guru, alias dikeluarkan jadi guru. Guru tampar merupakan gambaran guru yang tidak dapat menerima siswa sebagai manusia.
Untuk itu, perlu seleksi ulang setiap guru dengan pendekatan psikologis. Guru yang secara psikologis tidak berterima tutup saja pintu keguruannya agar tidak ada lagi siswa yang ditampar. Kepala sekolah perlu merangking guru dari sisi emosionalnya. Guru yang emosional tinggi, sok jago, dan galak terhadap siswa jadikan Pak Kebun saja biar emosinya tertumpah pada rumput liar dan ranting pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar