Kambing itu asyik mengunyah potongan daun randu dengan lidah yang senantiasa bergerak ke kanan dan ke kiri. Kambing abu-abu itu berdua, antara induk dan anaknya, yang sesekali mengembik tanda bergembira. Anak kambing sesekali mengeluarkan kepalanya untuk meloncat ke sana dan ke mari. Induknya membiarkan begitu saja karena mungkin sudah tahu bahwa bergerak untuk anaknya merupakan sebuah kebutuhan. Aku asyik memperhatikan kambing itu dengan mencoba memegang hidung kambing. Anehnya, kambing itu diam saja seakan menambah keasyikannya mengunyah daun randu segar.
“Ingin memelihara kambing ya”, kata Mbok Siti sambil menambahi dedaunan (bahasa Jawa: rambanan).
“Maunya sih, Mbok. Tapi, enggak kok, Mbok. Hanya aku terheran dengan keasyikan induk dan anaknya dalam mengunyah daun randu ini”, jawabku sambil menunjukkan potongan daun randu yang masih utuh.
“Itulah kekuatan cinta dari induk ke anaknya dan dari anak ke induknya”, kata Mbok Siti sambil menunjuk kambing-kambing itu. Begitu pula, guru dengan muridnya harus dinaungi kekuatan cinta yang berhubungan secara timbal balik. Kekuatan cinta tidak dapat muncul begitu saja tanpa ada usaha dari guru dan mereaksi dari murid. Rupa usaha guru yang menjadi peluang terbentangnya cinta adalah kesederhanaan, kasih sayang, dan keikhlasan. Kesederhanaan memberikan kemudahan murid menerima kehendak guru dan guru mudah mendapatkan keinginan dasariah dari seorang murid. Kasih sayang memberikan jalan berupa suasana ketulusan antara dua insan yang saling menerima dan memberi. Kemudian, keikhlasan merupakan penembus keberterimaan tanpa halangan apapun dari yang memberi untuk yang menerima.
“Modal dasar guru hanyalah kesederhanaan, kasih sayang, dan keikhlasan, anakku”, ulang Mbok Siti sambil mengangguk tanda menegaskan. Aspek lainnya hanyalah pengikut yang memberikan kelengkapan menuju kesepurnaan tugas mulia seorang guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar