Hati-hati, orang tua dapat menjadi pemicu anaknya mempunyai kelainan khusus. Kesibukan orang tua merupakan faktor dominan tumbuh kembangnya anak
ke arah berkebutuhan khusus. Dua faktor lain yang turut mempengaruhi
ialah polusi makanan yang dikonsumsi sebelum terbentuk janin, serta
hereditas (keturunan).
“Tapi fator utamanya terletak pada pola
asuh orang tua,” kata Sri Sedyaningsih, Ketua Yayasan sekaligus pendiri
Sekolah Inklusi Galuh Handayani di Surabaya kepada Tempo,
Sabtu, 21 September 2013. Didirikan pada 1995, Galuh Handayani merupakan
sekolah buat anak berkebutuhan khusus pertama di Indonesia.
Menurut Sri, faktor pertama menunjukkan kecenderungan yang makin banyak
belakangan ini. Karena sibuk bekerja, orang tua sering tidak tanggap
terhadap kekurangan yang dialami anaknya. Indikasinya, sekolah yang ia
kelola sampai kuwalahan menerima murid baru. “Banyak orang tua yang
pasrah ke kami, padahal kapasitas kelas terbatas,” kata dia.
Umumnya, kata Sri, orang tua baru menyadari anaknya berkebutuhan khusus
setelah dia merasa tak nyaman berada di sekolah umum. Setelah anaknya
mogok tak mau sekolah barulah dipindahkan ke sekolah inklusi. “Padahal,
sejak dini anak tersebut memerlukan terapi khusus,” kata Sri.
Kendati telah diserahkan ke sekolah inklusi, kata Sri, bukan berarti
tanggung jawab orang tua otomatis berkurang. Sebab sekolah tetap
membutuhkan kolaborasi dengan orang tua anak dalam melakukan terapi,
baik oleh terapis khusus, psikolog, guru, maupun dokter. “Jika
kolaborasinya kurang baik, hasilnya bisa kurang efektif,” kata dia.
Anak yang gagal ditangani, kata Sri, bisa berakibat terjerumus ke
tindakan kriminal, khususnya kasus narkoba. Dengan kekurangan yang
disandang, anak tuna grahita rawan dimanfaatkan pengedar narkoba saat
dia menginjak dewasa. “Rawan dimanfaatkan sebagai kurir, karena dia
tidak paham dengan apa yang diperbuat. Kami pernah punya pengalaman soal
itu,” imbuh Sri.
Menurut Sri, jenis anak berkebutuhan khusus ada 16 tingkatan, dari yang paling ringan disleksia (learning disabilities)
hingga yang berat autis. Masing-masing jenis memerlukan penanganan
khusus serta ketelatenan. “Semua masih bisa diarahkan, apalagi kalau
anak tersebut dasarnya memang cerdas,” kata Sri. (Sumber: Tempo.co; KUKUH S. WIBOWO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar