Oleh Suyatno
(Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana.com, pada 27 Februari 2013, pukul 14.00)
Kata-kata yang diucapkan seorang Anas penuh dengan metonimia perang. Dalam metonimia itu terbersit dikotomis baik-buruk, salah-benar, dan terlibat-bebas. Lihat saja kata “sengkuni; nabok nyilih tangan; adigang, adigung, adiguno; dan kata lainnya.” Anas menyampaikan metonimia keburukan untuk menandakan dia bukan keburukan itu sendiri. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, seorang AU terlibat dalam konteks metonimia itu. Kalau tidak ada yang “Sengkuni” berarti dia sendiri yang Sengkuni. Kalau tidak ada yang “nabok nyilih tangan”, berarti dia sendiri yang nabok nyilih tangan. Begitulah pergulatan dikotomis dalam sebuah metonimia.
Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Parera (2004:121) menyebut metonimia sebagai hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Misalnya, “rokok kretek” dikatakan “belikan saya kretek”. Metonimia menurut Parera (2004:121-122) dapat dikelompokkan bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.
Dalam metonimia Anas, terlihat relasi atribut, tokoh, dan perbuatan. Untuk itu, dapat digunakan kalimat “Dia sengkuni; Orang itu ‘nabok nyilih tangan; Pailul seorang yang ‘adigang, adigung, adiguno.” Kalimat tersebut bermakna memanaskan karena ada unsur dikotomis. Unsur dikotomis itu dapat dimaknai sebagai pembelaan, perlawanan, dan peperangan.
Metonimia termasuk bagian dari metafora. Artinya, seseorang dapat bersembunyi di sebuah metafora untuk menutupi, memperhalus, atau bahkan memperkasar sebuah makna. Jika demikian, daya bayang yang dibangun seorang Anas berunsur emosional, panas, dan keruh. Daya bayang itu tidak akan pernah mampu mendinginkan khalayak umum. Bukankah tugas pemimpin itu mendinginkan dengan ketulusan dan keikhlasan kepemimpinan yang sebenarnya?
(Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana.com, pada 27 Februari 2013, pukul 14.00)
Kata-kata yang diucapkan seorang Anas penuh dengan metonimia perang. Dalam metonimia itu terbersit dikotomis baik-buruk, salah-benar, dan terlibat-bebas. Lihat saja kata “sengkuni; nabok nyilih tangan; adigang, adigung, adiguno; dan kata lainnya.” Anas menyampaikan metonimia keburukan untuk menandakan dia bukan keburukan itu sendiri. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, seorang AU terlibat dalam konteks metonimia itu. Kalau tidak ada yang “Sengkuni” berarti dia sendiri yang Sengkuni. Kalau tidak ada yang “nabok nyilih tangan”, berarti dia sendiri yang nabok nyilih tangan. Begitulah pergulatan dikotomis dalam sebuah metonimia.
Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Parera (2004:121) menyebut metonimia sebagai hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebutan pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Misalnya, “rokok kretek” dikatakan “belikan saya kretek”. Metonimia menurut Parera (2004:121-122) dapat dikelompokkan bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.
Dalam metonimia Anas, terlihat relasi atribut, tokoh, dan perbuatan. Untuk itu, dapat digunakan kalimat “Dia sengkuni; Orang itu ‘nabok nyilih tangan; Pailul seorang yang ‘adigang, adigung, adiguno.” Kalimat tersebut bermakna memanaskan karena ada unsur dikotomis. Unsur dikotomis itu dapat dimaknai sebagai pembelaan, perlawanan, dan peperangan.
Metonimia termasuk bagian dari metafora. Artinya, seseorang dapat bersembunyi di sebuah metafora untuk menutupi, memperhalus, atau bahkan memperkasar sebuah makna. Jika demikian, daya bayang yang dibangun seorang Anas berunsur emosional, panas, dan keruh. Daya bayang itu tidak akan pernah mampu mendinginkan khalayak umum. Bukankah tugas pemimpin itu mendinginkan dengan ketulusan dan keikhlasan kepemimpinan yang sebenarnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar